Pers Kita Belum Bebas?

Oleh Bambang Harymurti

PEKAN ini Hari Kemerdekaan Pers Dunia dirayakan. Ini merupakan tahun peringatan ke-19 atas deklarasi para wartawan yang dilontarkan di Kota Windhoek, Namibia. Itulah pernyataan tentang kemerdekaan pers sebagai prasyarat utama terbangun dan terpeliharanya sistem demokrasi bangsa dan pembangunan ekonominya.

Perayaan yang jatuh pada 3 Mei ini merupakan momen yang pas untuk membahas kondisi kemerdekaan pers kita, yang dibebaskan oleh gerakan reformasi dari pasungan rezim Orde Baru hampir 12 tahun silam. Inilah saat yang tepat untuk mempertanyakan: sudahkah reformasi melahirkan pers yang independen dan pluralis di negeri ini?

Jawabannya tentu beragam, tergantung sudut pandang dan tolok ukur yang digunakan. Namun, bila standar internasional yang dipakai, pers kita ternyata belum sepenuhnya bebas. Reporters Sans Frontier, misalnya, menaruh Indonesia pada peringkat 101 dari 175 negara yang dikaji lembaga nirlaba multinasional ini tahun lalu. Artinya, lebih banyak negara yang persnya lebih bebas dari Indonesia (100) dibandingkan yang kalah bebas (74). Pendapat ini diamini oleh Freedom House, yang bermarkas di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat, yang mengkategorikan kemerdekaan pers di Indonesia sebagai “separuh bebas”. Freedom House memang hanya membuat tiga kategori atas status kemerdekaan pers di berbagai negara di seluruh dunia: bebas, separuh bebas, dan tidak bebas.

Ketiga kategori ini juga diterapkan pada hasil survei tahunan lembaga ini tentang kondisi hak politik dan hak sipil di seluruh dunia. Hasilnya cukup melegakan. Sejak 2006 Indonesia berhasil masuk kategori negara “bebas”, dan dengan memburuknya kondisi demokrasi di Filipina serta Thailand-hingga kategorinya turun menjadi negara “separuh bebas”- Indonesia menjadi satu-satunya anggota ASEAN yang berstatus “bebas”.

Harus diakui, status negara “bebas” dari sisi hak politik dan hak sipil tapi “separuh bebas” kondisi kemerdekaan persnya tentu bukan kondisi ideal, bahkan sudah memasuki wilayah lampu kuning. Pasalnya, penjaga terdepan kemerdekaan di bidang hak politik dan hak sipil adalah pers yang independen dan beragam. Itu sebabnya upaya membuat pers Indonesia betul-betul merdeka perlu diperkuat. Hanya bila pers nasional mencapai kondisi itu, sistem demokrasi kita aman terjaga.

Untuk mencapai kondisi ideal itu, beberapa hambatan harus diatasi. Roumeen Islam, peneliti World Bank Institute, yang melakukan studi banding kemerdekaan pers dunia, menyimpulkan bahwa infrastruktur hukum masing-masing negara amat menentukan kondisi kemerdekaan persnya.

Di negara yang masih mempidanakan pencemaran nama baik dan penghinaan, menurut Roumeen Islam, kemerdekaan pers tak mungkin diraih. Bahkan di negara yang sudah tidak mempidanakan delik ini tapi beban pembuktian di sistem perdatanya masih menganut prinsip pembuktian dibebankan pada tergugat dan “kebenaran fakta bukan dalih absolut untuk pembelaan”, sulit diharapkan media akan melakukan peliputan investigatif untuk kepentingan publik karena risikonya terlalu tinggi. Jadi, agar pers mencapai kemerdekaannya, dan berperan efektif menjaga sistem demokrasi serta pembangunan ekonomi yang berkeadilan, delik pencemaran nama baik dan penghinaan perlu dibuang dari sistem hukum pidana, dan beban pembuktian delik ini pada sistem hukum perdata harus dibebankan pada penggugat.

Kondisi ideal hukum ini berlaku di negara-negara yang persnya berkategori bebas. Di Amerika Serikat dasarnya adalah amendemen pertama konstitusi, tapi di banyak negara lain pelindungnya adalah pengadilan hak asasi regional masing-masing. Di negara Eropa yang menjadi anggota Uni Eropa atau Dewan Eropa, misalnya, Pengadilan Hak Asasi Eropa di Strasbourg menafikan semua pasal hukum di negara yang masih mempidanakan pencemaran nama baik dan penghinaan. Hal serupa dilakukan oleh pengadilan hak asasi manusia di kawasan Amerika Latin dan di Afrika. Sayangnya Indonesia terletak di Asia Pasifik, satu-satunya kawasan di dunia yang belum mempunyai pengadilan hak asasi manusia regional.

Bahkan pemerintah RI dan DPR meningkatkan beratnya hukuman untuk pencemaran nama baik dan penghinaan melalui Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) hampir tiga kali lipat dari ancaman KUHP yang dibuat penjajah Belanda. Anehnya, undang-undang yang sama malah mengkorting hukuman untuk perjudian melalui Internet menjadi enam tahun dari maksimum 10 tahun yang diancamkan oleh UU No. 7 Tahun 1974 terhadap pidana judi.

Pemenjaraan Prita Mulyasari karena menulis keluhan tentang pelayanan Rumah Sakit Omni melalui surat elektronik telah membuat publik marah terhadap kezaliman pasal 27 dan 45 Undang-Undang ITE ini. Tak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bereaksi dengan menjanjikan akan merevisi undang-undang ini pada saat berkampenye mengikuti pemilihan presiden langsung pada awal tahun lalu.

Menyempurnakan Undang-Undang Pers, membuat kemerdekaan pers menjadi hak konstitusional, menghilangkan delik pidana pencemaran nama baik dan penghinaan dari KUHP adalah aktivitas lain yang harus kita lakukan agar kemerdekaan pers di Indonesia mencapai status “bebas” dalam skala dunia.

Sebaliknya kalangan pers dan pengguna Internet dituntut untuk semakin profesional dalam mengisi kemerdekaan yang ada. Masyarakat pun diminta menjaga sikap kritisnya terhadap media dengan menolak menghidupi pers yang tak beretika dan mendukung pers yang berkualitas.

Dengan melakukan itu semua, bolehlah kita berharap pada perayaan Hari Kemerdekaan Pers Dunia tahun depan, kondisi pers nasional naik pangkat ke status “bebas”. Jadi, siapa takut?

Bambang Harymurti adalah Wartawan

Sumber: Majalah Tempo edisi 3 – 9 Mei 2010

 

 

 

Published in Kajian Media