Kecenderungan Keberpihakan Pers dalam Pemilu

Jakarta (Berita LPDS) – Sejauh ini, dalam Pemilu 2009, tidak ada media cetak yang secara terbuka menyatakan dukungannya melalui editorial kepada partai politik atau calon presiden dan wakil presiden. Padahal, ada beberapa media cetak yang sangat jelas latarbelakang politiknya saat dibentuk.

“Nyatakan saja di editorialnya mendukung A atau C, tapi tetap independen di pemberitaan,” kata Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti, saat menjadi pembicara lokakarya “Pemilu dan Pers: Mengevaluasi Liputan Media Massa tentang Pemilu” yang digelar LPDS di Jakarta, Kamis (23/7/2009).

Lokakarya hari ketiga yang digelar untuk memperingati ulang tahun ke-21 LPDS ini juga menghadirkan pembicara Ahmad Faisol (Peneliti dari Institut Studi Arus Informasi-ISAI) dan Bambang Eka Cahya (Anggota Badan Pengawas Pemilu), dengan moderator Agus Priyanto.

Lokakarya ini mendapat dukungan dari Dewan Pers, PT.Djarum, majalah Info Gading Grup, harian Jurnal Nasional, Pikiran Rakyat, dan Kompas.

Menurut Bambang, dalam Pemilu kali ini pengaruh pemilik media massa terhadap kecenderungan pemberitaan media bersangkutan tetap ada. Namun, jumlahnya sedikit dan dampaknya tidak mengkhawatirkan. Sehingga isu yang disembunyikan media tersebut tetap muncul di media lain yang lebih banyak dan independen.

“Pengaruh pemilik (media massa) tidak seperti yang sempat kita khawatirkan,” katanya.

Faisol mengungkapkan pendapat serupa. Dari penelitian yang dilakukan lembaganya, ISAI, selama Pemilu 2009 wartawan relatif dapat bersikap independen dari tekanan pemilik media. “Ini keberhasilan Pemilu 2009,” tegasnya.

Sementara itu, Eka Cahya menilai terjadi pergeseran model kampanye dari pengerahan massa ke penggunaan pers. Karena itu, peserta Pemilu menghabiskan banyak sekali dana untuk beriklan. “Saya yakin belanja iklan lebih besar dari yang dilaporkan,” ungkapnya.

Bawaslu menerima banyak pengaduan terkait media massa, khususnya televisi. Misalnya, pengaduan terhadap iklan yang dianggap menyerang pihak tertentu; penolakan stasiun televisi untuk menayangkan iklan; blocking time dan blocking segment, berita, serta pengumuman survei yang dianggap tidak tepat waktu.

Menurut Eka, UU Pemilu tidak memberi Bawaslu kewenangan untuk menindak pers yang melakukan pelanggaran. Karena itu, Bawaslu melakukan kerjasama dengan Dewan Pers dan Komisi Pernyiaran Indonesia (KPI).

UU Pemilu, lanjutnya, banyak mengandung kekurangan. Misalnya tidak mengatur iklan dengan rinci, terutama yang isinya berpotensi menyerang pihak tertentu. UU Pemilu juga tidak menyebut keberadaan media online. Pengaturan mengenai media elektronik di dalam UU tersebut hanya terkait televisi dan radio.

“Laporan tentang media, kita menghadapi banyak kesulitan karena Bawaslu tidak cukup memiliki kewenangan,” ungkap Eka.

Menurutnya informasi dari pers sangat membantu Bawaslu, terutama untuk mengetahui kandidat bermasalah. Dari pengamatannya, fungsi kontrol pers sangat terlihat saat kampanye dan hari pencontrengan.

Namun, ia mengkritik pers karena tidak memberi perhatian serius pada kasus Daftar Pemilih Tetap (DPT) sejak awal. Padahal, dari November 2008 Bawaslu telah memberi informasi kepada wartawan tentang ketidakberesan DPT. Saat itu pers tidak ada yang merespon dengan serius sampai kemudian muncul sengketa DPT dalam Pilkada Jawa Timur.

Riset
ISAI melakukan riset berita tentang Pemilu 2009 yang muncul di 14 media cetak nasional dan beberapa stasiun televisi selama Januari – Juli 2009. Selama tujuh bulan tersebut ditemukan 669 berita media cetak mengenai pasangan capres-cawapres SBY-Boediono, terbanyak dibanding kedua capres lainnya. Disusul pasangan JK-Wiranto dengan 463 berita dan Mega-Prabowo 431 berita.

Sedangkan televisi relatif sama dalam memberitakan ketiga pasangan calon. Rinciannya, SBY-Boediono sebanyak 443 berita, Mega-Prawobo 443 berita, dan JK-Wiranto ada 413.

Siapa calon yang paling banyak mendapat penggambaran positif dari media? Ternyata JK-Wiranto, bukan SBY-Boediono sebagai incumbent atau Mega-Prabowo dari kelompok oposisi. Menurut Faisol, hal itu terjadi karena gejala underdog effect serta independensi wartawan dari pemilik yang cenderung memihak SBY-Boediono.

Riset ISAI juga menemukan harian Jurnal Nasional dan Rakyat Merdeka condong mendukung SBY-Boediono. Sedangkan harian Suara Karya, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan ke JK-Wiranto. Media cetak lainnya relatif netral dan berimbang.

Untuk televisi, Metro TV dan SCTV paling banyak memberi gambaran positif pada pasangan JK-Wiranto. Sementara Trans TV ke SBY-Boediono.

Selama Pemilu, ISAI menyimpulkan, pers sedikit mengangkat informasi tentang rekam jejak capres-cawapres dan lebih sering memberitakan kampanyenya. Liputan semacam itu dapat mengaburkan sosok kandidat.

“Media masih tergantung kegiatan apa yang dibuat oleh pihak luar, tidak memiliki agenda setting sendiri,” ungkap Faisol. (red)

Published in Berita LPDS