Menegakkan Etika Jurnalistik, Mendorong Profesionalisme Wartawan

Kebebasan pers membutuhkan wartawan yang paham dan taat kode etik. Tanpa itu, kebebasan pers hanya akan berdampak buruk bagi masyarakat dan pers itu sendiri. Menegakkan kode etik memang tidak semudah membalik telapak tangan. Dibutuhkan waktu lama dan kerja bersama yang terus-menerus karena banyak hal memengaruhinya.

Hari pertama Seri Lokakarya untuk memperingati ulang tahun ke-21 LPDS membahas persoalan kode etik jurnalistik. Hadir sebagai pembicara pengajar LPDS, Atmakusumah Astraatmadja, dan Redaktur Pelaksana harian Kompas, Budiman Tanuredjo. Lokakarya yang digelar hari Selasa, 21 Juli 2009, ini dipandu oleh Marthen Selamet Susanto, Pemimpin Redaksi harian Koran Jakarta. Berikut adalah transkrip lokakarya tersebut:

Marthen Selamet Susanto (Moderator)

Keberadaan kode etik jurnalistik sangat penting bagi mereka yang bekerja di dunia pers. Hari ini, misalnya, di gedung Dewan Pers ini ada dua kegiatan yang membahas tema kode etik.

Kode etik dirasakan bertambah penting karena sekarang terbuka luas bagi masyarakat untuk mendirikan surat kabar. Tidak perlu lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk menerbitkan media pers cetak. Sehingga, dalam satu tahun pada awal masa Reformasi tahun 1999, jumlah media pers cetak bertambah enam kali lipat. Tentunya media sebanyak itu juga membutuhkan wartawan yang banyak.

Situasi pers ini mirip dengan dunia perbankan tahun 1990-an saat Paket Kebijakan Oktober dikeluarkan. Ketika itu orang yang bermodal Rp50 miliar boleh mendirikan bank. Namun, karena tenaga profesional di bidang perbankan kurang, akhirnya banyak yang menjadi bankir. Situasi yang sama terjadi di dunia pers saat ini. Begitu mudah menerbitkan surat kabar sehingga seseorang juga dengan mudah bisa menjadi wartawan.

Masalahnya, dari sekian banyak wartawan hanya sedikit yang pernah belajar atau memahami kode etik jurnalistik. Mereka yang memahami atau pernah mempelajari kode etik belum tentu bisa menerapkannya sehingga wartawan sering menghadapi kendala saat meliput. Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) mengadakan lokakarya untuk menyambut ulang tahun ke-21. Salah satu tema yang dibahas adalah kode etik jurnalistik.

Presentasi

Atmakusumah (Pembicara)

Ketika diminta memberi materi mengenai problem penegakan kode etik jurnalistik, saya merenung, apa problemnya? Salah satu problem atau kerumitan kode etik jurnalistik adalah kemungkinannya untuk ditafsirkan dari beberapa sisi. Dengan kata lain, ia bisa memiliki beberapa tafsiran untuk berbagai pasal atau multi-interpretable. Inilah yang agak menyulitkan penggunaan kode etik jurnalistik.

Walaupun begitu, hanya penafsiran yang masuk akal atau rasional yang lazimnya dapat diterima oleh para pengamat dan praktisi dunia pers. Tapi, penafsiran tersebut sering bisa bermacam-macam.Mari kita lihat contoh-contoh bagaimana rumitnya kode etik jurnalistik. Saya pernah ditanya oleh hakim di pengadilan–dalam kaitan dengan penafsiran kode etik jurnalistik–mengenai bagaimana membuat rumusan untuk kasus pers tertentu. Saya katakan, “Pak Hakim harus bertanya kepada ahlinya. Dan, karena itulah saya diundang oleh hakim.”

Putusan hakim kadang-kadang sejalan dengan pendapat saksi ahli (keterangan ahli) yang diundang. Ketika majalah Playboy Indonesia diadili, umpamanya, banyak orang mengira media itu akan dijatuhi hukuman. Tapi, para ahlinya mengatakan tidak ada pelanggaran kode etik jurnalistik yang dilakukan Playboy Indonesia. Media ini bukan media pornografi, tapi media serius. Gambar-gambar yang dimuatnya pun tidak sesensual seperti, misalnya, gambar di majalah Popular yang terbit di Jakarta. Malah jauh dari itu. Wakil Ketua Dewan Pers Sabam Leo Batubara mengemukakan hal yang sama. Akhirnya hakim memutuskan kasus Playboy Indonesia dikembalikan ke Kejaksaan, artinya ditolak oleh hakim.

Kita lihat contoh yang paling mutakhir. Tanggal 19, 20, dan 21 Juni lalu saya membaca sebuah berita di harian Surya, yang terbit di Surabaya.

(Catatan: Atmakusumah kemudian menyampaikan pemaparannya seperti yang ada di makalahnya)

Budiman Tanuredjo (Pembicara)

Saya hadir di forum ini untuk menggantikan Pemimpin Redaksi harian Kompas, Rikard Bagun, yang kebetulan menghadiri acara lain. Sekalipun sebagai pembicara pengganti, saya sangat antusias terlibat dalam diskusi ini karena masalah yang dibicarakan menyangkut banyak hal dalam pekerjaan sehari-hari. Pers memang senantiasa punya masalah; dan kalau masalahnya berhenti, maka kegiatan pers juga berhenti.

Dalam pandangan saya, permasalahan terbesar pers adalah bagaimana wartawannya mampu menaati kode etik jurnalistik, yakni sesuatu yang seharusnya menjadi simbol kebanggaan profesinya. Hanya saja, seperti yang sering dibicarakan dalam diskusi-diskusi mengenai pers, tidak banyak wartawan yang memahami kode etiknya. Jangankan memahami kode etik, masih banyak wartawan yang belum pernah membaca kode etik.

Apalagi, wartawan dewasa ini banyak pula yang malas menyiapkan bahan liputannya, mencari latar belakang narasumbernya, dan malas pula menguji tingkat kebenaran informasi yang disampaikan narasumbernya. Sebagai contoh, wartawan langsung percaya kepada komentar Mbah Surip yang menyatakan bahwa lagu “Tak Gendong” diciptakannya di bawah jembatan Golden Gate di Amerika Serikat. Wartawan tidak menguji ulang fakta dari komentar tersebut, yakni apakah memang benar Mbah Surip pernah ke Amerika Serikat. Atau, apakah Golden Gate yang dimaksud Mbah Surip adalah jembatan di Amerika Serikat. Sebab, Mbah Surip justru jangan-jangan asal bicara, dan Golden Gate yang dimaksudnya berbeda dengan gambaran logika umum.

Mengenai survei Dewan Pers yang menyebutkan orang condong mengadu ke polisi daripada menggunakan Hak Jawab, dapat dilihat pertama-tama dari sudut orang yang diberitakan. Mungkin ia merasa Hak Jawabnya dimuat secara tidak proporsional. Orang sering mempersoalkan karena Hak Jawabnya muncul di rubrik Surat Pembaca atau di body text berita. Pemuatan tersebut dianggap tidak memenuhi kegeramannya terhadap koran sehingga melapor ke polisi.

Ada beberapa motif lain mengapa orang melaporkan pers ke polisi, terutama motif uang. Ini tren yang harus diwaspadai, yaitu munculnya kesadaran masyarakat mengenai pers, namun dapat mendelegitimasi kebebasan pers itu sendiri. Kalau semua diukur dengan uang, pers bisa bangkrut.

Karena itu, pers perlu mencermati, menyiasati, dan mengerti keberadaan pasal-pasal hukum positif agar tidak menjerat wartawan dan (hasil pekerjaannya tidak) menjadi kasus hukum. Apalagi saat ini komplikasi hukum tidak sederhana. Misalnya, dengan munculnya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), maka ada dua hukum yang mengatur pers. Ketika berita dimuat di media cetak, ia berada di wilayah hukum UU Pers. Tetapi, saat berita tersebut dimasukkan ke dalam dunia maya, ada hukum lain yang mengatur, yaitu UU ITE. UU Pers dan UU ITE memuat beberapa aturan yang berbeda, misalnya UU ITE tidak mengenal Hak Jawab.

Contoh lainnya, ketika berita yang dimuat di website dikomentari, siapa yang bertanggung jawab terhadap komentar itu? Kasus yang dialami Iwan Piliang–yang dilaporkan ke polisi karena komentarnya di milis forum pembaca Kompas dianggap mencemarkan nama baik–juga masih menjadi perdebatan.

Tantangan baru masih banyak yang harus dicermati dan diantisipasi oleh wartawan dalam konteks media online, etika, serta hukum.

Atmakusumah

Dalam beberapa tahun terakhir semakin banyak orang mengadu ke Dewan Pers. Menurut catatan Dewan Pers, selama sepuluh tahun ini lebih dari 1.500 pengaduan diterima oleh Dewan Pers. Ada pengaduan yang bisa diproses penyelesaiannya dalam sehari, ada juga yang sampai tiga bulan, seperti pengaduan Letjen TNI Djadja Suparman terhadap enam media pers pada tahun 2003.

Ketika saya mengikuti kegiatan LBH Pers berdiskusi dengan para penegak hukum–terutama para hakim, pengacara, dan jaksa–mereka mengatakan Dewan Pers kurang dikenal publik sehingga orang lebih memilih mengadu ke polisi. Saya katakan, Dewan Pers (independen) baru dibentuk sepuluh tahun. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) juga belum lama dibentuk. Sementara polisi sudah ada sejak puluhan tahun lalu, bahkan sudah dikenal dari masa penjajahan Belanda sehingga polisi paling diingat orang. Namun, kian lama semakin banyak orang yang mengetahui dan mengadu ke Dewan Pers serta KPI.

Ada pandangan, dengan melapor ke polisi dan pengadilan, dapat diperoleh kemenangan atau bisa membalas dendam karena yang diadukan masuk penjara atau didenda. Masyarakat memang ada yang mementingkan balas dendam. Karena itu, penting sekali bila publik mendapat informasi yang lengkap tentang suatu peristiwa yang dapat menimbulkan konflik antara subjek berita dan pers. Maksudnya, kalau berperkara di pengadilan memakan waktu yang lama dan banyak biaya untuk membayar pengacara. Tapi, ketika memilih menggunakan Hak Jawab, publik segera mengetahui persoalan yang sebenarnya. Inilah paling tidak yang bisa dijelaskan kepada orang yang lebih suka mengadu ke polisi daripada menggunakan Hak Jawab.

Dengan menggunakan Hak Jawab, misalnya hari ini beritanya salah, maka besok atau dua hari kemudian publik sudah mengetahui persoalannya. Di halaman mana pun dimuatnya, orang akan membacanya, termasuk di rubrik Surat Pembaca yang terkadang menimbulkan ketidakpuasan. Orang tidak akan membaca seluruh halaman koran. Orang akan membaca di mana pun juga hal-hal yang menarik baginya. Surat Pembaca tidak menjadi masalah.

Kalau subjek berita diberitakan negatif pada hari Senin dan berita positifnya pada hari Rabu atau dua hari kemudian, memang ada orang yang mungkin hanya membaca edisi Senin, tapi tidak membaca edisi Rabu. Banyak juga orang yang tidak membaca edisi negatif, tapi membaca Hak Jawab yang positif. Ada banyak pula yang membaca keduanya, atau tidak membaca keduanya.

Publik saya kira banyak yang belum memahami hal ini sehingga kalau diberitakan negatif seolah-olah dunia mau kiamat. Pers juga mungkin melakukan kesalahan karena arogan, merasa dirinya punya pengaruh sangat besar. Belum tentu berita itu punya pengaruh yang besar. Masyarakat tidak perlu takut.

Dialog

Muhammad Husein (Surat Kabar Madina)

Menjadi problematik kalau media memiliki ideologi tertentu. Teman saya merasa dirugikan oleh berita. Perkataannya dibolak-balik oleh media. Saya katakan, gunakan Hak Jawab. Tapi, menurutnya percuma karena media tidak akan mendengarkan. Dia tidak menggunakan Hak Jawab, tapi memakai cara lain seperti melalui milis. Orang tidak mau mengadu bukan karena tidak tahu Hak Jawab, tapi karena dianggap percuma.

Wartawan harus melakukan konfirmasi kepada pihak yang diberitakan. Masalahnya, bagaimana jika upaya konfirmasi kepada orang penting dihalangi bawahannya. Bawahannya mengatakan bosnya tidak bisa diwawancarai. Padahal wawancara itu penting dilakukan.

Peserta

Kita berbicara tentang etika secara kasuistik. Misalnya, pemberitaan mengenai Ahmadiyah. Semua media umumnya menyudutkan Ahmadiyah, tidak ada informasi pengimbang dari Ahmadiyah. Bahkan ada sebuah media yang melakukan investigasi tentang rencana sekelompok orang untuk menghancurkan Ahmadiyah. Tapi, media itu tidak mau memublikasikan temuannya. Sikap tersebut bisa timbul karena tekanan dari pemerintah. Atau, wartawannya sendiri tidak mau memublikasikan karena didorong oleh keyakinan yang dianutnya.

Peserta

Harian Media Indonesia dimiliki oleh Surya Paloh, sementara harian Jurnal Nasional dekat dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Terkait dengan profesionalitas, bagaimana sikap wartawan apabila pemilik media tempatnya bekerja terkena masalah yang menyangkut kepentingan publik? Apakah tetap harus diberitakan?

Yuanda (Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka)

Bagaimana wartawan yang tidak berlatarbelakang pendidikan jurnalistik? Apakah keberadaan wartawan semacam itu hanya karena “rebutan lahan” atau bagian dari kebebasan untuk menjadi wartawan? Bagaimana meminimalisir pelanggaran kode etik?

Wahyu (Forum Pers Mahasiswa Jakarta)

Forum Pers Mahasiswa Jakarta pernah mengalami pemberedelan yang dilakukan oleh rektorat. Bagaimana sebenarnya payung hukum terhadap pers kampus? Sebab, ketika kami melakukan kritik sosial di kampus, ada upaya untuk mematikan kebebasan bersuara kami.

Sebenarnya, apakah independensi wartawan itu masih ada? Saya pernah bekerja di sebuah media yang cukup terkenal. Ketika itu saya bertanya kepada wartawan di sana, apakah masih ada independensi di industri pers? Dia katakan tidak ada dan tergantung seperti apa melihat independensi itu. Mahasiswa di kampus belajar mengenai independensi pers, namun ketika persoalan tersebut ditanyakan kepada orang yang bekerja di media massa, mereka mengatakan independensi tidak ada.

Peserta

Baru-baru ini muncul kasus seorang warga diadukan oleh berbagai pihak karena menulis surat pembaca di media. Bagaimana sebenarnya perlindungan hukum untuk penulis surat pembaca dan pelaku jurnalisme warga? Apakah media yang memublikasikan tulisan tersebut harus ikut terlibat secara hukum? Dalam beberapa persidangan perkara ini dinyatakan bahwa surat pembaca bukanlah produk jurnalistik karena penulisnya bukan wartawan.

Budiman Tanuredjo

Apabila Hak Jawab tidak dimuat oleh media tertentu, coba adukan ke Dewan Pers. Dewan Pers akan menguji apakah karya jurnalistik yang dimuat itu sesuai dengan kode etik jurnalistik. Dewan Pers akan mengeluarkan pernyataan penilaian mengenai berita itu dan memutuskan apakah Hak Jawabnya perlu dimuat atau tidak. Jangan dulu bersikap apriori bahwa Hak Jawab tidak akan dimuat.

Saya juga pernah menguji ke Dewan Pers ketika ada Hak Jawab yang menurut saya tidak memenuhi ketentuan sebagai Hak Jawab. Ada perbedaan pendapat dan Dewan Pers yang menguji pendapat mana yang benar.

Saya tidak bermaksud menggeneralisasi bahwa semua wartawan muda itu melakukan plagiat. Yang saya katakan, ketika saya di dewan kehormatan wartawan Kompas, ditemukan gejala plagiat pada wartawan muda. Plagiarisme bisa berupa kloning atau satu rekaman didengar bersama-sama, padahal si wartawan tidak datang ketika dilakukan perekaman. Ada tren menuju ke sana.

Kalau wartawan senior dinilai pro status quo, itu penilaian publik terhadap media. Di harian Kompas tempat saya bekerja, antara news room dan bisnis menjadi entitas yang terpisah. Tidak mungkin ada intervensi dari biro iklan untuk memberitakan atau tidak memberitakan sesuatu dengan jaminan pemasangan iklan. Sebagai contoh, Kompas pernah menulis kritik mengenai sebuah tempat wisata. Kemudian tempat wisata itu memutuskan tidak beriklan lagi di Kompas. Saya katakan, silakan tidak beriklan, tapi Kompas tetap akan mempertahankan kebenaran tulisannya. Ternyata tempat wisata itu kembali beriklan di Kompas. Katanya, berita Kompas yang diprotes justru bernilai lebih dari iklan bagi tempat wisata itu.

Ada “garis api” yang tegas antara news room dan bisnis. Tidak akan bisa beriklan dengan syarat diberitakan atau tidak ingin diberitakan. Memberitakan dan tidak memberitakan adalah sebuah pilihan dengan mempertimbangkan berbagai hal, misalnya apakah ada pelanggaran etika. Pada zaman Orde Baru semua pesan telepon dari pejabat ke media dicatat, tidak boleh memberitakan ini dan itu. Sekarang relatif tidak ada lagi. Tapi, kontrol publik semakin keras terhadap pemberitaan. Publik memiliki persepsi yang bermacam-macam mengenai media dan wartawan.

Independensi wartawan masih ada atau tidak? Sekarang saya masih merasakan independensi itu. Kalau misalnya Pak Jakob Oetama menelepon saya dan bertanya-tanya, itu bukan intervensi karena beliau Pemimpin Umum Kompas. Kalau ada orang berpendapat pers tidak lagi independen, hal itu bagian dari pendapat publik mengenai tren media sekarang. Tidak lagi independen bukan saja dari negara, tapi juga terhadap kapital. Tapi, melihat independensi media jangan dari satu atau dua pemberitaan, harus dengan penelitian.

Mengenai Khoe Seng Seng, yang dihukum penjara dalam masa percobaan karena menulis surat pembaca, sebenarnya kasus ini melibatkan banyak orang. Dan, menjadi kewenangan Dewan Pers untuk menilai apakah media harus ikut menjadi tergugat dan apakah surat pembaca termasuk karya jurnalistik.

Dalam kasus Iwan Piliang, awalnya ia memposting suatu pendapat di milis forum pembaca Kompas yang kemudian menimbulkan konflik dengan anggota DPR Alvin Lie. Milis tempat Iwan menyampaikan pendapatnya berada di luar kontrol manajemen Kompas. Milis itu menjadi sarana masyarakat untuk mendiskusikan berita Kompas. Sebenarnya kasus ini dalam domain hukum apa?

Berita media pers cetak berada dalam payung hukum UU Pers. Namun, ketika berita itu ditautkan ke media online, maka masuk wilayah UU ITE. Memang ada kompleksitas legal dalam konstruksi UU ITE, UU yang sekarang banyak diadvokasi oleh media karena mencampuradukkan antara transaksi elektronik dan informasi.

Dalam konteks jurnalisme warga di wilayah online, aturannya berada dalam koridor UU ITE. Ketika konteksnya surat pembaca di media cetak, penanggung jawabnya adalah pemimpin redaksi. Sehingga, kalau ada orang merasa dirugikan dan menggugat secara perdata, media yang bersangkutan bisa ikut tergugat. Persoalan ini masih menjadi perdebatan legal. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur–yang menghukum Seng Seng karena surat pembaca–belum menjadi putusan final. Masih ada putusan pengadilan tingkat lain yang akan menguji bagaimana legal standing atau posisi surat pembaca.

Mengenai latar belakang pendidikan wartawan, saya sendiri bukan dari jurusan jurnalistik, tapi teknik nuklir. Saya tidak tahu proporsi alumni publisistik di Kompas. Sejauh pengamatan saya, tidak ada korelasi bahwa orang yang kuliah di jurnalistik atau komunikasi akan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai kode etik jurnalistik. Hal itu semata-mata bersifat pribadi.

Atmakusumah

Ada media yang tidak mau melayani Hak Jawab. Media apa ini? Ketika di Dewan Pers (2000-2003) saya dihubungi oleh humas perusahaan yang merasa dirugikan karena diberitakan negatif di media kecil yang oplahnya seribuan. Anjuran saya, pilihannya dua: menggunakan Hak Jawab atau biarkan saja karena media itu hanya dicetak sedikit—malah jangan-jangan tidak dibaca orang. Namun, pilihan ini kurang mendidik. Lebih baik kalau diadukan ke Dewan Pers walaupun Dewan Pers bisa bingung apakah yang diadukan itu media pers atau bukan.

Saat di Dewan Pers saya tidak membuat batasan yang ketat mengenai media pers atau bukan. Misalnya, sebuah majalah serikat buruh di Jakarta Utara diadukan. Pengaduan itu diproses, pengadunya dianjurkan untuk menggunakan Hak Jawab dan pemimpin redaksinya diundang serta diminta untuk memuat Hak Jawab. Jadi, semakin lama akan semakin kabur batas antara media pers dan bukan. Sekarang pun sudah terjadi.

Di kampus, misalnya, ada sebutan media pers mahasiswa. Padahal bukan media pers. Pers kampus seperti harian Kami atau Salemba akhirnya menjadi media pers karena dibaca publik di luar kampus. Selama penerbitan itu dibuat di kampus dan sangat tergantung pada rektor, maka sangat sulit memiliki kebebasan. Penerbitan itu menjadi seperti media pertukaran informasi antarmahasiswa.

Istilah media pers lama kelamaan akan kabur. Mungkin suatu ketika tidak perlu Dewan Pers dan UU Pers; yang penting ada UU kebebasan berekspresi yang dapat melindungi kebebasan informasi dan berpendapat di media apa pun. Misalnya, di media serikat pekerja, kampus, dan lain-lain. Suara Karya apakah dapat disebut media pers karena sudah pasti akan menyuarakan kepentingan politik Partai Golkar. Jurnal Nasional termasuk media pers atau bukan karena pasti harus mengikuti kebijakan politik Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Idealnya media pers tidak berinduk kepada kelompok masyarakat, partai politik, dan pemiliknya sekalipun. Semua kebijakan redaksi ditentukan oleh redaksinya.

Yang terpenting harus ada kebebasan berekspresi. Kebebasan berekspresi mencakup juga kebebasan orang untuk berpendapat, kebebasan pers, kebebasan mengutarakan aspirasi, kebebasan berbicara. Harus diperjuangkan agar kelak yang terkait kebebasan berekspresi tidak ada di dalam hukum pidana. Kalau pun masih akan diatur, diaturnya di dalam hukum perdata dengan ganti rugi yang proporsional. Artinya, dapat dibayar sesuai dengan kemampuan, supaya tidak bangkrut. Tujuannya agar orang tidak takut berpendapat lagi. Prinsip ini harus diperjuangkan karena bukan khayalan. Semua negara bagian di Amerika Serikat sudah memberlakukannya.

Mengenai sulitnya konfirmasi kepada orang penting karena dihalangi bawahannya, apa boleh buat, sampaikan saja di dalam berita bahwa “wartawan kami sudah berupaya untuk meminta klarifikasi atau konfirmasi, tapi yang bersangkutan tidak bersedia diwawancarai atau tidak ada komentar.” Dan, memang kode etik jurnalistik melarang wartawan untuk memaksa. Hanya dalam investigative reporting wartawan boleh sedikit memaksa. Tapi, investigative reporting alasannya harus kuat. Misalnya, investigasi dilakukan terhadap seorang pejabat yang terlibat korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan yang sangat merugikan masyarakat.

Independen tidak berarti netral, tapi boleh berpihak. Independen adalah putusan redaksi suatu media–apa pun putusannya–dalam kebijakan peliputan dan penyajian pemberitaan. Silakan berpihak kepada presiden atau kepada partai gurem; yang terpenting alasannya kuat. Misalnya, karena partai gurem tersebut punya program paling baik untuk masa depan Indonesia. Alasannya bukan karena saudara, suku, agama, atau ras, tapi karena keyakinan untuk berpihak pada kebenaran dan keadilan, tidak kepada pelanggaran hak asasi manusia.

Keberpihakan itu lebih baik tercermin di dalam tajuk rencana dan tulisan opini yang ada nama penulisnya. Tapi, jangan lupa, di dalam pemberitaan pun wartawan bisa menyusupkan keberpihakannya. Silakan saja kalau pemimpin redaksinya setuju. Terserah pada publik, mau memilih berlangganan media pers tersebut atau tidak. Kalau keberpihakan media pers membuat oplahnya melorot, mereka akan mulai berpikir. Sikap independen juga berarti boleh netral.

Pada akhirnya tanggung jawab terbesar pers adalah kepada publik. Jurnalisme biasanya lebih menganjurkan menyiarkan atau menyajikan karya jurnalistik yang perlu bagi publik, bukan yang diinginkan. Tapi, banyak tabloid bukan menyajikan karya jurnalistik yang perlu–artinya edukatif–tapi yang diinginkan, seperti informasi gosip.

Media pers tidak berada di ruang vakum. Pers sangat dipengaruhi dan bisa tertekan oleh situasi sosial dan politik. Di Kalimantan Tengah atau Barat sulit menyajikan karya jurnalistik secara independen. Media pers bisa diadili secara adat. Dendanya lumayan besar, misalnya memotong sapi 20 ekor. Media harus berhati-hati. Dan, kalau diminta 20 ekor ditawar saja, misalnya menjadi 2 ekor.

Media pers juga menghadapi norma agama, selain norma sosial. Di Palu ada media yang sampai memberedel diri sendiri, tiga hari tidak berani terbit setelah didemo oleh umat Islam karena memuat opini tentang Islam yang kritis. Media pers juga tidak bisa sepenuhnya menjalankan independensi sesuai dengan idealisme universal karena ada banyak pengaruh sosial dan politik.

Di daerah banyak media pers harus bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mendapatkan advertorial. Atau berbaik hati dengan pengusaha daerah agar mau memasang iklan. Padahal pengusaha itu belum tentu perlu memasang iklan di koran daerah. Berbeda dengan pemerintah daerah yang jelas ingin berkampanye.

Tidak mudah menerbitkan media pers atau mengelola siaran radio dan televisi di daerah. Kebebasan pers di Jakarta jauh lebih kuat dibandingkan dengan di daerah. Di Jakarta para wartawan atau pengelola pers banyak yang tidak punya hubungan sangat erat dengan para pejabat seperti presiden, menteri, atau wali kota. Para wartawan di daerah mungkin masih saudara atau tetangga pengusaha atau wali kota. Tentunya susah memberitakan hal yang buruk tentang saudara atau tetangganya. Hal ini sangat mempengaruhi kebebasan pers di Indonesia.

Saya pernah menyindir sebuah media pers di Jakarta. Saya katakan, “media Anda dimiliki oleh sebuah perusahaan besar. Anda pasti akan menyeleksi dan tidak akan memberitakan hal-hal yang tidak enak bagi perusahaan pemilik media Anda.”

Katanya, “tidak mungkin saya memberitakan sacara mendalam bahwa direktur utama perusahaan pemilik media saya terlibat korupsi. Itu tidak mungkin. Apa saya sudah gila? Media lain juga tidak mungkin memberitakan semendalam itu tentang pimpinan perusahaan pemilik medianya. Janganlah mengharapkan saya melakukan itu. Tapi, kalau ada hal-hal yang perlu diketahui publik tentang direktur utama itu, akan saya beritakan. Tapi, untuk memerintahkan wartawan saya menyelidiki secara mendalam, tidak mungkin.”

Marthen Selamet Susanto

Baiklah Bapak dan Ibu sekalian, sampailah kita di ujung acara ini. Saya selaku moderator menyampaikan terima kasih kepada semuanya yang telah hadir di sini, khususnya kepada Pak Atmakusumah dan Pak Budiman. Semoga apa yang kita diskusikan hari ini dapat menjadi masukan positif bagi kemajuan pers nasional. Terima kasih. (Tim LPDS)

Published in Berita LPDS