Jurnalisme Bisnis yang Etis

Oleh M. Sobary

(Pointer untuk Lokakarya Kode Etik Jurnalistik di Lembaga Pers Dr. Soetomo/LPDS)

Pers telah meninggalkan etikanya sendiri? Dan pers sekarang, pers bisnis, lalu enggan beretika, seperti halnya dunia bisnis itu sendiri? Kita selalu membayangkan keadaan lebih sempurna; pers yang berbisinis dan kaya, tapi juga beretika dan kegunaan sosial maupun kebudayaannya lebih besar daripada keruwetannya bagi masyarakat.

Kalau hal ini tak mungkin, lalu bagamana melanjutkan kehidupan pers tanpa etika?Apakah pers kita sekarang ini yang disebut tak beretika? Dan apakah tak mungkin mengubah pers yang tak beretika menjadi beretika?
Kalau begitu bagaimana kontrol publik terhadap kesemena-menaan hidup tanpa etika itu? Tak akan membuahkan sesuatu yang kita harapkan?

Dari sisi kehidupannya yang mana yang membuat pers harus taat pada etika? Dalam perkara memilih jenis dan cara pemuatan iklan? Dalam perkara memberitakan? Apakah berita bukan sekedar berita? Apa ada �ideologi� di balik berita, atau sangkutan nilai-nilai tertentu, sehingga berita bukan sekedar berita?

Dari sisi kepantasannya; pantaskah suatu berita diberitakan apa adanya sebagaimana pers kita sekarang? Kalau tidak bisa begitu, bagaimana berita diberitakan sesuai ukuran etis, ukuran kepantasan tadi?

Segi apa lagi yang patut dipertimbangkan?

1.Konflik kepentingan di balik berita
Ada unsur dendam pribadi atau kelompok? Ada pamrih mempromosikan seseorang atau suatu organisasi? Atau bahkan ada iklan terselubung, dan sang wartawan dibayar, atau ada suatu kepentingan politik yang lebih besar, untuk memenangkan pemilu?

2.Dalam era kebebasan pers, dan demi menjawab kebutuhan masyarakat akan keterbukaan informasi dan untuk memperoleh informasi, haruskah etika dilupakan?

Dapatkah wartawan dengan enteng mengatakan bahwa suatu berita diberitakan karena di era keterbukaan ini informasi tak boleh disembunyikan?

Tapi bagaimana kebutuhan informasi versus rahasia, atau aib pribadi, yang menyangkut orang yang merupakan sumber berita? Kapan secara etis suatu sosok pribadi bisa atau boleh (?) �dibunuh� demi kepentingan masyarakat yang sedang haus berita atau informasi?

Di tengah tenggat waktu yang pendek, diperhadapkan dengan nilai kemanusiaan macam itu, wartawan diuji. Mana yang akan dipilih? Profesi yang harus dijunjung tinggi, atau nilai kemanusiaan, dan manusia riil, yang nota bene merupakan bagian dari teriak perjuangan media pada umumnya?

3.Cara Menyikapi dan Menerima Kebenaran: kebenaran itu subyektif atau obyektif? Jika ia subyektif, apakah seorang wartawan akan gigih berpegang pada kebenaran pribadinya, dan harus berani mati-matian menyangkal kebenaran orang lain?

Bagaimana sikap kita bila orang—sumber berita, atau pihak yang dijadikan berita—-,merasa dirugikan, dan menganggap berita kita salah?
Bagaimana bila kerugian itu tak hanya menyangkut kepentingan pribadi, bukan sekedar mencoreng kredibilitas dan nama baik orang bersangkutan, melainkan secara riil telah menimbulkan citra buruk produk bisnis tertentu dan menimbulkan kerugian financial yang dapat dihitung secara jelas?

4.Bagaimana keluhan publik—atau sumber berita sendiri—yang menganggap wartawan memelintir berita, atau ucapan, atau penilaian, sehingga kenyataan dalam interview tidak sama, bahkan berkebalikan dengan kenyataan di dalam berita yang sudah diterbitkan?

5.Bagaimana keluhan publik yang menganggap wartawan sudah memiliki sendiri jawaban atas suatu peristiwa—umpamanya peristiwa politik—dan wawancaranya dengan sumber berita hanya menjadi proforma, pantas-pantasan semata karena wartawan tak boleh mengarang berita sendiri?
Bagaimana kejujuran kita terhadap kebenaran? Kita harus mati-matian menyangkal?

6.Bagaimana sikap kita bila kita dianggap mencoreng dan mencemarkan nama baik seseorang? Cukupkah kita mengatakan: tulislah sanggahan saudara?
Bagaimana bila sanggahan dianggap tak sepadan dengan berita yang telah mencemarkannya?

Apakah tanggungjawab jurnalistik kita sudah tuntas dengan mengatakan begitu?Atau kita akan membiarkan dan meladeni orang tersebut bila ia menuntut ke pengadilan?

7.Apa yang membuat suatu media merasa lebih baik maju ke pengadilan yang ruwet, berbelit dan melelahkan dan belum tentu adil, dan apa sebabnya media itu tak merasa lebih baik meminta maaf saja dan urusan selesai secara ringkas, dan efisien?

Bila di sana memang ada suatu prinsip yang harus ditegakkan dan dibela, prinsip apa yang membuat media mersa leboih baik memilih urusan ruwet itu, dan bukan mencari solusi yang lebih cepat dan enak?

8.Bagaimana menempatkan profesionalisme di hadapan nilai keadilan dan kebenaran, atau kemanusiaan? Memberitakan teroris hamper sehari penuh
Selama berhari-hari dianggap layak saja karena membela profesi, dan tak perlu menimbang efek buruknya, misalnya justru mengundang sikap antipati, yang beririko kantor media tersebut diancam untuk dibom dan dihancurkan?

9.Mana yang harus diutamakan: tak usah memberitakan sesuatu supaya sesuatu itu justru lenyap dengan sendirinya, atau memberitakannya dan membuat perkara menjadi lebih besar? Bagaimana orang media menghadapi pilihan-pilihan etis macam ini?

10.Media merasa takut melakukan kesalahan etis dan menjaga urusan ini sepenuh hati ataukah ia lebih takut berurusan suatu kelompok radikal, dan tunduk kepadanya secara diam-diam untuk menutup rasa malu?

11.Dapatkah di era pers bisnis seperti sekarang ini pers tetap hidup kaya dari dunia bisnis tetapi enggan bohong, menjauhkan diri dari kesalahan memalukan secara etis, dan dengan sepenuh hati menjaga etika hidup agar bisnis dan etika menjadi suatu kesatuan yang enak dan saling mendukung?

12.Apakah wartawan selalu merasa sebagai warga istimewa di masyarakatnya?

13.Apakah wartawan senantiasa dapat jujur kepada dirinya sendiri?

Gedung Dewam Pers Lantai 3,
Jakarta, 3 Desember 2008.

Published in Berita LPDS