Pasal 160 Membelenggu Kebebasan Berpendapat

(Sumber: mahkamahkonstitusi.go.id)

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali gelar sidang uji Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945 dengan agenda mendengarkan keterangan Ahli Pemohon, Selasa (31/3), di ruang sidang pleno MK.

Perkara Nomor 7/PUU-VII/2009 ini dimohonkan oleh Ketua Bangkit Indonesia (KBI) Rizal Ramli dengan kuasa hukum Sirra Prayuna, S.H., dkk dari Tim Advokasi untuk Perubahan Indonesia (API).

Dalam sidang kali ini Pemohon mengajukan dua orang Ahli, yakni Ketua Konsorsium Hukum Nasional (KHN) Prof. Dr. JE Sahetapy, S.H., M.A., serta ahli Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Rudy Satrio. Dalam keterangannya, JE Sahetapy menganggap bahwa Pasal 160 KUHP inkonstitusional karena membelenggu kebebasan berpendapat, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Ia juga mencurigai Pasal 160 KUHP direkayasa bagi kepentingan penguasa.

Sahetapy juga menuturkan bahwa Pasal 160 KUHP ini sudah terlalu “gemuk” sehingga harus “dikuruskan” karena ada elemen-elemen untuk mengamankan kepentingan penguasa. “Ada rekayasa tembak pilih oleh aparat berwenang dalam mengaplikasikan Pasal 160 KUHP apalagi menjelang Pemilu,” jelasnya.

Sambung Sahetapy, Pasal 160 KUHP adalah delik materiil, bukan delik formil. Sementara itu, Rudi Satrio mengungkapkan bahwa Pasal 160 seolah-olah untuk kepentingan masyarakat, padahal untuk kepentingan pemerintah. Alasan yang digunakan adalah untuk menjaga ketertiban dan stabilitas negara. Jika dalam sudut pandang pemerintah ada yang mengancam stabilitas negara, maka harus dihilangkan.

Menurut Rudi, seharusnya ada standar tertentu untuk menafsirkan kata “menghasut” dalam Pasal 160 KUHP. Hal ini berfungsi untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa. Kemudian, lanjut Rudi, harus dilihat juga dampak dari perbuatan menghasut di masyarakat. “Jika tidak ada standar dan tidak ada dampak, maka penguasa dapat dengan mudah menindak rival-rivalnya menggunakan Pasal 160 KUHP,” tandas Rudi.

Pemohon dijerat oleh Polri menggunakan Pasal 160 KUHP berkaitan dengan pidato yang disampaikannya dalam Kongres Pemuda dan Mahasiswa yang didanainya pada 24 April 2008. Polri menganggap pidato yang disampaikan Rizal Ramli memicu aksi anarkis dalam unjuk rasa kenaikan harga BBM pada Mei 2008. (Lulu A.)

Foto: Dok. Humas MK/Wiwik BW

Published in Berita LPDS