Hak Hukum Wartawan Akan Diperjuangkan Secara Optimal

Kupang, 14/10 (ANTARA) – Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti menegaskan, pihaknya akan memperjuangkan hak hukum wartawan secara optimal.

“Kita akan memperjuangkan hak hukum wartawan secara optimal dan saya optimis wartawan bisa memperoleh perlakuan hukum yang adil,” kata Bambang Harymurti pada lokakarya “Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian” yang dilaksanakan atas kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Kupang, Selasa (13/10/2009).

Perjuangan yang sudah dilakukan, katanya, antara lain mengampanyekan pasal pencemaran yang selama ini digunakan untuk menjerat wartawan dan perusahaan pers agar dapat dihilangkan dalam perangkat hukum di Indonesia.

Selain itu, lanjutnya, dalam kasus pidana pers, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung juga telah memerintahkan kepada aparat di tingkat bawah untuk menghadirkan Dewan Pers sebagai saksi ahli.

Dia menambahkan, kalaupun pasal pencemaran ini tetap dipertahankan dalam peraturan hukum di Indonesia, maka perjuangan terakhir adalah menghapus ancaman hukuman pidana dan menjadikan kasus pers sebagai kasus perdata.

“Kita sudah melakukan berbagai upaya baik di dalam negeri maupun di forum internasional yang intinya adalah memperjuangkan secara sungguh-sungguh agar penerapan hukum pidana dalam kasus pers dapat dihilangkan,” katanya.

Atmakusumah Astraatmadja dari Lembaga Pers Dr. Soetomo menambahkan, kalaupun harus ada tindakan hukum, baik kepada para jurnalis maupun perusahaan pers maka harus menggunakan hukum perdata.

Hanya saja, hukuman denda juga harus menggunakan pola denda proporsional. Artinya, hukuman yang dijatuhkan kepada wartawan dan perusahan pers tidak boleh disamakan, walaupun bobot kesalahan yang dibuat antara satu media dengan media yang lain sama.

Harian Kompas, misalnya, jika pengadilan menjatuhkan hukuman denda Rp100 juta, maka Harian Umum Pos Kupang hanya dikenakan denda Rp10 juta, karena Kompas dan Pos Kupang sangat jauh berbeda.

Penerapan pasal perdata yang berlebihan, mengakibatkan media massa tetap dalam acaman kebangkrutan sebagai dampak dari sebuah keputusan hukum.

“Kita tidak bisa memberikan denda kepada Harian Pos Kupang Rp1 triliun. Itu namanya langsung membunuh perusahan tersebut,” kata Atmakusumah Astraatmadja.

Lokakarya ini merupakan tindak lanjut dari Global Inter-Media Dialogue 2008 (GMID) di Bali, guna mengomunikasikan hasil kesepakatan jurnalis internasional di forum GMID kepada jurnalis daerah. Kegiatan ini juga diikuti perwakilan dari negara Timor Leste dan berlangsung hingga 15 Oktober.*

 

 

Published in Berita LPDS