Sinonim

Oleh UU Suhardi

 

Mari sepakat dulu: media massa kita kebanjiran akronim. Ada akronim baru, ada pula akronim lama yang muncul terus.

Contoh:

– Terjungkal Poldur, Buronan Didor

– Maling Nekat, Gasak Ranmor Patwal Dishub

– Rawan Curanmor, Warnet Diminta Pasang CCTV

– Puluhan Ribu Miras dan 413 Senpi Dimusnahkan

– 4 Rampok Bersenpi Galang Dicokok

– Cawali Surabaya: DPC Langkahi DPW PKB Jatim

– 21 DPC PKB di Jateng Laporkan DPW ke DPP

– 49 Pasang Balon Pilkada di Sumut Kantongi SKCK

– Desk Pilkada PKB Hanya Tentukan Balon Wabup

– Panja DPR Akan Tanyakan Penanganan Sisminbakum

– Kejagung Kembali Periksa Sekjen Kemenlu

– Malut Berpeluang Berswasembada Beras

– Mutasi Pejabat Pemprov Kepri Dikaitkan dengan Pilgub

Kenapa akronim dibuat? Antara lain supaya istilah dan nama diri (tempat, lembaga, dan lain-lain) jadi ringkas, untuk main-main, serta sebagai kata sandi (agar orang lain di luar lingkungan si pemakai akronim tidak mengerti). Bisa juga untuk membentuk kata baru.

Di negara ini, lembaga-lembaga pemerintahan memiliki akronim untuk namanya, misalnya Bapepam, Bappenas, Depkominfo, Kemenag, Kemenkes, dan Kemenhukham. Banyak pula yang punya singkatan non-akronim untuk namanya: BPK, BPKP, KPK, KY, MA, MK, UKP3R, dan lain-lain. Belum lagi nama-nama di kepolisian dan militer.

Akronim yang dipakai buat main-main antara lain “romantis” (rokok, makan, tidur gratis), “sayu” (sayang uang), “syadu” (sayang duit), “gatot” (gagal total), “Internet” (Indomie telur kornet), dan “kopasus” (kopi pakai susu atau kopi-paste ubah sedikit). “Balon” (bakal calon), “poldur” (polisi tidur), “rasmin” (beras miskin), “rasdi” (beras bersubsidi), dan “markus” (makelar kasus) serta “saudara-saudara kembar”-nya, yakni “cakus” (calo kasus) dan “cakil” (calo keliling), pun bisa masuk kategori ini.

Kalangan militer dan kepolisian sangat produktif dalam membuat akronim. Akronim di kalangan militer dan kepolisian konon berasal dari bahasa sandi (rahasia). Contoh akronim di kalangan militer dan kepolisian adalah alutsista, buser, curanmor, miras, sajam, senpi, Arhanud, Armabar, Armatim, Akabri, Akmil, Akpol, kodam, koplat, koptu, kopur, koramil, korem, kores, koresta, kodim, Kowad, Kowal, Kowau, kowil, kowilhan, kowiltabes, polda, polres, polresta, polsek, polsekta, polwan, polwil, polwiltabes, pomal ….

Sebagei pembentuk kata baru, akronim lazim digunakan di bidang tertentu, khususnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Sekarang ini, misalnya, kita sudah “telanjur” akrab dengan akronim “daring” (dalam jaringan) dan “luring” (luar jaringan). Kami sebenarnya kurang sreg dengan kedua-duanya, yang terkesan main-main. Bisa saja kedua akronim ini muncul akibat keputusasaan pembuat istilah yang gagal mencari padanan kata yang pas untuk online dan offline, kemudian media massa beramai-ramai memakainya, mungkin karena malas mencari padanan lain.

Kenapa akronim bisa muncul di media massa? Selain karena penulisnya malas atau memang tidak (berusaha) mengetahui bentuk panjangnya, akronim antara lain dipakai agar tulisan ringkas.

Bagaimana Tempo?

Tempo ingin tulisannya dibaca dan dipahami oleh sebanyak-banyaknya orang, dari segala kalangan, mulai profesor hingga orang yang tidak lulus sekolah dasar. Karena itulah Tempo selalu berusaha (bisa saja tidak berhasil) menyajikan tulisan dengan bahasa yang lancar, enak dibaca, dan dapat dimengerti oleh siapa pun. Akronim adalah unsur bahasa yang cenderung hanya dapat dimengerti oleh lingkungan tertentu. Akronim itu seperti jargon (kosakata khusus yang digunakan dalam bidang kehidupan atau lingkungan tertentu) dan sering berkesan main-main. Maka Tempo menolak akronim.

Bahkan, tidak hanya terhadap akronim, terhadap singkatan yang bukan akronim pun kami menyatakan penolakan, kecuali singkatan itu merupakan nama diri. (Toh, tetap saja saya heran, kenapa bikin nama panjang-panjang kalau kemudian malah disingkat, memakai kata yang sudah hidup pula, seperti Kontras, Bajar Indonesia, dan Gempur. Bahkan “Gempur” dijadikan akronim untuk berbagai nama: Gerakan Mahasiswa Peduli Negeri, Gerakan Mahasiswa Peduli Uang Rakyat, Gerakan Mahasiswa Pendukung Reformasi, Gerakan Masyarakat Peduli Kepulauan Riau, Gerakan Masyarakat Peduli Nusantara, Gerakan Masyarakat untuk Pemilu Jujur, Gerakan Masyarakat untuk Perubahan di Bumi Pasaman Barat, Gerakan Membangun Perekonomian Ummat yang Religius, Gerakan Pemuda Pantura …. )

Tempo selalu menyebutkan nama tempat dan nama diri dengan lengkap. Singkatan nama diri dipakai jika nama itu muncul berulang-ulang dan bertebaran dalam satu tulisan, tapi nama itu ditulis lengkap ketika muncul pertama kali. Nama diri yang sudah sering muncul dan diasumsikan sudah dikenal pembaca tidak perlu diikuti dengan singkatannya dalam tanda kurung.

Ketimbang memakai akronim, lebih baik membenahi tata bahasa. Toh, banyak cara menghasilkan tulisan yang ringkas dan efektif. Misalnya membuang kata mubazir seperti “agar”, “dari”, “dengan”, “kepada”, “oleh”, dan “untuk”. Bentuk “oleh karena itu”, “akan tetapi”, “berjanji untuk”, dan “berjanji akan” juga kami hindari dan kami ganti dengan “karena itu”, “tapi”, dan “berjanji” saja. Bentuk-bentuk seperti “sementara itu”, “dalam pada itu”, dan “selain itu” pun sudah lama kami tinggalkan.

Contoh:

– Fraksi PDIP meminta kepada pemerintah agar serius menangani jumlah angkatan kerja yang selalu bertambah.

– Bush meminta kepada AS agar menganekaragamkan sumber-sumber energinya.

– Acara ini diselenggarakan oleh Depag dan dihadiri oleh perwakilan­-perwakilan dari PIHK.

– Daging buahnya yang tebal, manis, dan “masir” sangat digemari oleh konsumen dari dalam dan luar negeri.

– Kemenhub berjanji untuk memangkas lagi patokan tarif dasar penerbangan haji.

– Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Aceh Besar, Drs Bakhtiar M Yunus, berjanji akan memanggil para guru bantu pusat dan Kobar-GB NAD.

– Selain itu, MA juga membatalkan putusan PT TUN yang menguatkan putusan PTUN tanggal 11 Februari 2004.

Di satu sisi kalimat-kalimat di atas berusaha tampil ringkas dengan singkatan, tapi di sisi lain boros kata. Niscaya di Tempo tidak ditemukan kalimat seperti itu. Juga tidak akan ada akronim pemdes, pemkot, pemkab, pemprov, pilkada, pilkadal, pemilukada, pemilukadal, pileg, pilpres, pilgub, pilbup, pilkades, pilkawe, pilkaret, … , pilwalkot, pilwakot, apalagi pentilkecakot (penjaga tilpun kecamatan kota). Juga buser, curanmor, miras, sajam, senpi, sikon, apalagi sikon*** dan si******panjang (situasi, kondisi, toleransi, jangkauan, dan pandangan).

Mari kita sepakat lagi: akronim cenderung bikin bingung, bahkan pembaca atau pendengar bisa “terkecoh” atau “tertipu”. Contohnya judul tulisan saya ini. Kenapa “Sinonim”? Itu akronim dari “Silakan Menolak Akronim”.

Uu Suhardi adalah Redaktur Bahasa Tempo

(Tulisan ini disampaikan dalam acara Seri Lokakarya Media Massa: ”Etika Penyiaran, Bahasa Jurnalistk, dan Peran Pers Dalam Diplomasi” yang digelar LPDS, di Jakarta, 21 – 23 Juli 2010 Jakarta, 21 Juli 2010)

 

Published in Bahasa Media