Atma Merawat Kebebasan Pers

Pangkalpinang (Bangka Pos) – ATMAKUSUMAH Astraatmadja, panggilanya cukup Atma. Kalangan jurnalis dan aktifis pers tak asing dengan sosok satu ini. Usianya tergolong senja, akan tetapi Atma tak kenal lelah menjaga dan merawat kebebasan pers di Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyerahkan Penghargaan Kebebasan Pers (Press Freedom Award) kepada pria kelahiran Labuan, Banten 20 Oktober 1938 itu sebagai bukti konsistensinya terhadap kebebasan pers pada Sepetember 2008 silam.

Jauh sebelum AJI, The Ramon Magsaysay Foundation pada tahun 2000 memberikan penghargaan Ramon Magsaysay kepada Atmakusumah untuk Jurnalisme Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif sebagai pengakuan terhadap aktivitas Atma di dunia pers. Sebuah penghargaan jurnalistik yang jarang diterima tokoh pers di Indonesia.

Berbicara tentang pers dengan Atma, kata Lukas Luwarso dalam pengantar Buku Menjaga Kebebasan Pers (70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja) yang diterbitkan Lembaga Pers Dr. Soetomo, bagaikan melacak berbagai pergulatan pers Indonesia untuk menemukan kebebasan.

Akhir Oktober lalu, Atma berkunjung ke Pangkalpinang sebagai pembicara pada acara Lokakarya Jurnalistik di Hotel Bumi Asih. Sebelum tampil di depan puluhan peserta lokakarya, Atma menyempatkan diri berkunjung ke redaksi Harian Bangka Pos. Kehadirannya kami manfaatkan untuk berdiskusi panjang lebar tentang berbagai hal, kebebasan pers, kode etik jurnalistik, gugatan hukum terhadap pers, hingga ancaman kebebasan pers.

Agaknya ancaman kebebasan pers itulah yang merisaukan dirinya. Sebab Atma tak rela melihat media pers diberedel atau jurnalis dipenjara hanya karena karya jurnalistiknya. Albana Wartawan Bangka Pos Group menyarikan hasil diskusi berlangsung tiga setengah jam dengan Atma.

***
SUDAH 10 tahun kebebasan pers di Indonesia, namun bagi suami Sri Rumiati ini, bukan berarti perjuangan kebebasan pers itu usai. Justru tak kalah beratnya, yakni merawat dan mempertahankan kebebasan pers itu.

Itulah yang dilakoni pengajar tetap di Lembaga Pers Dr Soetomo Jakarta ini. Dia bersama tokoh pers lainnya berkunjung ke berbagai daerah di Indonesia untuk berdiskusi dengan para penegak hukum tentang karya jurnalistik dan pekerjaan pers. Tak heran pula jika Atma muncul di pengadilan ketika kasus hukum menimpa jurnalis.

Langkah ini sebagai upaya agar tidak terjadi kriminalisasi terhadap para jurnalis di Indonesia akibat dari karya jurnalistiknya. Hal yang wajar. Selama masa reformasi ini kriminalisasi karya jurnalistik masih saja terjadi. Berbagai kasus hukum menimpa jurnalis dan perusahaan penerbitan media pers. Berlarut-larut, kebebasan pers pun terancam oleh gugatan hukum ini.

“Kami berharap penegak hukum itu melihat karya jurnalistik seburuk apa pun, pada intinya jangan mengkriminalisasikan karya jurnalistik. Karya jurnalistik itu menurut saya selalu bisa diralat, diperbaiki, diluruskan hari-hari berikutnya,” kata Atma membuka percakapan petang itu.

Selama masa reformasi, Atma dan para ativis pers menemui para penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim khusus membicarakan masalah jurnalistik. “Kami selalu menganjurkan kepada penegak hukum, serahkan kepada para pembaca, pendengar, dan penonton untuk menilai sendiri kebenaran pemberitaan media pers,” ujarnya.

Kepada subjek pemberitaan media pers, entah itu seorang pengusaha atau seorang pejabat, bahkan perusahaan swasta terkena pemberitaan negatif sangat dianjurkan mengunakan hak jawab.

“Hari ini negatif besok bisa diubah menjadi pemberitaan positif atau secara berbarengan negatif dan positif dengan menggunakan hak jawab,” tukas pengarang Buku Tuntutan Zaman: Kebebasan Pers dan Ekspresi ini.

Menentang Pers Kebablasan

Hampir 10 tahun ini Atma dan para aktivis pers sudah mendatangi 32 ibukota provinsi di Indonesia. Dari diskusi dengan pengusaha maupun pejabat di daerah sebagai pihak yang diberitakan kerap merasa dirugikan oleh media pers akibat berita tidak akurat, tidak tepat, dan tidak berimbang. Subjek berita ini pun menuduh pers sudah kebablasan. Padahal kalimat ini sangat ditentang oleh Atma.

“Kita mendengar komentar para pejabat, para menteri, anggota DPRD, pejabat, termasuk di daerah selalu segi negatif saja. Seperti mereka katakan pers kebablasan. Sejak awal reformasi saya tidak setuju dengan istilah pers kebablasan. Kalau memang ada pemberitaan pers itu tidak akurat, tidak berimbang, sensasional, lihat dong edisi yang lain, kan tidak setiap hari pemberitaan itu tidak berimbang, tidak sensasional, tidak akurat. Ini yang menjadi perhatian,” papar mantan Ketua Dewan Pers ini.

Guna merawat kebebasan pers, sejak memimpin Dewan Pers independen pada awal orde reformasi, dia mengadakan diskusi sebanyak mungkin di beberapa ibu kota provinsi. Diskusi itu khusus berbicara dengan para hakim, jaksa, juru bicara kepolisian, dan pengacara. Langkah ini didukung pula oleh Bagir Manan yang menjabat Ketua Mahkamah Agung.

“Sejak awal kita minta dukungan MA. Tidak ada jalan lain untuk memelihara dan merawat kebebasan pers dan kebebasan berpendapat ini, kita harus sebanyak mungkin berbicara dengan orang-orang yang punya pengaruh terhadap kehidupan pers ini,” ujar pengajar LPDS ini.

Tak saja berdiskusi, Atma juga datang ke daerah bila terjadi pelanggaran kode etik jurnalistik oleh wartawan.

“Saya akan hadir di pengadilan sebagai saksi kalau pendapat saya itu menguntungkan yang meminta sebagi saksi. Tidak etis diminta media tapi keterangan saya merugikan media bersangkutaan. Nggak mungkin kan,” celetuknya.

Berimbang dan Adil

Hanya saja Atma juga mengingatkan jurnalis dan perusahaan penerbitan media terhadap karya jurnalistik yang mengungkapkan kasus penyelewengan kekuasaan maupun korupsi oleh pejabat agar tidak menulis sisi negatif saja dengan mengabaikan asas keadilan.

Untuk itu seharusnya satu pemberitaan tetap memberikan kesempatan yang sama kepada subjek berita pada edisi yang sama sehingga keadilan tidak hanya sekadar dicapai kalau satu edisi berita yang negatif, edisi berikutnya berisi informasi yang positif saja.

“Kalau ada gambaran buruk sekali terhadap subjek berita, ada tanggapan dari pihak diberitakan dimuat pada edisi yang sama. Karena pemberitaan itu harus adil,” tukasnya.

Sayangnya berdasarkan pengamatan Atma, tidak semua media pers melakukan itu. Dia masih menjumpai jika hak jawab dimuat pada edisi berikutnya dianggap media bersangkutan sudah berimbang.

“Betul berimbang tapi kurang adil. Kalau tuduhan hanya umum seperti yang kita beritakan seperti tuduhan KPK, Kepolisian, Kejaksaan yang terus berangkai itu bisalah. Hari ini orang KPK, besok orang kepolisian. Akan tetapi kalau menyangkut seseorang atau lembaga yang kita tuduh melakukan hal-hal negatif berdasarkan investigasi reporting kita, saya rasa dalam edisi yang sama patut dimuat versi dari pihak yang kita beritakan secara negatif itu untuk mencapai keadilan. Itu yang saya maksud dengan sikap fairness atau keadilan dalam pemberitaan kita, yaitu keberimbangan,” papar Atma.

Jika media pers sudah melakukan hal seperti ini, lanjut Atma, keberimbangan hak jawab hanya digunakan sebagai pemecahan terakhir untuk menciptakan akurasi dan keberimbangan dalam pemberitaan. Ketika media sudah memberitakan sebuah lembaga yang baik maupun negatif, hak jawab sifatnya sekadar melengkapai akurasi.

“Inilah yang disalahtafsirkan. Pokoknya hak jawab itu apa sajalah. Padahal hanya untuk melengkapi apa yang kurang,” ungkap pria yang pernah bekerja sebagai komentator lepas di RRI tahun 1996-1998. (*)

Sumber: Bangka Pos, MINGGU, 8 NOVEMBER 2009

 

Published in Berita LPDS