Anuar Tambusai 26 Tahun, 15 Hektare, Jutaan Pohon

Oleh Nazat Fitriah, Wartawan TVRI Kalimantan Selatan dengan penugasan ke Sumatra Utara Maret 2014

IA menyeruak dari rerimbunan pohon dengan bertelanjang dada dan celana selutut pada siang terik itu. Kaki dan tangannya berlumur lumpur. “Saya sedang membuat bibit,” ucap Anuar Tambusai.

Sembari Anuar, 58, membersihkan diri, tamu dipersilakan menunggu di warung kopi di depan rumahnya di Dusun III, Desa Rugemuk, Kecamatan Pantai Labu,  kira-kira 30 kilometer dari pusat Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra Utara.

Rumah itu begitu sederhana. Setengah dinding berbahan bata, sisanya tersusun dari papan. Atap di sisi kiri depan tampak melengkung, dan beberapa bilah papan di bawahnya jebol, bekas tertimpa pohon baru-baru ini.

Usai berbasa-basi sejenak, kakek dua cucu itu lantas mengajak tamunya menerobos hutan di belakang rumahnya untuk menengok aktivitas pembibitan dan penanaman pohon bakau yang telah 26 tahun dilakoninya. Selama itu, tidak kurang lahan seluas 15 hektare dia garap dan jutaan pohon dihasilkan.

 

Tidak jauh berjalan terlihat sebuah tempat terbuka yang tidak seberapa luas. Tanahnya kerontang dan retak-retak. Akan tetapi, setengah bulan lagi, daerah itu diperkirakan akan kembali berair. Biasanya dalam setahun, siklus semacam ini berlangsung selama tiga bulan.

Beberapa mamak terlihat sibuk menyendok lumpur ke dalam wadah-wadah plastik hitam kecil atau polybag. Di bawah pondok-pondok kecil beratap pelepah kelapa kering, berjajar rapi polybag yang di tengahnya menancap batang-batang hijau kurus berujung lancip kemerahan, sebagian sudah berdaun beberapa helai. Itulah bibit-bibit pohon bakau yang akan ditanam di pantai desa setempat dan sebagian dijual.

Sama seperti kebanyakan penduduk desa itu, Anuar tadinya seorang nelayan. Ia melihat kondisi hutan bakau di daerahnya rusak dan terbengkalai setelah pembukaan lahan tambak. Karena kehilangan benteng pertahanan terhadap gerusan air laut, lama-lama pantai di desanya mengalami abrasi hingga kira-kira 80 meter. Anuar dan keluarganya yang tinggal tak jauh dari pantai tentu was was. Tahun 1988 ia mulai membudidayakan bakau secara swadaya dengan mengandalkan uang yang diperolehnya dari melaut.

“Dari ikut pelatihan-pelatihan, saya juga tahu, kalau kayu ini habis nanti banyak penyakit datang. Saya pikir masuk akal, kalau di tempat anak saya di Medan saya susah tidur, di sini enak sekali tidur,” tutur lelaki berdarah Banjar-Riau itu.

Menyimak kisah Anuar yang di desanya dikenal juga dengan panggilan Ucok Dogol karena terkenal bandel pada masa mudanya, alam benar-benar berlaku adil terhadap makhluk yang tinggal di atasnya. Alam yang telah diselamatkan memberi imbal balik berupa kehidupan ekonomi yang jauh lebih baik daripada hasil melaut.

Dengan bangga Anuar menyebut kedua anaknya bisa jadi sarjana karena bakau. Tidak hanya ia sendiri yang menikmati, kegiatan pembibitan dan penanaman pohon bakau yang digagasnya juga membuka lapangan kerja bagi warga desa. Bahkan, beberapa desa tetangga ikut menangguk berkah di hutan bakau Desa Rugemuk yang kini banyak terdapat kepiting.

“Modal membuat satu bibit pohon bakau Rp220, dijual Rp700—Rp1.200. Ini lagi ada pesanan 10 ribu bibit dari Balai Mangrove dan dari beberapa pihak lain,” sambungnya.

Jika anak-anaknya bergelar S1, Anuar mengaku dirinya malah tak pernah mengecap bangku sekolah. Namun, pengetahuannya yang mendalam seputar pohon bakau membuatnya sering diminta mengajari para mahasiswa. Bahkan, ia juga ditawari membuat buku tentang seluk beluk bakau.

Published in ClimateReporter