Derita Warga Tambang Batu Bara

Oleh Dinda Wulandari
Koresponden Bisnis Indonesia di Palembang dengan penugasan ke Kalimantan Timur

(Catatan penulis: “Lokakarya wartawan meliput perubahan ikim di daerah ketiga yang diselenggarakan LPDS dan Kedubes Norwegia ini memberi banyak manfaat bagi saya. Selain dapat wawasan baru tentang perubahan iklim, saya juga mendapat pengalaman berharga karena melalui lokakarya ini saya menginjakkan kaki pertama kali ke Pulau Kalimantan. Tak hanya itu saya juga mendapat teman baru dari berbagai daerah dan mendapat ilmu dari pemberi materi yang berkualitas. Harapan saya kegiatan seperti ini bisa rutin diadakan LPDS dengan tema yang bervariasi dan berguna untuk meningkaktkan keahlian wartawan.”)

Kahar Al Bahrie menyodorkan setumpuk berkas di sekretariat Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Berkas itu merupakan 26 bukti yang dikumpulkan Kahar dan kawan-kawan untuk menggugat pemerintah.

Gugatan itu terkait kerusakan lingkungan hidup dan perubahan iklim akibat industri tambang batu bara di Samarinda.

Pegiat Jatam Kaltim itu meyakini bahwa langkah dia dan 18 warga Samarinda lainnya menyoal aktivitas tambang dan dampaknya itu ke meja hijau baru pertama kali terjadi di Indonesia melalui mekanisme gugatan warga negara (citizen lawsuit).

“Penggugat bukan hanya pegiat organisasi nonpemerintah, tetapi juga warga lainnya, seperti petani, dosen, mahasiswa, pekerja swasta, dan ibu rumah tangga,” katanya.

Mereka menilai warga Samarinda mengalami banyak kerugian akibat ekspansi tambang batu bara yang sudah terjadi sejak 2005 di ibu kota Provinsi Kaltim tersebut.

Kahar mengatakan bahwa kerugian yang harus ditanggung warga sudah menyentuh berbagai aspek kehidupan, terutama lingkungan, pertanian, dan ancaman korban jiwa sebagaimana kasus tewasnya lima orang anak di kolam eks galian tambang pada Desember 2011–Juni 2012. Salah satunya kolam bekas tambang yang berada di Jalan Pelita 7, Kelurahan Sambutan, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda yang lokasinya sekitar 10 kilometer – 15 kilometer dari pusat kota.

“Tambang ini rakus lahan dan mereka pasti melakukan land clearing, hutan pasti dibabat. Ketika sudah dikeruk, batu bara ini sudah mulai mengeluarkan emisi apalagi kalau sudah dibakar. Jadi, dari kegiatan hulu sampai hilir menghancurkan iklim,” ujarnya.

Batu bara dinilai sebagai salah satu sumber emisi utama penyebab perubahan iklim. Penambangan komoditas itu melepaskan emisi metana yang merupakan gas rumah kaca terkuat.

Dampak yang paling dirasakan warga, menurut dia, adalah intensitas dan jumlah titik banjir yang terus meningkat.

Pria asal Makassar yang akrab disapa Ocha ini menjelaskan secara sederhana mengapa banjir menjadi sering datang setelah pertambangan marak.

“Lahan untuk menyerap air sudah mulai berkurang. Sebelum ekspansi tambang batu bara memang sudah ada beberapa titik banjir, namun ketika tambang masuk titik banjir itu pun bertambah,” katanya.

Kahar mengemukakan peningkatan kuantitas banjir sudah terjadi sejak 2008 hingga saat ini.

Dia mencontohkan banjir terjadi di hampir semua kecamatan sepanjang November 2008—Mei  2009. Sebanyak empat kali banjir besar datang dalam kurun 7 bulan tersebut. Sedikitnya 10.204 kepala keluarga di empat kecamatan menderita musibah banjir itu.

Berdasarkan catatan Jatam, areal konsesi tambang batu bara di Samarinda mencapai 50.742,76 hektare (ha) atau 71% dari total luas wilayah  Samarinda yang dikenl dengan sebutan kota tepian yang mencapai 71.800 ha. 

Tak hanya itu, warga juga sering menerima kiriman banjir lumpur saat hujan tiba, seperti di Makroman, Kelurahan Sambutan, Kelurahan Tanah Merah dan Kecamatan Sungaikujang. Warga pun harus menanggung kerusakan sumber air tradisional, kerusakan sawah yang berujung pada gagal panen serta kerusakan kolam ikan budidaya.

Melalui Gerakan Samarinda Menggugat (GSM), warga pun mengajukan sebanyak 13 tuntutan yang ditujukan kepada Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda lebih spesifik Wali Kota Samarinda, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) cq Menteri ESDM,  Pemprov Kaltim cq Gubernur Kaltim, Kementerian Lingkungan Hidup (LH) cq Menteri LH dan DPRD Kota Samarinda.

Mereka meminta pemerintah segera melakukan evaluasi izin pertambangan, mewajibkan dan mengawasi perusahaan tambang melakukan reklamasi pasca tambang untuk memperbaiki fungsi lingkungan hidup, melindungi kawasan pertanian dan perikanan warga dari pencemaran akibat tambang.

Warga juga menuntut pemerintah untuk segera menetapkan daerah resapan air, perlindungan hutan kota, mengembalikan ruang terbuka hijau (RTH) minimal 30%, dan mengembalikan sumber air bersih warga di sekitar wilayah kerja pertambangan.

“Dan tak kalah penting pemerintah harus segera melakukan pengembangan model adaptasi perubahan iklim bagi masyarakat Samarinda,” katanya.

Jika citizen lawsuit yang diajukan warga Samarinda ini menang di pengadilan, maka 26 izin pertambangan berpotensi dicabut.

Kahar mengatakan terdapat 63 izin pertambangan di kota itu, meliputi 58 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 5 Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Samarinda memang bukanlah daerah penghasil batu bara terbesar di Kalimantan Timur. Masih terdapat sejumlah kabupaten lain, seperti Kutai Kartanegara dan Kutai Timur yang menjadikan batu bara sebagai komoditas andalan.

Akan tetapi, peta wilayah pertambangan di Samarinda menunjukkan areal tambang sangat berdekatan dengan permukiman warga. Sehingga sulit untuk menyangkal bahwa tambang batu bara berkontribusi terhadap rusaknya lingkungan dan bencana banjir.

Geliat industri tambang batu bara  bisa pula terlihat dari tongkang-tongkang membawa komoditas itu hampir saban hari melintasi Sungai Mahakam. Hilir-mudik tongkang batu bara di sungai yang membelah Kota Samarinda itu sudah menjadi pemandangan sehari-hari bagi warga.

Secara umum, berdasarkan Kajian Ekonomi Regional Kaltim Triwulan III/2013, disebutkan secara kumulatif selama sepuluh tahun terakhir, produksi batu bara Indonesia sejumlah 1,8 miliar ton didominasi oleh dua provinsi saja, yaitu Kalimantan Timur (61%) dan Kalimantan Selatan (37%).

Sementara itu Dewan Daerah Perubahan Iklim (DDPI) Kalimantan Timur memandang masalah banjir dan lingkungan yang terjadi di Samarinda memang tidak terlepas dari peruntukan lahan yang tidak sesuai.

Ketua Harian DDPI Kaltim Daddy Ruhiyat mengatakan bahwa seharusnya ada persamaan persepsi antara pemerintah provinsi dan kota terkait perubahan iklim.

“Persoalannya adalah proses pengeluaran izin tambang itu ada di daerah setempat. Kami [provinsi] hanya dapat melihat bahwa memang itu tidak oke, apalagi ini ibu kota,” katanya.

Dia melanjutkan pihaknya sudah gencar melakukan sosialisasi kepada Pemkot Samarinda tentang pentingnya melindungi lingkungan, salah satunya penambahan ruang terbuka hijau (RTH).

Dari sosialisasi itu, DDPI melihat masih ada semangat Pemkot Samarinda untuk menghijaukan kota.

“Kami melihat mereka masih ada semangat, rencananya ada satu bangunan sekolah di jalan utama yang akan dirobohkan dan dijadikan RTH,” ujarnya.

Menurut dia, penggunaan lahan merupakan sumber utama emisi, selain transportasi, dan limbah. Oleh karena itu, penggunaan lahan ini harus ditertibkan.

Langkah penerbitan yang akan dilakukan Pemprov Kaltim adalah penerapan satu peta satu data (one map one data). Nantinya, semua peruntukan lahan akan mengacu pada satu peta itu.

“Nanti tidak ada lagi yang bisa gunakan lahan dengan mudah. Ini dilakukan agar tertib dan semua ada tanggung jawab,” ujarnya.

Pemprov Kaltim juga berupaya menggandeng industri untuk ikut menjaga lingkungan dan menanggulangi perubahan iklim.

Salah satu program yang difasilitasi DDPI adalah Kaltim Carbon Partnership yang anggotanya terdiri atas pelaku industri multisektor, seperti perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.

Kemitraan yang baru berjalan dua tahun ini telah menuai hasil berupa pemanfaatan limbah cair dari industri  kelapa sawit menjadi tenaga listrik untuk masyarakat sekitar.

“Harapannya nanti sektor usaha lain, termasuk pertambangan, juga membuat langkah pemanfaatan dan perlindungan,” katanya. (*)

Published in ClimateReporter