Sekolah Rimba Orang Utan Nyaru Menteng

Oleh Saniah LS, Wartawan Majalah Aceh Tourism, Bandaaceh, peserta MDK II (Meliput Daerah Ketiga) dengan penugasan ke Kalimantan Tengah Agustus 2014

TATAPAN matanya yang jinak tak menunjukkan mereka orang utan Kalimantan yang terkenal liar. Sekian tahun dididik di sekolah hutan Yayasan BOS Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, Wardah dan kawan-kawannya mulai disiapkan untuk dilepasliarkan di hutan sekitaran Kalteng, saat mereka berusia 12 tahun.

Hujan deras  mengguyur Nyaru Menteng,  arboretum (hutan pendidikan) seluas 62 ribu hetare.  Borneo Orangutan Survival Nyaru Menteng Kalteng letaknya sekira 30 kilometer arah timur dari Palangkaraya, ibukota provinsi Kalimantan Tengah.

Central reintroduction orang utan Kalteng ini didirikan pada 1999. Di tempat yang memiliki luas areal 15 ribu hektare, dihuni sekira 508 individu orang utan (data 18 Agustus 2014). Dari jumlah itu 504 individu orang utan  sedang menjalani rehabilitasi dan empat individu orang utan liar. Terlihat kesibukan yang kecil di tempat rehabilitasi orang utan tersebut. Ada  10 individu orang utan Kalimantan Tengah betina, berusia  6 hingga 11 tahun, sedang antrean menunggu giliran mengambil jatah makan sore mereka. Waktu itu hujan mulai reda, kaca yang mengembun di ruang khusus menyambut tamu tidak menghalangi penglihatan pengunjung.

Salah satu dari 10 kera besar lengan panjang dan berbulu kemerahan di antrean itu adalah Wardah. Wardah bersama sembilan individu orang utan betina lainnya tidak saling berebut makanan. Setelah mengambil jatahnya masing-masing dari petugas, mawas ini pun berpencar, mencari tempat beristirahat di kandang besi yang memiliki luas sekira 6 meter dan ketinggian 25 meter tersebut.

Pongo pygmaeus (nama dalam bahasa Latin orang utan Kalimantan) kategori semi-liar ini, terlihat oleh saya duduk di pojok kiri paling depan. Wardah mengunyah dengan lahap pangkal batang rotan muda yang didapatkannya dari petugas BOS Nyaru Menteng. Jatah makan sorenya waktu itu tiga batang rotan muda. Satu dipegangnya di tangan kanan dan dua lagi berada di tangan kirinya. 
Semi-liar adalah orang utan yang pada saat diselamatkan masih berprilaku alami dan secara konsisten memperlihatkan bahwa ia telah memiliki kemampuan yang cukup untuk hidup mandiri di hutan.
Wardah sudah sembilan tahun menjalani rehabilitasi di yayasan BOS Nyaru Menteng. Sejak dia berusia 3 tahun, setelah diselamatkan oleh Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Tengah dan Tim Rescue Yayasan BOS pada 21 Oktober 2006, dari areal perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur.

Waktu itu Wardah masih bayi, bobot badannya masih 7 kilogram. Ia diselamatkan dalam kondisi tanpa induk dari sebuah kawasan hutan kecil yang tersisa di areal perkebunan kelapa sawit di wilayah Kabupaten Kotawaringin Timur.

Kini usia Wardah sudah 11 tahun dan berat  badan 43 kilogram. Tak lama lagi Wardah akan menikmati kebebasannya menjelajah Hutan Lindung Bukit Batikap untuk menjalani hidupnya sebagai orang utan liar sejati.

”Orang utan di sini belum dilepasliarkan ke hutan. Individu orang utan lebih dulu dididik di sekolah hutan. Dari kelas 1 sampai dengan kelas 9,” demikian Koordinator Komunikasi dan Pendidikan BOS Nyaru Menteng, Kalteng, Monterado F.

Lanjut mantan wartawan Banjarmasin Pos ini, perlu waktu rata-rata tujuh tahun untuk meliarkan kembali orang utan yang sudah jinak. Bahkan bisa mencapai 15 tahun, dihitung mulai usia 0 tahun. Hal ini menurut Monterado disebabkan, biasanya orang utan yang sudah lama sekali dipelihara manusia, sifat alaminya sudah hilang. Maka itu perlu diajarkan kemampuan bertahan hidup di hutan.

Setiap orang utan yang masuk ke program reintroduksi orang utan yang dikelola Yayasan BOS Nyaru Menteng Kalteng, akan melalui tahap karantina dan akan diisolasi untuk diperiksa secara menyeluruh status kesehatannya, kondisi fisik maupun psikisnya.  Lama waktu orang utan di tahap karantina biasanya 2 hingga 3 minggu, tergantung dari hasil pemeriksaan tersebut.

Setelah tahapan karantina, kera-kera besar kalimantan ini mengikuti tahapan sosialisasi. Nah, ditahapan inilah mereka (orang utan) masuk sekolah. Jam belajar dimulai dari pukul 07.00 sampai dengan 16.00 WIB, selepas itu mereka harus kembali ke kandang yang luas yang terbuat dari besi.

“Di sekolah  hutan individu orang utan berusia 3 tahun di kelas 1. Setelah mereka dipisahkan dari grup bayi yang usianya dari 0 bulan hingga 2 tahun,” sebut Monterado, sambil mengajak saya melihat dari balik dinding kaca, bagaimana orang utan yang telah lulus sekolah beradaptasi dengan orang utan lainnya dalam satu kandang.

Sebanyak 10 orang utan yang telah selesai menjalani sekolah hutan di Nyaru Menteng terlihat memanjat, menggantung dari satu tali ke tali yang lain. Tali terbuat dari ban bekas. Ada yang duduk di pojok, sambil menghabiskan sisa rotan muda yang masih di tangan. Ada juga yang berjalan ke kiri ke kanan, layaknya seorang satpam memantau kawan-kawan mereka yang sekandang.

“Orang utan di sekolah hutan belajar mencari makan sendiri yang diawasi dan dibantu oleh baby sitter. Di sekolah hutan Yayasan BOS Nyaru Menteng, satu pengasuh membantu lima hingga tujuh individu orang utan. Adapun di kelompok bayi orang utan, satu individu bayi  satu pengasuh. Kini ada sekira 47 baby sitter di Yayasan BOS Nyaru Menteng,” sebut Monterado.

Ia menjelaskan orang utan disekolahkan untuk mengenal kehidupan alami mereka. Misalnya ada yang tidak bisa memegang dahan, diajarkan bagaimana memegang dahan, begitu seterusnya. Tujuan dari pembelajaran ini membuat orang utan kembali ke sifat alami mereka, sehingga bisa dilepasliarkan kembali ke hutan,” jelas Monterado.

Kera-kera besar yang direhabilitasi di sini mengikuti sekolah hutan dari kelas 1 hingga kelas 9, disesuaikan dengan  kenaikan kelasnya dengan usia dan kepintaran orang utan dalam pelajaran yang dikecapnya saat di sekolah.

Kata Monterado, orang utan dari kelas 1 sampai dengan kelas 9 diajarkan memanjat, mencari makanan di hutan, membuat sarang, dan bagaimana menghadapi musuh alami, yaitu ular dan biawak besar. Orang utan kelas 1, diajarkan dasar-dasar saja. Kemudian tahapan selajutnya pelajaran, akan didapatkan sesuai dengan tingkat kelas.

Lelaki yang mengenakan seragam kerja coklat muda itu mencontohkan. Jika di kelas 1, orang utan diajarkan memanjat pohon dengan ketinggian 2 meter, setelah naik kelas 3 akan diajarkan memanjat pohon di atas 2 meter. Begitu seterusnya. Hinga kelas 9, orang utan bisa memanjat pohon dengan ketinggian di atas 25 meter.

“Wardah sudah melewati itu semua. Dia tinggal menunggu usianya 12 tahun untuk dilepasliarkan ke Hutan Lindung Bukit Batikap, menjalani hidupnya sebagai orang utan liar sejati. Inilah tujuan akhir rehabilitasi,” kata Monterado.

Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng didirikan pada 1999. Sejak didirikan yayasan ini telah menyelamatkan sekira 1.047 individu orang utan. 

“Pada 2012 hingga  pertengahan 2014, yayasan ini sudah melepasliarkan orang utan Kalimantan sebanyak 131 individu orang utan,” kata Monterado di ruang tamu yang bersebelahan dengan pos penjaga.

Orang utan adalah jaring pengikat ekosistem hutan. Dikenal juga sebagai satwa penyebar biji buah di alam dan pemelihara hutan. Di mana orang utan akan membuang biji-biji buah yang dimakannya. Sering kali biji tersebut dibuang dan terjatuh di daerah yang subur atau daerah yang sedikit memiliki pohon buah-buahan jenis tersebut. Kemudian biji-biji buah itu akan tumbuh menjadi pohon yang baru.

Hutan yang lestari tetap ada karena salah satu peran dari orang utan. Hutan lestari sangat bermanfaat bagi manusia karena hutan menyediakan sumber penghidupan yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Hutan lestari akan menyediakan banyak udara bersih bagi kehidupan manusia, selain itu juga akan melindungi manusia dari bahaya banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Itu mengapa sangat penting menjaga habitat orang utan dari kepunahan dan serta keberadaan orang utan di hutan.*

 

(Catatan penulis: Jurnalis tidak saja dituntut untuk bagaimana menulis berita yang baik dan benar, tetapi jurnalis Indonesia harus memiliki empati, kepedulian, dan rasa sosial yang tinggi terhadap lingkungan. Meski tidak sebagai pengambil kebijakan tetapi jurnalis bisa menjadi elemen kelima sebagai orang yang suaranya masih didengar rakyat dan pengambil kebijakan di dalam karya-karya jurnalistik yang dipublikasikannya. Saya bersyukur bisa mendapat kesempatan mengikuti MDK II di LPDS Jakarta 19-27 Agustus 2014. Dari sini saya mengetahui banyak hal tentang lingkungan, apalagi saya berkunjung ke daerah yang belum pernah saya kunjungan yang memang memiliki banyak kasus lingkungan antaranya kebakaran hutan. Terimakasih LPDS karena telah memberi kesempatan kepada saya dan mengajarkan saya banyak hal tentang lingkungan yang telah mengasah empati dan rasa kepedulian saya, ini telah saya realisasikan dengan membuat rubrik kusus LESTARI di online milik saya, www.acehnews.net.)

Published in ClimateReporter