Ibu Kota Dipindah, Pro Kontra Mengunggah

Oleh Desi Safnita Saifan, Koresponden Kompas.com, Bireuen, Aceh, dengan penugasan ke Kalimantan Tengah Maret 2014

TAK salah bila ada wacana memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Selain memiliki letak yang  strategis—bisa   dijangkau dari mana pun—kondisi  tanahnya juga  datar—hampir  tanpa gunung. Idealnya pula, masih luas tanah yang tersedia karena baru 54 kilometer persegi atau baru 1/50 yang digunakan untuk pemukiman.

Luas provinsi Kalteng itu tercatat 153.800  km2 (7,95 persen luas daratan Indonesia) dengan jumlah penduduk saat ini diperkirakan 2,5 juta jiwa. Kota yang  digadang-gadang sebagai ibu kota negara tersebut  jauh lebih luas (2.678,5 km2 ) daripada Jakarta (661,52 km2 ). Ditambah,  secara geografis posisi Palangkaraya tepat berada di tengah Indonesia serta tidak berada pada daerah tektonik, sehingga kondisi ini relatif aman dari bencana gempa, banjir, dan tanah longsor.

Ada pro dan kontra. Banyak yang setuju, banyak pula menampik. “Membayangkan ibu kota, terlintas macet, polusi dan serangkaian hal buruk lain sebagaimana yang terjadi di Jakarta,” sebut Fitri Ambaria, warga Pasar Besar, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya.

Kendati ia mendengar bahwa yang akan dipindah hanya pusat pemerintahannya, sedangkan ibu kota tetap di Jakarta, Fitri tak merespon banyak akan pembangunan dan lapangan kerja yang memungkinkan dibuka nantinya. “Di mana-mana masyarakat tempatan hanya jadi penonton, sedangkan yang berkuasa sibuk dengan urusannya sendiri. Kita khawatir akan menimbulkan konflik baru,” sahutnya.

Penuturan senada disampaikan Arif, wiraswasta. Ia tidak mendukung sepenuhnya usulan untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Palangkaraya. “Kalimantan ini paru-paru dunia, seandainya kawasan ini dibuka untuk kota metropolitan tentu mengancam hajat hidup masyarakat banyak,” komentarnya.

Kegusaran ini disahut oleh Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah, Sabran Achmad. Ia menyarankan agar perlu dipikirkan kembali wacana tersebut terhadap kemungkinan-kemungkinan yang justru tidak mendukung kemajuan di masa mendatang. Mengingat ini merupakan persoalan masa depan bangsa dan negara Indonesia yang seyogianya dimatangkan cepat untuk dapat dicarikan solusinya.

Merujuk sejarah, Palangkaraya sempat digagas oleh Presiden Soekarno sebagai ibu kota Indonesia saat ia menginjakkan kakinya  di Kota Palangkaraya 1957. Butuh waktu lama—57 tahun—gagasan ini bergulir lagi ditandai dengan wacana melalui berbagai media dan kegiatan yang dilakukan pemerintah dan masyarakat negeri ini.
Ya,  siapa pun yang baru menyambangi Pulau Borneo ini, sekilas dapat menangkap Kota Palangkaraya memiliki tata ruang baik dan rapi dilihat dengan jaringan jalan lebar dan drainase yang ada. Tentunya, tanpa menyampingkan nilai-nilai budaya dan adat istiadat suku Dayak, karena hal itu merupakan identitas anak bangsa Indonesia yang berdomisili di Kalteng.

“Silakan untuk hidup dinamis dan memajukan Kalimantan Tengah, tetapi yang harus digarisbawahi, jangan mengganggu perasaan orang Dayak,”  ujar Sabran. Ia menyebutkan bahwa  keharmonisan masyarakat di Kalteng diharapkan dalam satu betang, rumah adat Kalteng. Menurut  Sabran, satu betang adalah satu rumah yang di dalamnya merangkul semua suku dengan kebudayaan dan adat berbeda namun tidak menimbulkan perbedaan yang memicu konflik.

 

Published in ClimateReporter