Suara Warga Dusun Setelah Kebakaran

Oleh Zuli Laili Isnaini, dosen Antropologi, Universitas Riau,
peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014

Catatan penulis: Lokakarya ini menarik bagi saya, apalagi melihat korban kebijakan yang tidak populis bagi mereka. Masyarakat yang terpinggirkan dan dimiskinkan oleh kebijakan akibat kalahnya perebutan akses sumberdaya dari korporasi dan pemilik modal. Namun, sempitnya waktu di lapangan menyebabkan sedikitnya informasi yang mampu digali. Akan lebih baiknya bila waktu di lapangan jauh lebih lama dengan metode live-in, observasi, observasi-partisipatoris, dan wawancara mendalam.

“Kebakaran bukan karma, 99 % karena ulah manusia,” demikian pakar gambut yang juga Sekretaris Satuan Tugas Solusi Tuntas Bencana Asap, (STBA), Universitas Riau, Dr. Haris Gunawan di setiap kesempatan memberikan seminar maupun sebagai narasumber mengenai kondisi kebakaran hutan dan lahan gambut di Riau.

Presiden (waktu itu) Soesilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan kebakaran di Riau Feb-Maret 2014 menelan kerugian 15 miliar rupiah. Ongkos penanganan bencana mencapai Rp150 miliar dalam waktu tiga minggu. Haris menambahkan jumlah tersebut pada kisaran matematika semata. Selebihnya yang tidak mampu dideteksi melalui mata telanjang tak dapat terkira, seperti berapa banyak organisme, baik flora maupun fauna mati karena kabut asap yang secara ekonomi merupakan kerugian yang besar.

Kondisi asap tebal yang mengepung Kota Pekanbaru saat itu merupakan titik klimaks yang tidak hanya berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat, tetapi juga melumpuhkan ekonomi, terhentinya kegiatan pendidikan, macetnya transportasi dan akomodasi, juga rusaknya ekologi yang tidak mampu dihitung lagi secara ekonomi.

Lokasi Kebakaran
Dusun Bukitlengkung merupakan titik pusat kebakaran. Dusun ini di Desa Tanjungleban, Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis di jalan lintas Seipakning—Dumai. Perjalanan dari Pekanbaru memerlukan waktu paling sedikit empat jam ke arah utara, melewati Kota Siak, kota kecil bernama Pakning yang menuju Kota Dumai.  Di kawasan Maredan, sekitar satu jam dari Kota Pekanbaru,  perbukitan telah berubah  menjadi bukit sawit. Setelah melewati Kota Siak menuju Pakning, mulai terlihat lahan-lahan gambut. Ini menandakan bahwa semakin menuju ke arah utara hingga pesisir timur Pulau Sumatera di Kecamatan Bukitbatu, lahan gambut semakin tebal. Terbukti dengan warna air yang mengalir di tiap kelokan parit berwarna merah kehitam-hitaman. Semakin lama parit-parit tersebut semakin besar dan bermuara di Selat Malaka.

Untuk  menuju Dusun Bukitlengkung dari Kantor Desa Tanjungleban, mobil harus melewati jalan masuk berlebar lebih kurang lima meter dengan tanah liat berwarna merah bata. Jalan masuk ke dusun tersebut mirip jalan perusahaan perkebunan sawit yang biasa dilalui truk pengangkut sawit yang telah dipanen. Beberapa kilometer setelah masuk ke jalan tanah liat berwarna merah bata, jalan tanah berubah menjadi lumpur tanah liat.

Lubang-lubang genangan air  menghadang dua mobil yang membawa rombongan  wartawan dari berbagai daerah. Salah satu mobil terpaksa tidak mampu melanjutkan perjalanan menuju dusun tersebut sehingga semua  berkumpul dalam double cabin , disebut juga four-wheel drive, mobil yang empat rodanya berdaya gerak. 

Sesekali mobil berhenti untuk memberikan kesempatan bagi penumpangnya mengambil gambar dari sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati. Suasana lahan yang kosong serta hangusnya batang-batang yang berserakan di tanah menambah bayangan bahwa pernah terjadi kebakaran besar di lahan yang tak kurang ratusan hektar ini. Meskipun malam sebelumnya turun hujan lebat menggenangi parit-parit yang melingkari lahan yang terbakar, suasana kerugian yang tak ternilai begitu tampak.

Sebuah bekas rumah terbakar menjadi salah satu pemandangan yang menyatu dengan bekas lahan terbakar, begitu pula pasak-pasak bekas madrasah yang juga ikut terbakar. 

30 Menit Menjadi Pendengar
Hampir satu jam dari jalan Seipakning—Dumai  menuju Dusun Bukitlengkung, rombongan   memasuki pemukiman warga. Sebuah pemukiman penduduk menyatu dengan latar belakang perkebunan sawit dengan rumah-rumah yang berada di pinggir jalan poros desa. Sekitar pukul 11 siang, 1 Juni 2014 rombongan disambut warga Bukitlengkung yang sedang bergotong-royong membangun masjid di RT 09. Kepala Dusun Bukitlengkung berusia kira-kira pertengahan 20-an tahun menyambut kedatangan rombongan dengan ramah dan mengajak mengobrol di sebuah rumah di samping masjid yang sedang dibangun.

Azwanto namanya, menceritakan perihal kebakaran yang terjadi di Bukitlengkung Jumat, 20 Februari 2014. Menurut penuturannya terdapat empat unit rumah dan tiga  lokal Madrasah Diniah Aliah yang dibangun sejak 2012 ikut terbakar. “Kecil menjadi kawan, besar menjadi lawan” itulah bentuk ungkapan Azwanto yang mencerminkan perasaan warganya yang menjadi korban kebakaran lahan.

Semangat positif masih tergambar jelas pada imbuhan kata-katanya, “Masyarakat kami masih diberikan kesehatan dari Allah SWT tanpa kurang suatu apa pun”. Diimbuhkan olehnya bahwa masyarakat yang diungsikan di RT 09 sebanyak 36 kepala keluarga dari 126 jiwa termasuk balita dan wanita, tetapi warga Dusun Bukitlengkung berjumlah 70 jiwa. Di antara dua puluh orang yang ikut gotong-royong membuat masjid, terdapat tiga warga Bukitlengkung yang menjadi korban kebakaran. Mereka adalah Tugiadi (53) yang rumahnya terbakar, Sutarno (56) yang terbakar kebunnya seluas 1,5 ha siap panen, dan juga Sumaryono (56) pemilik kebun sawit yang terbakar.

Ketiga warga tersebut merupakan warga pindahan dari beberapa kota sekitar Bengkalis. Mereka menjelaskan dengan menggunakan campuran bahasa Indonesia, Melayu, dan Jawa mengenai kerugian akibat  kebakaran hutan dan lahan. Kerugian bukan saja secara ekonomi, melainkan juga mengerdilkan korban secara psikologis.

Pembicaraan semakin mengalir saat seorang teman bertanya, “Apa sebab terjadi kebakaran?”

Dengan sangat yakin dan tegas kepala dusun menjelaskan bahwa terjadinya kebakaran disebabkan oleh dibakarnya lahan untuk perluasan perkebunan oleh anak buah pemiliknya. Sang pemilik merupakan warga kota lain dan menurut beberapa saksi mata, mereka telah melaporkannya ke pihak berwajib.

Namun sangat disayangkan oleh warga Bukitlengkung laporan hanya tinggal berkas tersimpan. Meskipun sudah ada ketentuan mengenai sanksi atau hukuman bagi yang melakukan pembakaran lahan dengan bukti dan saksi, pelaku masih tetap bebas berkeliaran.

“Kami ini tidak memiliki kekuatan apa pun, sehingga tidak ada sanksi bagi pembakarnya,” ungkap Azwanto.

Azwanto juga menginginkan beberapa pihak dapat membantu untuk mengupayakan pemecahan persoalan mengenai dampak dari kebakaran lahan di Bukitlengkung. Melalui rombongan, ia menitipkan pesan supaya pemerintah daerah, perusahaan swasta yang berada di sekitar desa, dan siapa pun dapat mengupayakan bantuan berupa tenaga kesehatan, bantuan bibit sawit dan karet, dana pembuatan kantong-kantong air yang merupakan sekat-sekat dari parit sekitar perkebunan, pupuk, dan alat pemadam kebakaran beserta selangnya.

Tenaga kesehatan sangat diperlukan di Bukitlengkung karena pusat kesehatan masyarakat  sangat jauh letaknya. Warga harus melewati berhektar-hektar perkebunan hanya untuk keluar dari dusun tersebut. Ditambah lagi, infrastruktur seperti jalan dan penerangan listrik yang belum ada. Pada kesempatan lainnya, Azwanto menambahkan seorang warga yang sedang mengandung tidak dapat tertolong saat akan melahirkan karena jauhnya pusat kesehatan dari Bukitlengkung.

Dampak Kebakaran yang Menahun
Seiring terjadinya kebakaran tiap tahun sejak 1997 hingga 2014, Riau menjadi semakin panas menyengat dan lebih panas lagi pada musim kemarau   Juli—September.  Deforestasi menyebabkan banjir di berbagai tempat saat musim hujan dan gas CO2 terakumulasi di atmosfer, sehingga menghambat radiasi matahari ke bumi apat terpantulkembali ke luar angkasa. Hal itu menyebabkan terjadinya pemanasan global dan pada gilirannya perubahan iklim   termasuk di Riau.

Tidak hanya panas yang menyengat, kesulitan air di beberapa tempat saat musim kemarau, terjadinya abrasi di beberapa tempat di Ambon dan Nusa Tenggara Timur, serta pantai di Selat Malaka yang menjauh dari daratan sebelumnya merupakan dampak adanya pemanasan global.

Terbakarnya lahan gambut serta-merta berakibat pada meningkatnya konsentrasi gas karbon. Maka suatu sikap yang seharusnya dilakukan adalah membiarkan gambut tetap basah sebagai tempat hidup berbagai senyawa organik. Petuah Melayu Riau berujar, “Gambut adalah nadi, gambut adalah jiwa Melayu Riau itu sendiri”.

Sejalan dengan hal tersebut, Haris menjabarkan Permentan No.14/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut. Menurut peaturan menteri pertanian tersebut, berbudidaya kelapa sawit tidak boleh menggunakan lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 m dan proporsi lahan gambut dengan ketebalan kurang dari 3 m, minimum 7% dari lahan yang diusahakan. Diperkuat pula dengan adanya Inpres No. 10 tahun 2011 tentang Penghentian Sementara Pemanfaatan Hutan Alam Primer dan  Lahan Gambut yang telah diperpanjang menjadi Inpres No. 6 tahun 2013. Meskipun aturan sudah ada, implementasi perlu dikukuhkan kembali supaya menjadi dasar dari aturan untuk menjerat para pelaku kejahatan kemanusiaan.

Dua upaya besar  menanggulangi perubahan iklim ialah mitigasi dan adaptasi. Mitigasi ialah usaha mengurangi emisi karbon atau gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer. Tindak mitigasi berwujud pengurangan pemakaian sumber energi seperti bahan bakar minyak, batu bara dan gas alam yang melepaskan karbon dioksida. Sumber bahan bakar fosil ini layak diganti sumber energi terbarukan seperti tenaga matahari, angin dan air.

Tindak mitigasi lain ialah menyelamatkan hutan dan lahan gambut supaya tidak melepaskan kandungan gas karbon bila pohon ditebang atau gambut dibakar. Pelestarian hutan dan gambut, didukung penanaman pohon baru, merupakan upaya mitigasi utama di Riau karena 75% emisi karbon di Indonesia diakibatkan pengrusakan hutan dan lahan. Tujuan utama mitigasi adalah untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer sehingga tidak  membahayakan sistem iklim bumi.

Adapun adaptasi berarti upaya menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi sebagai langkah antisipasi dampak dan resiko atas bencana. Pendek kata, adaptasi ialah usaha mengurangi dampak perubahan iklim. Misalnya, petani menyesuaikan pola tanam dengan berubahnya pola cuaca. Penduduk pesisir membangun tanggul atau meninggikan lantai rumah untuk mengurangi bahaya abrasi dari air laut pasang naik.

Sejalan dengan hal-hal tersebut, Riau juga telah menjadi satu dari sebelas  provinsi prioritas REDD+, prakarsa nasional mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Riau telah menetapkan empat lokasi REDD+:  Taman Nasional Zamrud, blok hutan Semenanjung Kampar, blok hutan gambut Senepis, dan cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu.

Published in ClimateReporter