Di Balik Kabut Asap Sumsel

Laporan Hairil Hiar, liputan6.com, Ternate, 23 Sep 2016

Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Hairil mendapat tugas ke Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23 – 31 Agustus 2016.

 

OKI, Sumsel, ClimateReporter – Pembakar gambut itu sulit diungkap. Pascakebakaran perusahaan masuk menanam sawit. Mengancam keberlangsungan mahluk hidup dan masyarakat sekitar.

 

 

“Kebakaran yang terjadi itu akibat ulah orang-orang tertentu. Sering berlangsung pada musim kemarau. Saat kekeringan melanda Sumsel,” kata Aidil Fitri, Direktur Eksekutif Hutan Kita Institute (HaKI) Sumatera Selatan.

Aidil mengatakan gambut wilayah Ogan Komering Ilir Sumsel rawan terbakar. Pembuatan kanal raksasa dan kemarau panjang dua faktor.

Aidil mengemukakan penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut di Bumi Sriwijaya sampai sekarang belum terungkap. Menurutnya, kebakaran hutan dan lahan gambut berawal dari izin yang dikeluarkan pemda setempat.

Aktivis pecinta alam itu mengungkapkan izin membuka perkebunan sawit di lahan gambut tersebut meningkatkan potensi terjadinya kebakaran.

“Dari ratusan perusahaan sawit yang beroperasi di Sumsel terindikasi memicu kebakaran yang meluas,” dia menambahkan.

Aidil menjelaskan sawit tidak cocok di lahan gambut. “Selain rakus air, juga kanal raksasa yang dibuat perusahaan telah menyebabkan kekeringan,” kata pria berperawakan mirip aktor Jacky Chan itu.

Aidil mengatakan kanal digali supaya menampung aliran air dalam gambut. Gambut menjadi kering dan mudah dibakar. Lahan gambut lalu dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit dan akasia.

Menurut Aidil, orang-orang yang diduga membakar gambut susah diungkap. Bahkan upaya pemerintah setempat dalam menekan kebakaran hutan dan lahan gambut tidak maksimal sepanjang pemerintah masih mengeluarkan izin kepada perusahaan-perusahaan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI) beroperasi.

Lelaki 38 tahun itu mengatakan lahan gambut sebaiknya oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) maupun pihak-pihak terkait dianalisis tentang jenis-jenis tanaman apa saja yang cocok ditanam dan menjadikan gambut tetap basah.

“Untuk pendekatan lokal bisa dilakukan. Di Kecamatan Pedamaran (Kabupaten OKI) itu ada endemik tanaman jelutung yang bernilai ekonomis. Sehingga itu yang harus dipertimbangkan dan dilakukan agar gambut tetap basah. Selain itu bisa ditanami jenis tumbuhan yang bisa disinggahi lebah maupun tanam jeruk,” katanya.

Akibat Kebakaran

HaKI mencatat hutan Indonesia mengalami kebakaran hebat 2015. Ini menyebabkan kerugian ekonomi Indonesia sekitar Rp200 triliun dan 35 juta orang terdampak. Kemenkes RI menyebutkan pada Oktober 2015 sebanyak 425.377 jiwa menderita ISPA atau infeksi saluran pernapasan akut.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan 10 orang meninggal akibat kebakaran hutan dan lahan gambut periode Juni hingga November 2015. Berdasarkan data Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN), 2,1 juta hektare hutan dan lahan gambut terbakar.

Empat puluh persen kebakaran tersebut berada di Provinsi Sumatera Selatan yang meliputi wilayah perkebunan, kawasan konservasi, lahan masyarakat dan konsesi kehutanan dengan luas 837.520 hektare.

Berdasarkan analisis citra satelit Landsat, lokasi kebakaran terluas di Bumi Sriwijaya itu berada di Kabupaten OKI, diikuti Musi Banyuasin (Muba) dan Banyuasin. (Selengkapnya baca luasan terbakar pada tabel di bawah).

Kebakaran hutan dan lahan gambut tersebut telah melepaskan karbon ke atmosfir. Emisi ini menambah volume gas rumah kaca yang pada akhirnya memicu percepatan pemanasan global atau global warming.

Untuk mencegah kebakaran gambut, Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut Januari 2016. BRG beramanah untuk memulihkan fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran.

BRG merestorasi gambut di tujuh provinsi prioritas: Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Target restorasi gambut seluas 2 juta hektare dalam periode 2016-2020.

Beberapa teknik restorasi sedang dilakukan. Satu ialah rewetting atau pembasahan gambut melalui sekat kanal. Upaya lain ialah penimbunan kanal dan sumur bor. Pembasahan gambut diteruskan revegetasi meliputi persemaian dan pembibitan, penanaman jenis tanaman yang cocok di lahan gambut dan regenerasi alami. BRG juga melakukan revitalisasi sumber mata pencaharian melalui penanaman jelutung atau revitalisasi tanaman pertanian yang cocok di lahan gambut dan jenis perikanan.

BRG menetapkan target pemulihan lahan gambut seluas 2 juta hektare dalam periode 2016 hingga 2020.

Kabupaten Prioritas

Prioritas di tingkat subprovinsi ialah di antaranya Kabupaten Pulangpisau di Kalimantan Tengah dan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Kabupaten OKI merupakan titik berat pembakaran besar-besar lahan gambut akhir 2015. Kabut asap ditiup angin ke utara sehingga mengganggu penduduk di provinsi Riau, Jambi dan negara tetangga Singapura dan Malaysia.

Berdasarkan peta administrasi provinsi setempat, OKI memiliki luas wilayah 2.666 km persegi, 6 kecamatan dan 432 desa. Menuju Kayu Agung, ibu kota OKI, perjalanan dari pusat kota Palembang memakan waktu kurang lebih 3 jam. Jarak tempuh 71,1 kilometer.

Saat sampai di pintu gerbang OKI, wilayah Timur Sumsel itu, pengunjung dikejutkan dengan gading gajah dari sisi kanan dan kiri jalan, seperti cerulit menancap ke langit dengan panjang kurang lebih 20 meter. Gading itu bukan berarti OKI tempat gajah.

Titik api yang dikunjungi merupakan lokasi yang terbakar pada September 2015. Selama perjalanan terdapat hamparan ilalang tumbuh subur, sungai, dan rumah-rumah tradisional ciri khas masyarakat setempat. Tak ditemukan berbukitan. Sebagian besar kawasan merupakan bentangan rawa dan daratan.

Dari Kayu Agung menuju titik kebakaran, Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, suasana masih asri. Jarak tempuh 3 kilometer ke sana.

Identitas lokal begitu terasa. Rumah panggung atau rumah rakit warga lokal membuat pendatang takjub akan antikemapanan di era modernisasi ini.

Subdaerah aliran sungai Musi dan Sugihan bertebaran di beberapa sudut jalan yang dilintasi. Menambah lengkap suasana saat berkunjung ke sana.

Kanal Raksasa

Aidil Fitri mengatakan berdasarkan hasil survei yang dilakukan HaKI Sumsel, terdapat dua jenis kanal raksasa yang dibuat perusahaan. Sekunder dan primer.

Aidil mengemukakan pembuatan kanal raksasa yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut telah menyebabkan lahan gambut kering. Bila lahan gambut kering, maka mudah dibakar lalu ditanami sawit dan akasia.

Sawit dan akasia adalah jenis tanaman yang saat ini banyak dijumpai di lahan gambut setempat. Pada lahan sulfat masam tersebut, kedua jenis tanaman itu ditanami karena bernilai ekonomi tinggi dan kompetetif.

Sawit ditanam karena menghasilkan minyak industri dan bahan bakar berupa biodiesel. Kelapa sawit terutama untuk membuat minyak sawit (palm oil) sebagai pilihan minyak goreng banyak rumah tangga. Sawit juga untuk kosmetik dan bahan bakar nabati (biofuel). Sementara pohon akasia ditanam untuk membuat bubuk kertas dan kertas. Ini bisnis Asia Pulp and Paper (APP).

Fungsi kanal sendiri, Aidil menambahkan, selain pengeringan lahan gambut juga mencegah api jika terdapat kebakaran tidak masuk ke lokasi perkebunan perusahaan sawit dan akasia.

Aidil mengatakan ukuran kanal primer atau yang kecil berkedalaman mencapai 6 meter dan lebar maksimal 10 meter. Kanal ini menyebabkan area lahan gambut kering. “Adanya kanal ini membuat lahan gambut di dalam perusahaan dan di luar menjadi kering,” katanya menjelaskan.

Aidil mengungkapkan kekeringan yang disebabkan pembuatan kanal tersebut ketika tersulut api sedikit saja langsung terbakar. “Untuk mengantisipasi supaya gambut tidak mudah terbakar, ya harus dijaga tetap basah,” paparnya.

Karena itu, sesuai program BRG, restorasi gambut harus melakukan sekat kanal hingga penimbunan kanal. Tujuan tersebut, kata Aidil, untuk menjaga lahan gambut tetap basah.

“Ini harus dilakukan agar lahan gambut tidak mudah terbakar. Karena di lahan gambut bagaimana tidak terbakar lagi, ya caranya hanya pembasahan. Kemudian dilakukan penghijauan seperti menanam jenis tanaman yang cocok di situ,” katanya.

Aidil mengatakan belum ada komitmen perusahaan-perusahaan sawit yang beroperasi di OKI terkait program pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, termasuk pula mendukung upaya restorasi gambut.

Aidil mengatakan sekat kanal belum dilakukan di OKI. Sekat kanal adanya di Kabupaten Muba. Di OKI hanya ada pembuatan sumur bor dan embung. Kegiatan tersebut dilakukan oleh Sarekat Hijau Indonesia (SHI) bersama masyarakat setempat, katanya.

Penggiat SHI OKI Sarifudin Gusar menyebutkan program SHI bekerjasama dengan UNDP bersama masyarakat kabupaten setempat telah membuat sumur bor dan embung.

Sumur bor yang dibikin ada 11 titik: enam titik di Desa Toman Kecamatan Tulung Selapan, dan 5 titik di Desa Riding Kecamatan Pangkalan Lampam. Pembuatan embung ada di 3 lokasi, yaitu satu di Desa Toman, satu di Desa Riding, dan satunya di Desa Tulung Seluang Kecamatan Tulung Selapan. Kalau sekat kanal masyarakat gak ada yang bikin,” jelasnya.

Gusar mengatakan tujuan pembuatan embung atau waduk kecil tersebut sebagai persediaan air saat kesulitan air di musim kemarau, dan sumur bor bisa dipakai untuk memadamkan kebakaran saat kobaran api besar-besaran terjadi.

Dia menambahkan lahan gambut di Pedamaran jauh dari pemukiman-pemukiman masyarakat. Pihaknya hanya membuat sumur bor dan embung di desa-desa yang jaraknya sangat dekat dengan pemukiman dan kebun masyarakat.

Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG Myrna Safitri mengatakan sejauh ini pihaknya masih dalam tahap menyelesaikan peta indikatif restorasi gambut dengan kementerian/lembaga terkait. Myrna mengungkapkan belum ada kegiatan fisik di OKI.

“Kegiatan (sekat kanal dan sumur bor) baru akan berjalan setelah terealisasinya alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan tahun anggaran 2016,” Myrna beralasan.

Solusi Kepada Pemerintah

Aidil menyarankan pemerintah sebaiknya mengisi lahan gambut dengan jelutung atau sagu dan sejenisnya yang cocok di Pedamaran maupun OKI pada khususnya.

“Warga dulunya itu banyak yang nanam sagu dan mereka tidak bikin kanal. Mereka tanam saja begitu. Makanya dahulu gambutnya tetap terjaga,” katanya.

Saat ditanya dahulu sudah ada contoh tanaman seperti itu, kenapa Pemprov tetap mengizinkan perusahaan tanam sawit di lahan gambut setempat, karena selain tidak cocok dengan lahan, juga berpotensi kebakaran semakin tinggi.

“Jadi berkaitan dengan izin-izin perusahaan sawit, itu banyak. Yang itu terkait korupsi, kolusi dan segala macam (nepotisme). Jadi dulunya itu, salah satunya karena pertimbangan pemerintah, bahwa tanah kosong di sini dianggap terlantar, makanya pemerintah membuka akses izin sawit. Sehingga pemerintah mengundang perusahaan sawit, mengundang perusahaan HTI untuk tanam sawit tanpa pertimbangkan pembuatan kanal itu bisa merusak gambut,” katanya.

Aidil mengemukakan upaya restorasi pemerintah baru satu tahun terakhir, setelah kebakaran hutan di Provinsi Sumsel menyita perhatian dunia.

“Jadi baru setahun terakhir lahan dan hutan gambut menjadi atensi atau misi pemerintah pusat. Bagi saya, solusinya sekarang pemerintah harus mereview izin-izin perusahaan perkebunan sawit maupun izin-izin perusahaan HTI,” imbuhnya.

“Jadi sebaiknya dilihat lagi proses izin yang dikeluarkan pemerintah, apakah layak, misalnya keberadaan perusahaan sawit itu di area lahan gambut. Kalau memang tetap diperbolehkan, ya pengelolaannya seperti apa? Tentunya di sana harus ada zona budidaya, harus ada konservasi. Itu yang harus diperketat,” jelasnya.

Selain itu, pemerintah harus tegas, khususnya jenis gambut dalam, harus dijadikan zona restorasi. “Misalkan sudah ada sawit atau sudah ada HTI di atasnya, ya harus dipaksa untuk menjadikan lokasi itu sebagai wilayah konservasi,” katanya.

Menurutnya, kebijakan seperti itu yang harus menjadi pertimbangan pemerintah. Karena yang pasti ada keberatan dari pihak perusahaan. “Namun pemerintah tidak boleh kalah dengan perusahaan dan harus ada solusi,” sambungnya.

Tanggapan Pemprov Sumsel

Wakil Gubernur Sumsel Ishak Mekki mengaku kebakaran hutan dan lahan di wilayahnya karena ulah masyarakat. Karena itu, sebagaimana instruksi Presiden Jokowi, kebakaran hutan akibat ulah orang-orang tertentu akan ditindak tegas.

Menurut mantan Bupati OKI itu, sudah ada penanganan kasus terkait dugaan pembakaran hutan dan lahan yang dilakukan. Kata dia, apabila pembakaran bermula dari lahan perusahaan maka perusahaan itulah yang harus bertanggungjawab.

“Sudah jelas lahan yang ada itu sudah diberikan izin kepada perusahaan. Kalau terjadi kebakaran di areanya perusahaan, ya perusahaan harus bertanggungjawab. Baik itu lahan yang sudah ditanam sawit maupun belum,” katanya.

Politisi Partai NasDem itu menegaskan izin kepada perusahaan sudah diberikan. Kalaupun ditemukan benar adanya kebakaran di area perusahaan maka sanksinya pencabutan izin dan bahkan pidana. “Kalau sejauh ini kasus seperti itu sudah ada dan sedang ditangani polisi,” katanya.

Berdasarkan penelusuran, Polda Sumsel telah menangani 36 kasus kebakaran hutan dan lahan gambut. Di antaranya PT IA atau PMA Malaysia, PT H atau PMA Singapura, dan PT MBI atau PMA Malaysia. Kasus kebakaran yang melibatkan beberapa korporasi ini sedang dalam penyelidikan Polda setempat.

Mekki mengungkapkan adanya penanganan hukum atas kasus kebakaran hutan dan lahan tersebut adalah bagian dari upaya Pemprov Sumsel menekan kebakaran agar tidak terulang. “Segala upaya sementara berjalan. Melibatkan seluruh stakeholder maupun perusahaan-perusahaan sawit dan perusahaan HTI,” katanya.

Rewetting Upaya Pemprov

Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Sigit Wibowo menambahkan jumlah hotspot (titik api) terhitung pada 1 hingga 10 Juli 2016 berjumlah 33 titik. Ini turun dibandingkan periode sama pada 2015 yang mencatat 203 titik. Sedangkan hotspot selama Juni hingga Juli 2016 hanya berjumlah 76 atau menurun tajam dibandingkan bulan yang sama tahun 2015 yang mencapai 229 titik.

“Di beberapa hotspot (titik panas) itu sampai Agustus 2016 telah dibuatkan sekat kanal dan embung. Jumlahnya sudah 695 dan embung 341 unit. Ini seluruhnya ada di perusahaan-perusahaan sawit dan HTI yang ada di OKI dan Muba,” katanya.

Sigit mengatakan pembuatan sekat kanal panjangnya relatif, tergantung luasan hektare lahan perusahaan tersebut. Kalau jarak per petak sekat kanal menurutnya 500 meter dari ukuran kanal yang bersifat primer dan sekunder.

Dia mengakui jika pembuatan kanal-kanal raksasa itu menyebabkan kekeringan di areal lahan gambut Sumsel. “Karena itu kita upayakan bisa disekat kanal,” katanya.

“Intinya dengan rewetting (pembasahan) itu diharapkan gambut tetap basah. Juga apabila terjadi kebakaran maka di sana sudah ada persiapan air. Tujuan kita mengadakan rewetting untuk menekan kebakaran tidak terulang,” tutupnya.

Izin Bertambah Kebakaran Meluas

Aidil mengungkapkan pengelolaan hutan di Sumsel yang di dalamnya terdapat ekosistem gambut ini telah diserahkan kepada 48 perusahaan dengan total luasan pengelolaan sebesar 1,5 juta hektare.

Yang paling besar meguasai lahan tersebut adalah Group Sinar Mas yang menghasilkan minyak sawit dan kertas dan bubuk kertas.

Asia Pulp and Paper (APP) yang berafiliasi dengan Sinar Mas merupakan perusahaan kertas dan bubuk kertas besar di Indonesia. APP beroperasi sejak 2004 di Sumsel dan menguasai 51 persen lahan gambut dengan total seluas 796.217 hektare.

APP bersaing dengan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP). Anak usaha dari Asia Pacific Resources International Holdings Limited (APRIL) yang didirkan pada 1995 ini juga salah satu produsen kertas dan pulp terbesar di Indonesia, bahkan tingkat global.

APP terdiri dari PT BMH, BAP, SBA, KEN, TPJ, RHM, SHP dan PT BPP. Secara bersama APP mencapai 77 persen atau sekitar 288,922 hektare dari total seluruh konsesi perusahaan kehutanan di Sumsel yaitu 375,561 hektare. Kebakaran di konsesi group perusahaan yang didirikan oleh Eka Tjipta Widjaja ini seluas 174,080 hektare. Sebanyak 60 persen adalah ekosistem gambut.

“Dari lahan yang terbakar itu, banyak yang sudah ditanami akasia untuk pembuatan kertas, di mana menimbulkan pertanyaan bagi kita, bagaimana dampak kehilangan akasia tersebut terhadap supply bahan baku untuk pabrik mereka yang sedang dibangun di Kabupaten OKI, milik PT OKI Mill Pulp and Paper,” kata Aidil.

Selanjutnya, sambung dia, kebakaran hebat juga terjadi di dalam konsesi PT Musi Hutan Persada (MHP), yaitu seluas lebih 28.323 hektare. Kemudian diikuti oleh PT Global Alam Lestari (GAL). Ini merupakan perusahaan dalam kategori izin jasa lingkungan yang luas terbakar mencapai 21.224 hektare dari total luas izin 22.892 hektare. Perusahaan ini lahannya terbakar lebih dari 92 persen. PT MHP dan GAL bergerak di bidang produksi tanaman kayu akasia.

Aidil mengatakan untuk wilayah perkebunan sawit, kebakaran terluas terdapat di perusahaan PT Waringin Agro Jaya seluas 7.371 hektare dan PT Surya Hutama Sawit mencapai luasan 7.103 hektare, kemudian diikuti oleh PP Lonsum Indonesia Tbk seluas 6.427 hektare dan Pancatira Budi Agung lebih dari 5.000 hektare.

Hukum Tumpul Ke Atas Tajam Ke Bawah

Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat mengatakan luas lahan terbakar 2015 mencapai 800 ribu hektare. Tujuh puluh persen berada dalam konsesi perusahaan.

Anwar mengatakan kebakaran bermula dari penguasaan lahan yang dikuasai perusahaan. “Ini penyebab terjadi kebakaran hutan di Sumatera Selatan,” katanya.

Kebakaran yang terjadi di dalam konsesi perusahaan, yaitu mengenai perusakan yang dilakukan perusahaan secara sistematis. Salah satunya membuat kanal raksasa untuk mengeringkan lahan gambut.

Di sisi lain “praktek-praktek jahat” yang dilakukan perusahaan tidak melalui land clearing dengan alat berat atau pembukaan dan pengolahan lahan sampai dengan lahan tersebut siap ditanami sawit. “(Pembakaran) ini dilakukan perusahaan karena secara ekonomis lebih murah ketimbang mereka membuka lahan menggunakan alat berat,” katanya.

Walhi, kata Anwar, melihat pembakaran-pembakaran yang dilakukan dalam wilayah konsesi itu merupakan kawasan yang akan ditanami sawit atau akasia.

“Kalau di Kabupaten OKI terdapat 60 lebih perusahaan sawit dan HTI 13 perusahaan. Rata-rata perusahaan perkebunan sawit izin-izinnya keluar pada 2004 hingga 2005. Untuk izin perusahaan HTI rata-rata keluar pada 2008,” ujarnya.

Anwar menceritakan sejak perusahaan mulai beroperasi, mulai lah kerusakan gambut terjadi. Misalnya pada 1997 hingga 2000, ketika pemerintah memberi izin kepada perusahaan menanam sawit, terjadi pembakaran secara masif.

Selain itu, lemahnya penegakan hukum terhadap korporasi, khususnya group-group besar, ancaman kebakaran masih akan terjadi.

Data olahan WALHI Sumsel, kata dia, menunjukkan aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun KLHK atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai saat ini hanya mempersoalkan masyarakat atau individu, sementara perusahaan tidak. Dari 36 kasus yang ditangani Polda Sumsel, 26 kasus di antaranya adalah kasus individu.

Menurutnya, harus ada terobosan hukum yang dapat menjangkau kejahatan korporasi yang selama ini justru menunggangi kekuasaan atau pengurus negara, termasuk aparat penegak hukum dan pengadilan.

“Contoh kasus pembakaran hutan seluas 280.999 hektare yang melibatkan empat korporasi besar milik Asia Pulp and Paper (APP) di Kabupaten OKI dan Kabupaten Muba sampai saat ini tidak tersentuh hukum dan diberi sanksi,” katanya.

Tanggapan Perusahaan

APP dihubungi via email dan telepon seluler belum memberi penjelasan.

Randy Salim, Head of Corp Comms APP, melalui pesan WhatsApp mengelak memberikan keterangan. Melalui email ia merujuk ke Inasanti, Kepala Komunikasi Global untuk media nasional. “Ibu Inasanti selaku Head of Global Communications untuk media nasional. Selanjutnya beliau yang akan merespon pertanyaan Anda,” tulis Randy melalui email.

Sejauh ini belum ada tanggapan dari Kepala Komunikasi Global APP untuk media nasional tersebut.

Tabel : Luasan Kebakaran 2015 di Sumsel

 

Luasan Kebakaran 2015 di Provinsi Sumsel

No

Nama Kabupaten

Luasan Kebakaran (Hektare)

%

1

Ogan Komering Ilir

473.181

56.498

2

Musi Banyuasin

146.381

17.478

3

Banyuasin

135.292

16.154

4

Muara Enim

27.001

3.224

5

Musi Rawas

15.088

1.802

6

MURATARA

8.871

1.059

7

OganIlir

8.418

1.005

8

PALI

8.100

0.967

9

Lahat

4.666

0.557

10

OKU

3.929

0.469

11

OKU Timur

3.665

0.438

12

Empat Lawang

1.544

0.184

13

OKU Selatan

1.190

0.142

14

Pagar Alam

166

0.020

15

Palembang

28

0.003

TOTAL LUASAN

837.520

100.000

Sumber : HaKI Sumsel

Gambar 1. Perkebunan kelapa sawit di Pedamaran yang berdekatan dengan titik api kebakaran 2015. (Foto: Hairil Hiar)

 

Gambar 2. Kanal berukuran 3 meter dengan kedalaman 1 meter lebih. Kanal ini secara gotong royong dibuat warga Menang Raya untuk mengantisipasi api kebakaran masuk ke pemukiman dan lahan warga setempat. (Foto: Hairil Hiar)

 

Gambar 3. Gading gajah pintu gerbang OKI. (Foto: Nefri Inge)

Editor Warief Djajanto Basorie

 

Published in ClimateReporter