Tifatul Diminta Kaji Ulang RPM Konten Multimedia

JAKARTA (Koran Jakarta) – Dewan Pers mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring melibatkan pemangku kepentingan seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia dalam pembahasan Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Konten Multimedia.

“Sekilas, Kementerian Komunikasi dan Informatika melihat RPM Konten Multimedia tidak terkait dengan pers, padahal siaran televisi, radio, dan tentu saja media massa online terakses lewat Internet,” kata anggota Dewan Pers, Zulfiani Lubis, yang akrab disapa Uni Lubis, di Jakarta, Selasa (16/2).

Dewan Pers menganggap RPM itu bertentangan dengan UU Pers, UU Penyiaran, dan UUD 1945 Pasal 28 yang menyatakan kemerdekaan berpendapat.

Uni menjelaskan bahwa pernyataan Dewan Pers tersebut merupakan hasil rapat perdana Dewan Pers pada Senin (15/2).

Uni menjelaskan konsideran RPM Konten Multimedia mengacu pada enam undang-undang, antara lain UU Pers dan UU Penyiaran.

“UU Pers dalam Pasal 4 Ayat 2 menyatakan pers tidak dikenakan, baik pembredelan, penyensoran, maupun pelarangan penyiaran. Oleh karena itu, baik pemerintah maupun Kominfo tidak boleh membredel pers,” kata Uni.

Pada UU Penyiaran, Uni mengatakan bahwa pengawasan konten dan sanksi penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

“Jadi RPM Konten Multimedia ini menggunakan enam undang-undang sebagai konsideran, tetapi isinya bertentangan dengan UU Pers dan UU Penyiaran,” katanya.

Oleh karena itu, Dewan Pers meminta Kementerian Komunikasi sebagai kementerian yang membahas RPM Konten Multimedia untuk melibatkan pemangku kepentingan, seperti Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia, dalam perumusan RPM tersebut.

Dewan Pers menganggap RPM Konten Multimedia tersebut menyentuh produk pers, baik cetak maupun elektronik, yang diunduh melalui Internet. “Kami segera mengontak Pak Tifatul untuk berdialog dengan Dewan Pers” tambah Uni.

Melanggar HAM Sementara itu, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan RPM tentang Konten Multimedia berpotensi melanggar kebebasan berpendapat.

Menurutnya, segala sesuatu yang berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) sudah selayaknya tidak diatur dalam tingkatan peraturan pemerintah, apalagi peraturan menteri. “Untuk membatasi Konten Multimedia seharusnya menggunakan undangundang,” kata Mahfud.

Berdasarkan draf RPM tentang Konten Multimedia, dalam Pasal 2 disebutkan bahwa maksud dari pembentukan Peraturan Menkominfo ini adalah melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik, dokumen elektronik, dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum.

Sementara konten yang dilarang untuk didistribusikan atau diakses antara lain konten pornografi , konten yang menurut hukum melanggar kesusilaan, konten yang menawarkan perjudian, dan konten yang merendahkan baik aspek fisik maupun nonfisik.

Selain itu, konten lainnya yang dilarang adalah berita bohong dan menyesatkan, menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), ancaman kekerasan atau menakut-nakuti, muatan privasi, dan muatan hak kekayaan intelektual tanpa izin.

Sanksi dapat dikenakan Menteri dalam bentuk administratif berupa teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan usaha, dan/atau pencabutan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan- undangan.
ags/yst/P-1

Sumber: http://koran-jakarta.com/berita-detail.php?idkat=51&id=45437

Published in Berita LPDS