SOS Samarinda: Batubara Bahayakan Warga

Oleh Sinta Apriani, Wartawan SKH Mediator di Jambi, peserta MDK II (Meliput Daerah Ketiga), dengan penugasan ke Kota Samarinda, Provinsi Kalimantan Timur, 21-23 Agustus 2014

RASA khawatir tiba-tiba mendera saat memasuki taksi yang mangkal di depan Bandara Internasional Sepinggan, Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur.  Selama perjalanan dari Balikpapan menuju Samarinda, ibukota provinsi, berjarak tempuh 3 jam, terlihat perbukitan yang gundul disana-sini karena aktifitas penebangan hutan dan pertambangan batubara.

“Ya. Kini sudah 71,1% wilayah Kota Samarinda berada dalam penguasaan industri tambang batubara,” ungkap penggiat jaringan advokasi tambang (Jatam), Abdullah Naim.

Dikatakannya, pemerintah baik daerah maupun nasional telah memberikan 58 Ijin Usaha Pertambangan/Kuasa Pertambangan (IUP/KP ) dan lima Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), sehingga hanya tersisa kurang dari 25% untuk kepentingan publik.

“Akibat tambang batubara sejak 2008 Kota Samarinda tidak pernah luput dari bencana dan derita.  Banjir lumpur dan pencemaran di daerah Makroman dan Tanah Merah telah menyebabkan hancurnya area persawahan, kolam warga, dan rusaknya sumber air,” jelasnya.

Naim, 35, mencontohkan di Desa Makroman, CV Arjuna dengan luas garapan sebesar 1.589 ha hanya beberapa bulan sejak beroperasi  2008 telah menimbulkan dampak. Kerusakan melalui buangan limbah langsung mengarah pada daerah yang sudah ditetapkan sebagai kawasan pangan terbesar di Kota Samarinda.

“CV Arjuna hanya menggali dan menggali. Setiap hari limbah-limbahnya mengaliri sawah, perkebunan, dan perikanan warga. Berkali-kali warga mengeluh, baik kepada perusahaan maupun aparat pemerintah termasuk pemerintah kota, namun tetap tidak bergeming,” tutur pria lajang ini dengan raut geram.

Padahal, lanjut Naim, areal persawahan masyarakat Makroman sebelum adanya usaha tambang, hamparan  sawah seluas sekira 383 hektar itu bisa menghasilkan 6–7 ton/hektar. Hasil ini cukup memenuhi kebutuhan bagi 1.905 kepala keluarga, perdua kali masa panen setiap tahunnya.

“Tapi setelah ada tambang, petani hanya bisa memperoleh gabah seberat 3-4 ton saja perhektarnya,” ujarnya sembari memperlihatkan foto areal persawahan yang dipenuhi potongan batubara,  dalam sebuah file di dalam laptop di hadapannya.

Tidak hanya itu, Makroman yang juga dikenal sebagai penghasil buah musiman seperti rambutan, salak dan cempedak, juga ikut terkena dampak debu yang dikeluarkan  aktivitas tambangan. Hal ini sangat mengganggu perkembangan buah, bahkan di antaranya tidak berbuah sama sekali.

“Pemandangan hijau nan menyejukkan hati dan mata, udara yang segar. Petani pun gembira menikmati hasil pertanian dan kebunnya. Tapi itu dulu. Sekarang, entah sampai kapan derita warga itu akan berakhir,” keluh Naim sembari menghela napas panjang.

Sejak tahun 2010 protes dan keberatan terhadap dampak tambang yang disuarakan masyarakat terus dilakukan, beragam aksi demonstrasi di jalan, di perkantoran, di gedung DPRD, hingga ke Balai Kota Samarinda, namun tak jua membuahkan hasil. Kalaupun ada pertemuan dan dengar pendapat dengan anggota Dewan, hanya janji-janji yang juga berisikan janji.

“Sudah berkali-kali warga menggelar aksi demo di jalanan, bahkan warga membawa traktor ke depan balai kota tapi belum juga dapat respon dari Walikota. Hearing dengan anggota DPRD Kota hingga ke provinsi pun sudah dilakukan tapi hasil tetap sama. Nihil,” sebut Naim geram.

Bahkan yang paling memilukan, lanjut Naim, pada Desember 2011, tiga anak meninggal di kolam tambang  yang tidak direklamasi.  Sekitar tujuh bulan kemudian, tepatnya Juli 2012, dua anak kembali menjadi korban kolam tambang yang dibiarkan begitu saja setelah ditambang.

“Pemerintah harus berani menutup perusahaan tambang yang telah nyata-nyata merusak lingkungan, sumber-sumber air dan lahan pertanian, serta dekat dengan pemukiman warga, kalau memang benar sayang sama masyarakatnya. Dan itu adalah harga mati,” pungkas Naim.

CV Arjuna, salah satu perusahaan tambang batubara yang diduga kuat telah mencemari lingkungan  di Desa Makroman, tidak menanggapi setelah dihubungi. Hubungan telepon dan SMS ke pihak perushaan ke  nomor telepon seluler   082157572555 tak  membuahkan jawaban.

Menurut Baharuddin, warga setempat yang juga jadi korban dari aktiitas tambang, sejak adanya putusan Pengdilan Negeri Samarinda yang memenangkan gugatan GSM, kantor CV Arjuna yang berada tidak jauh dari rumahnya tertutup rapat.

Apakah CV Arjuna masih beroperasi?  ”Masih. Memang sedikit berkurang aktifitasnya namun bukan karena taat akan putusan pengadilan tapi karena harga batubara saat ini turun,” Baharuddin menandaskan.

Apakah perusahaan pernah memberi ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan?  Meskipun jauh dari ganti untung, Bahar mengakui kompensasi ada. “Ada tapi itu setelah kita melakukan sejumlah aksi termasuk pemblokiran jalan. Perusahaan mau menggantinya. Sayangnya dengan cara diangsur itupun tidak penuh bayarnya sebagaimana janjinya. Dan kami pun akhirnya malas dan capek untuk menagihnya,” sungutnya.

Pemkot Menolak Disebut Lalai
Jatam pun kemudian mengajak berbagai elemen masyarakat seperti LSM, organisasi mahasiswa, tokoh agama, akademisi, masyarakat korban  hingga budayawan untuk bersatu mengambil langkah bersama dalam Gerakan Samarinda Menggugat (GSM). “Batubara akan membunuh warga Samarinda’.  Seruan ini didasarkan pada kenyataan bahwa Samarinda adalah ibu kota provinsi yang membiarkan dirinya ditambang.

“Kami frustrasi dengan kinerja pemerintah, menempuh jalan hukum jadi pilihan akhir. Pemerintaah harus diberi sanksi karena lalai tidak memperhatikan warganya dan terus membiarkan perusahaan tambang perlahan-lahan akan membunuh warga dan alamnya,” tegasnya.

Perlu satu tahun lebih bagi GSM hingga sampai pada pengajuan gugatan citizen lawsuit (gugatan warga negara) dapat dlakukan ke PN Samarinda. Tercatat 19 warga Samarinda dari berbagai kalangan mulai dari petani, ibu rumah tangga, dosen, mahasiswa, rohaniwan, pekerja swasta dan pegiat LSM bertindak sebagai penggugat.

Gugatan diajukan terhadap Walikota Samarinda, DPRD Kota Samarinda, Gubernur Kalimantan Timur, DPRD Kaltim, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup, terkait perusakan lingkungan hidup akibat pertambangan di Kota Samarinda.

Tepatnya pada 25 Juni 2013 sidang pertama digelar. Satu tahun pula dan  27 kali persidangan dilewati. Akhirnya sidang dengan Nomor Perkara 55/PDT.G/2013/PN.SMDA, dengan Ketua Majelis Hakim: Sugeng Hiyanto, SH., MH, Rabu, 16 Juli 2014, memutuskan gugatan para penggugat adalah sah sebagai gugatan warga negara (citizen law suit).

Majelis hakim dengan anggota: Hongkun Otoh, SH., MH dan Yuli Effendi, SH., M.Hum, panitera pengganti: Mulyanto, SH, menerima dan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya.

Majelis menyatakan para tergugat lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga terjadinya pemicu pemanasan global yang memperparah dampak terjadinya perubahan iklim di wilayah Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Para tergugat juga telah lalai sehingga mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil terhadap seluruh warga Kota Samarinda yang terkena dampak dari terjadinya perubahan iklim, para hakim memutuskan.

Itu bukan akhir cerita. Pemerintah Kota Samarinda mengajukan banding atas putusan PN Samarinda.

“Pada dasarnya kita setuju dengan sikap Jatam. Hanya saja kami tidak setuju jika dikatakan lalai dalam menangani lingkungan,” tutur Wakil Walikota Samarinda, Ir H Nusyirwan Ismail M.Si, yang ditemui di ruang kerjanya di Balai Kota Samarinda.

Pihaknya menolak amar putusan PN Samarinda diantaranya pada poin 2, menyatakan para tergugat lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan hidup yang baik dan sehat yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum bagi warga negara, khususnya warga Kota Samarinda.

Juga poin 3, menghukum para tergugat untuk mengatur kembali suatu kebijakan umum mengenai pertambangan batu bara yang meliputi evaluasi terhadap seluruh izin pertambangan batubara yang telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha untuk merealisasikan reklamasi dan pasca tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup, melakukan upaya strategis dalam perlindungan kawasan pertanian dan perikanan masyarakat dari pencemaran sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara.

Pemkot Samarinda merasa sudah melakukan apa yang disebutkan dalam amar putusan.

Wawan, demikian Nusyirwan  disapa, mencontohkan sudah adanya evaluasi bulanan yang menghasilkan penghentian sementara bahkan pencabutan beberapa Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada di Kota Samarinda.

Menurut dia, sejak Januari 2012 pihaknya telah melakukan evaluasi terhadap aktivitas pertambangan di seluruh Kota Samarinda pada tanggal 25 setiap bulannya. Evaluasi itu meliputi pemantauan, pembinaan, tidak ada kegiatan, peringatan, penghentian, pencabutan dan terakhir penuntutan pidana.

“Setiap bulan kami bersama Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) dan Badan Lingkungan Hidup (BLH), Pemkot Samarinda mengeluarkan rilis hasil evaluasi tambang kepada perusahaan tambang termasuk media massa cetak an elektronik yang ada di Samarinda khususnya,” sebutnya.

Pembinaan itu dilakukan agar perusahaan tersebut terus melakukan perbaikan terkait lingkungan dan peringatan diberikan karena tidak melakukan perbaikan. Namun jika sampai tiga kali diberi peringatan tetapi tidak melakukan perbaikan maka akan dilakukan penghentian operasional.

“Jika tetap tidak mengindahkan peringatan itu, tidak ada progres menuju ke arah perbaikan maka kita nyatakan dicabut izin lingkungannya,” tegasnya.

Karena itu, Pemerintah Kota Samarinda menyatakan banding atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, atas gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang dilayangkan Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) di Pengadilan Negeri Samarinda.

“Setelah kita lakukan koordinasi, baik dengan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) terkait, kemudian dengan tim kuasa khusus,  pemerintah kota  mengambil langkah hukum banding,” katanya.

Wawan juga menjelaskan, berdasarkan inventarisasi yang dilakukan pihaknya, tercatat ada 26 perusahaan yang tidak aktif hingga 2014. Jika perusahaan ini tidak aktif dan tidak membuat rencana pertambangan untuk tahun ini, seluruh izin perusahaan tersebut akan dicabut.

“Kami akan mencabut IUP (Izin Usaha Pertambangan) secara massal apabila dalam satu tahun tidak membuat rencana pertambangan maupun membayar jaminan reklamasi berdasar ketentuan pertambangan,” katanya.

Dia beralasan, biasanya perusahaan pertambangan yang tidak mengelola izin tambangnya akan menyerahkan ke perusahaan kontraktor untuk menggarapnya. Jika ini terjadi, biasanya perusahaan tersebut tidak profesional dan hanya mencari untung tanpa memperhatikan dampak lingkungan.

Namun, lanjutnya, pada pertemuan terakhir dengan kepala Distamben dan BLH, didapat hasil bahwa evaluasi tidak lagi diumumkan setiap bulannya. Menurut dia, evaluasi yang dilakukan sudah cukup efektif untuk membuat penambang berpikir terhadap aktifitas yang berisiko tinggi merusak lingkungan.

“Sudah ada kesadaran bagi penambang yang terkena evaluasi, seperti mulai melakukan reklamasi penutupan lubang bekas galian, dan membayar CSR-nya,” ujarnnya didampingi Kasubag Publikasi dan Dokumentasi Bagian Humas dan Protokoler Setda Kota Samarinda, Ida Fitriani.

Wakil walikota menambahkan aktivitas pengerukan batubara belakangan ini berkurang seiring dengan menurunnya harga.

“Jadi kalau hitungannya tinggi, mereka (penambang) lebih baik tidak nambang,” sebutnya sembari menambahkan bahwa selama pemerintahannya tidak pernah lagi mengeluarkan IUP. Bahkan pihaknya justru melakukan penutupan terhadap 5-6 perusahaan yang telah dicabut IUPnya.

Namun Nusyirwan menegaskan bahwa hal itu bukan berarti tidak akan ada lagi tambang yang mendapatkan peringatan, penghentian sementara atau dicabut Ijin Usaha Pertambangan (IUP)-nya.

“Memang kita tidak akan melakukan evaluasi tiap bulan lagi. Namun pengawasannya tetap intensif dilakukan,” tegas pria ini.

Lebih lanjut Wawan mengatakan kasus lingkungan di Samarinda mengalami penurunan. Hal ini terlihat dari minimnya keluhan dari masyarakat terkait kerusakan lingkungan akibat aktifitas tambang batu bara.

“Saya sudah tidak ada lagi menerima keluhan masyarakat yang dikirim air lumpur tambang. Meskipun demikian kami tetap melakukan pengawasan,” katanya.
Ia menegaskan perusahaan pertambangan batu bara yang masih beraktivitas di Samarinda, dituntut lebih profesional. Hal ini seiring  pemberlakuanUU Minerba No 4/2009 yang mengatur mengenai ekspor mineral mentah.

Menurutnya, dengan keluarnya kebijakan dari pemerintah pusat tersebut, maka Pemkot Samarinda kini tengah mewaspadai pertambangan yang terhenti akibat peraturan tersebut sehingga bisa meninggalkan tanggung jawabnya terhadap lingkungan.

Disayangkan
Koordinator Jatam Kalimantan Timur, Merah Johansyah, yang dihubungi secara terpisah,  menyayangkan dihentikannya evaluasi bulanan yang dilakukan oleh Pemkot Samarinda. Merah menilai evaluasi sebelumnya mempunyai kelemahan dan kekurangan disana-disini. Merah juga minta Pemkot Samarinda untuk tidak cepat berpuas diri dengan laporan yang diterima oleh bawahannya yang hanya melaporkan yang baik-baik saja.

“Evaluasi yang dilakukan sebelumnya sama sekali tidak melibatkan warga. Itu hanya laporan Distamben sama BLH saja. Harusnya tanya warga dong, apa yang sebenarnya terjadi,,” ujarnya.

Seperti di Makroman sebutnya, jarak tambang dengan pemukiman warga hanya sekira 50 meter. Dimana lubang-lubang tambang belum  direklamasi juga masih membuka peluang menelan korban jiwa.

“Cukup saja 5 jiwa anak-anak yang sia-sia meninggal di dalam lubang tambang. Tolong jangan ada korban jiwa lagi. Entah mengapa pemerintah tidak memasukkan dalam komponen evaluasinya. Dan menggangap ini semata-mata kesalahan dari warga. Sekarang evaluasi itu dihentikan. Jelas ini kemunduran yang amat luar biasa,” cetusnya dengan nada tinggi.

Adalah suatu kesalahan besar jika pemerintah beranggapan Samarinda saat ini sedang tidak ada masalah akibat aktifitas tambang. Justru saat ini Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) sedang dalam proses hukum dan sudah menyatakan Walikota Samarinda lalai.

“Samarinda tidak sedang dalam kondisi baik-baik saja ya. Baru satu bulan lalu pemerintah kota dinyatakan bersalah karena telah lalai menciptakan lingkungan hidup yang baik sehingga mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil terhadap seluruh warga Kota Samarinda yang terkena dampak dari terjadinya perubahan iklim,” sebut Merah.

Merah menduga, penghentian evaluasi in erat kaitannya dengan akan dilakukannya perhelatan Pemilihan Walikota Samarinda tahun 2015 mendatang.

“Penghentian ini ada kaitannya dengan upaya konsolidasi antara politisi dengan pengusaha tambang. Ya gimana mau maju (Pilwako,red) kalau tidak ada modal untuk kampanye. Makanya sejak sekarang evaluasi itu disudahi,” ujarnya.

Masih menurut Merah, berdasarkan pengamatan Jatam, 6 perusahaan tambang yang telah dicabut  IUP-nya, memang kasusnya tidak mencuat di masyarakat dan bukan tambang yang sudah meresahkan serta merugikan masyarakat selama ini. Seperti CV Panca Prima Mining (PPM), Hymco Coal Energi Cahaya Industritama (BCI), yang sudah membuat 5 orang bocah tewas. Atau seperti CV Arjuna yang telah membuat kerusakan parah terhadap lahan pertanian, perkebunan dan perikanan warga Makroman.

Merah menganggap pemerintah tidak serius dalam menangani kerusakaan lingkungan. Pasalnya perusahaan tambang yang ditutup hanya berskala kecil. Tidak berani menyentuh perusahaan besar, yang dibackingi oleh politisi berkuasa dan juga menggunakan jasa kekerasan semata.

“Setelah dicek ternyata luas 6 tambang yang ditutup itu hanya berkisar 100-150 hektar saja. Total luasannya tidak mencapai 1 persen dari total luasan konsesi tambang yang ada di Samarinda. Samarinda ini dikepung oleh 71%, nah yang disanksi hanya 1 % ya tidak mengurangi daya rusak. Ngak ngefek,” sungutnya.

“Kalau Pak Nursyirwan bilang pada masa kepemimpinannya tidak lagi dikeluarkan IUPnya, ya wajar saja, karena lahannya sudah tidak ada lagi, apa yang mau diberi,” tegasnya.

Ke depan Merah berharap,  jika nanti evaluasi tambang kembali dilakukan seyogyanya harus melibatkan masyarakat untuk memberikan masukan sehingga diperoleh kualitas evaluasi yang benar-benar dirasakan kebaikan dan manfaat bagi masyarakat terkena dampak maupun bagi seluruh masyarakat Samarinda pada umumnya.

Bahkan, katanya, dalam pertemuan tingkat nasional, Jatam Kalimatan Timur mengusulkan agar pemerintah melakukan revolusi terhadap Badan Lingkungan Daerah khususnya, seperti pengangkatan melalui Kementerian Lingkungan Hidup mengingat jabatan BLH saat ini merupakan jabatan politis bukan karier. Akibatanya, sebagian besar kebijakan yang diambil amat bergantung ;pada pemerintah, BLH pun akhirnya tidak berdaya. Dan batubara benar-benar akan membunuh warga Samarinda.*

 

(Catatan penulis: Saya bangga. LPDS memberikan penghargaan dengan memberikan kesempatan untuk kembali belajar dan survive sebagai wartawan, meliput ke luar daerah asal, dengan situasi/lingkungan yang berbeda dari keseharian, serta waktu yang amat mepet. Lokakarya MDK II telah memberikan warna dan pengetahuan baru. Bertemu dan mendapat kawan dari daerah lain penuh dengan cerita dan canda.Terima kasih para mentor atas kepedulian dan arahan dalam menulis berita dengan baik dan benar.)

Published in ClimateReporter