Setiap Wartawan Rentan Mengalami Trauma

Jakarta (berita LPDS) – Wartawan membutuhkan kondisi mental dan fisik yang sehat agar mampu menghasilkan berita berkualitas. Karena itu, bagi wartawan peliput kejadian yang dapat menimbulkan trauma, diperlukan pendekatan khusus agar kesehatan mental dan fisiknya terjaga dengan baik.

“Setiap wartawan, terkait dengan pekerjaannya cukup rentan untuk mengalami trauma” ungkap Irma S. Martam, Koordinator Umum Yayasan Pulih, saat menjadi pembicara diskusi Permasalahan dan Pemulihan Trauma bagi Jurnalis yang digelar LPDS, Jakarta, Senin (9/2/2009).

Diskusi ini diselenggarakan di sela kursus Penyegaran Jurnalistik Intensif angkatan ke-6 yang berlangsung di LPDS sejak 2 Februari dan rencananya berakhir 27 Februari 2009.

Menurut Irma, banyak obyek liputan yang berpotensi menimbulkan trauma bagi wartawan. Misalnya peristiwa bencana alam, teror, konflik, penyiksaan, perkosaan, sampai ke soal kekerasan dalam rumah tangga. Trauma dapat menghinggapi wartawan karena tekanan pekerjaan, hanyut dengan obyek yang diliput, dan tekanan dari lingkungan kerja.

Bermacam reaksi negatif bisa muncul pada pengidap trauma –yang dalam istilah lain disebut penyintas. Bentuknya, antara lain, gangguan fisik-biologis seperti mual, gemetar, sakit kepala atau merasa lelah. Dampak lainnya: cepat emosi, sulit konsentrasi, mudah lupa, mudah terkejut, sering melamun, atau berubahnya standar baik-buruk dalam hidup.

Setelah beberapa kali menangani trauma pada wartawan, Irma menyimpulkan, wartawan cenderung enggan berkonsultasi dengan psikolog dan merasa dapat menangani traumanya sendiri. Penyebabnya, ada anggapan hanya wartawan cengeng yang pergi ke psikolog.

“Karena itu, perlu ada mekanisme sharing sesama teman untuk menangkal situasi di lingkungan wartawan,” lanjut Irma.

Meliput Penyintas
Di samping perlu memahami potensi trauma dalam dirinya, yang tak kalah penting, wartawan dituntut mengerti situasi narasumber yang mengalami trauma (penyintas). “Kalau wartawan memahami masalah trauma ia akan lebih empati terhadap korban bencana” ujar Irma.

Selama ini banyak keluhan dari penyintas terhadap pers. Sebab beberapa liputan pers telah turut memperparah rasa trauma.

Yayasan Pulih pernah menangani korban ledakan Bom di Hotel JW Marriot, Jakarta, 5 Agustus 2003, yang mengalami trauma panjang karena liputan pers. Menurut korban, informasi pers tentang dirinya banyak yang tidak benar dan dilebih-lebihkan. Akibatnya, ia dipecat dari tempatnya bekerja. Hidupnya terasa menjadi berantakan karena liputan pers.

“Janganlah berita menjadi trauma kedua bagi korban,” kata Nirmala Ika, pengurus Yayasan Pulih, pada kesempatan diskusi yang sama.

Menurutnya wartawan seringkali tidak memberi kesempatan kepada korban peristiwa traumatik untuk ditangani petugas medis lebih dulu. Padahal pemaksaan wawancara dapat berakibat fatal bagi korban.

Karena itu, ketika hendak meliput peristiwa traumatik atau melakukan wawancara dengan penyintas, wartawan perlu dibekali pemahaman dan strategis khusus. Dalam kaitan tersebut, Yayasan Pulih merekomendasikan 16 strategi wawancara dengan penyintas.

Pertama kali wartawan harus memperkenalkan diri dan memberi penjelasan tentang maksud dilakukannya wawancara. Posisi duduk atau berdiri si wartawan sebaiknya tidak terlalu dekat atau terlalu jauh dari penyintas. Kemudian, jika menggunakan alat perekam, perlu lebih dulu meminta izin. Wartawan hendaknya menawarkan waktu wawancara yang tepat dan hanya bertanya hal yang relevan.

“Kesiapan dari penyintas untuk memberi wawancara akan menghasilkan wawancara yang bermutu,” imbuh Irma.

Selain itu, saat mewawancarai penyintas, wartawan perlu sadar kapan wawancara harus diakhiri. Ini dibutuhkan untuk menjaga situasi emosi penyintas. Apalagi jika ada gejala penyintas mulai sulit menjawab pertanyaan. ‘Membicarakan peristiwa traumatik dapat menimbulkan flash back,‘ kata Irma.

Wartawan peliput korban traumatik sangat dituntut tenang dan profesionalitas. Sehingga tidak berakibat korban mengalami trauma untuk kedua kali. Jika perlu, petugas kesehatan mendampingi korban selama wawancara berlangsung.

Wawancara dengan penyintas sebaiknya tidak ditutup dengan tiba-tiba. Wartawan dapat menanyakan hal-hal ringan dan menyenangkan sebelum menutup pembicaraan. Cara ini dibutuhkan untuk menurunkan ketegangan yang muncul selama wawancara.

Ditanya mengenai isi pertanyaan yang harus dihindari. “Tergantung dari konteks trauma yang dialami,” jawab Nirmala.*

(Keterangan foto: Irma S. Martam (berbaju hitam) saat menjadi pembicara)

Published in Berita LPDS