Tak Bisa Jauh dari Dunia Jurnalistik

(Koran Jakarta) – “Hidup sebagai wartawan itu menyenangkan,” ungkap Atmakusumah Astraatmadja, mantan wartawan senior Indonesia Raya (IR) ketika ditanyakan kesan-kesannya menjalani profesi wartawan selama bertahun-tahun.

Perkenalan penulis buku Tuntutan Zaman: Kebebasan Pers dan Ekspresi itu dengan dunia jurnalistik dimulai sejak dia duduk di bangku SMA.

Ketika itu, Atmakusumah yang memang mencintai dunia tulis-menulis dipercaya untuk mengelola sendiri majalah internal di sekolahnya. Berkat prestasinya, setelah lulus SMA dia diterima sebagai redaktur di koran minggu Indonesia Raya (IR).

Sembari bekerja di harian tersebut, Ketua Dewan Pers periode 2000 hingga 2003 itu melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Publisistik (sekarang IISIP).

Setelah satu tahun bekerja di IR, Atmakusumah pindah ke kantor berita Pers Biro Indonesia. Selanjutnya, dia hijrah ke Melbourne, Australia, untuk bekerja di Radio Australia ABC.

Tiga tahun lamanya dosen yang kini sibuk mengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo itu mengalami masa-masa suka cita di Negeri Kanguru hingga masa kontraknya habis.

Namun, dia tidak lantas pulang ke Tanah Air melainkan melanglang buana ke Eropa. Uang hasil tabungannya selama tiga tahun bekerja di Australia-lah yang digunakannya untuk membiayai perjalanan berkeliling Benua Biru menggunakan kapal laut selama satu bulan.

Pertama kali, Atmakusumah tiba di Genoa, Italia, dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Swiss, Prancis, hingga akhirnya menetap untuk bekerja di Kota Cologne (Koln), Jerman, sebagai kontributor radio Deutsche Welle.

Selama 10 bulan di Jerman, dia memutuskan pulang ke Indonesia pada 1 Oktober 1965. Sepulang dari Jerman, Atmakusumah bekerja di Kantor Berita Antara.

Setelah mengabdikan diri di kantor berita nasional itu dia pun memutuskan untuk bergabung kembali dengan IR sebelum pada 1974 harian itu dibredel.

Tampaknya karena sikapnya yang kritis saat bekerja sebagai jurnalis media cetak, mantan ketua tim Ombudsman Kompas itu masuk ke dalam daftar 14 wartawan yang dilarang bekerja kembali di media massa.

Meski gerak-geriknya di dunia jurnalistik dibatasi, perjalanan hidupnya tetap tak jauh dari dunia tersebut. Dia lantas bekerja sebagai information specialist pada US Information Service hingga 1992.

Dirinya mengaku rasa syukurnya justru bertambah besar manakala dia bekerja di luar perusahaan media. Saat menjalani profesi sebagai pekerja hubungan masyarakat (humas) dia lebih intens mengikuti perkembangan dunia pers.

Selama bekerja di Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) yang dijalaninya dalam kurun waktu 20 tahun, Atmakusumah aktif pula mengajar di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS).

Apabila zaman dulu pers berkembang sesuai dengan dinamika politik yang sedang terjadi, pasca kemerdekaan pers menjadi pemersatu dengan ideologi nasionalisme yang tinggi. Tantangan lainnya dimulai pada 1948, polemik antara perusahaan media lazim terjadi.

Hal tersebut dikarenakan masing-masing perusahaan media diboncengi ideologi partai politik pada masa itu.

Berlanjut ke fase berikutnya, yakni fase otoritarian, pada 1956 pemerintahan Soekarno banyak membredel media-media massa dan pembredelan itu semakin marak pada 1958. Pengebirian dunia jurnalistik justru terjadi pada masa pemerintahan Soeharto.

Ketika itu, terjadi pencabutan SIUPP pada majalah Tempo, Editor, dan tabloid politik Detik. Kini, pascareformasi, pers nasional mulai bisa menghirup udara kebebasan.

Kebebasan itu, kata Atmakusumah, hendaknya digunakan untuk menciptakan karya-karya jurnalistik yang progresif dan menjadi agen perubahan.

“Satu pesan saya, pers merupakan sesuatu yang tercipta dari modernitas, sehingga pers zaman sekarang seharusnya lebih maju dari perkembangan kebudayaan masyarakat, rasional, kritis, dan independen,” tandas penerima The Ramon Magsaysay Award berkat kiprahnya di bidang jurnalistik itu.
hag/L-2

Sumber: Harian Koran Jakarta, Selasa, 09 Februari 2010
http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=44705

Foto: Atmakusumah saat mengajar di LPDS

Published in Berita LPDS