Bertarung dalam Kepungan Api dan Asap

Laporan Mursalin, Hr Republika, biro Lampung
Penulis adalah peserta lokakarya LPDS Meliput Perubahan Iklim dengan tugas kunjungan kawasan di Kalimantan Tengah Feb 2016

LAHG, Sabangau, Republika/ClimateReporter – Langit sudah menguning. Masker tak mampu lagi membendung asap masuk hidung. Jarak pandang hanya tiga sampai lima meter. Sejumlah penduduk Kota Palangka Raya terpaksa mengungsi. Nyaris semua hutan gambut di Provinsi Kalimantan Tengah berada dalam kepungan titik api akhir 2015.

“ISPU (Indeks Standar Pencemar Udara) sudah 400, tapi herannya pemerintah belum tanggap darurat (di Kalteng),” kata Darmae Nasir, ahli lingkungan Universitas Palangka Raya di lokakarya LPDS Meliput Perubahan Iklim di ibu kota Kalteng Feb 2016.
Alat pengukur ISPU milik Badan Meteorologi Klimatologi Geofisika Kalteng tak berdaya. Pegiat lingkungan mendatangkan alat pengukur dari Jepang. “Ternyata ISPU sudah mencapai 2.000,” tutur Darmae mengisahkan kejadian kebakaran hebat hutan gambut di Kalteng periode Juni – Oktober 2015.

Esoknya, hujan deras pagi itu tak menyurutkan lima wartawan berbagai media di Tanah Air, termasuk Republika, menempuh perjalanan menuju posko Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG), Ahad 21 Feb 2016. Lab dikelola Universitas Palangka Raya. Lahan seluar 50 ribu hektare   kawasan LAHG yang bagian dari Hutan Taman Nasional Sabangau, pun terkena imbas kebakaran hutan gambut 2015. Kesigapan Tim Serbu Api (TSA) LAHG dibantu masyarakat mampu membendung api yang berkobar di sejumlah lahan gambut mereka. “Hanya seperempat hutan gambut LAHG terbakar,” kata Krisyoyo, koordinator TSA LAHG.

Setelah menempuh perjalanan mobil selama setengah jam dari pusat Kota Palangka Raya, rombongan sudah tiba di dermaga klotok, sebutan perahu bermotor bagi penduduk Desa Kereng Bangkirai, Kecamatan Sabangau.  Menuju LAHG, harus menggunakan klotok untuk menyeberangi Sungai Sabangau dan menyusuri rawa lahan gambut selama tiga perempat jam.

Di benak tergambar isi LAHG layaknya laboratorium kimia, biologi, atau fisika. Ternyata, peralatan lab seperti gelas, mangkuk, pipet, dan sebagainya tak dijumpai di tempat itu. Laboratorium yang berdiri sejak 1993, hanya berisi bibit berbagai jenis tanaman, perangkap kupu-kupu, kamera pengintai, mesin pompa air, selang, paralon.dan sejenisnya.

Berbagai jenis tanaman gambut berduri dan berdaun gatal di kawasan tersebut, membuat pengunjung harus ekstra hati-hati. Duri tanaman dapat menggores tubuh saat klotok melintas di kanal hutan gambut. Begitu juga daun yang bertebaran di sekeliling hutan gambut dapat membuat kulit gatal bahkan lukanya bisa memborok.

Bagi Krisyoyo dan sejumlah rekannya yang bertugas di LAHG, medan perjalanan seperti itu sudah biasa. Para peneliti kampus dalam dan luar negeri pun kerap menjadikan LAHG tempat utama, sebelum menuju objek penelitian flora dan faunanya.

“Setiap hari kami bergantian patroli pakai klotok ke berbagai kawasan hutan gambut,” kata Krisyoyo, koordinator TSA di posko LAHG.

TSA bekerja patroli ke berbagai kawasan LAHG. Ketika patroli, saat musim kebakaran lahan gambut tahun 2015, personel TSA bergantian pada siang dan malam. TSA tidak saja bertugas mencari titik api dan memadamkannya. Namun, kejadian di luar itu, personil TSA siap membantu di lapangan.

Kabut asap yang melanda Kalteng Juni hingga Oktober 2015, menjadi tantangan TSA untuk bertarung dalam kepungan api dan asap. Hutan gambut di dalam dan di luar wilayahnya, sudah terbakar di musim kemarau panjang tersebut. TSA mengambil gerak cepat agar kobaran api tidak meluas di lahan gambut yang kering lainnya.

TSA dibantu masyarakat setempat mulai beraksi. Sumur-sumur bor yang tersedia di sisi barat dan timur, menjadi andalan tim untuk memadamkan kobaran api. Mereka harus membasahi pohon dan dedaunan di lahan gambut yang kering, agar tidak mudah tersambar api.

Kanal-kanal atau saluran air di hutan gambut yang ada, sempat disekat untuk menjaga agar air yang tersisa tidak keluar. Air dalam kanal dapat dimanfaatkan untuk menyemprot kobaran api dan membasahi hutan gambut yang sudah kering kerontang.

“Saat itu kami dibantu masyarakat sekitar 50 warga,” ungkap lelaki yang sudah bergabung dengan TSA sejak 2003.

Banyaknya sebaran titik api di lahan  gambut saat itu membuat tim bersama masyarakat menambah beberapa titik sumur bor lagi. Sumur bor yang baru dibuat dikerjakan selama dua sampai empat jam. Kehadiran sumur baru dapat membendung laju api di hutan gambut. Kedalaman sumur 16 sampai 25 meter. Biaya membuat sumur bor berkisar Rp2,5 juta sampai Rp4 juta, bergantung jarak tempuh dan lokasinya.

Sebaran sumur di lahan LAHG sudah berjumlah 22 sumur bor. Sebanyak 11 sumur berada bagian barat dan 11 lainnya di sebelah timur dari posko LAHG.  Jarak masing-masing sumur bor berkisar 350 meter – 400 meter.  Satu sumur bor, dapat menjangkau semburan air tiga sampai empat hektare dengan menggunakan sambungan selang dan paralon. Letak sumur bor tersebut yang terdekat 30 kilometer dari tepi daratan.

Menurut Kris, sumur-sumur bor lama yang sudah dibuat tahun 1999, masih berfungsi normal saat memadamkan api maupun membasahi hutan gambut. “Sumur-sumur bor lama masih normal dan airnya masih banyak. Sebab mulut sumur kami tutup,” ujarnya.

Ia mengatakan sumur-sumur bor sangat efektif untuk memadamkan api yang sedang bergejolak maupun bersemai di dalam lahan gambut pada kebakaran tahun lalu, dibandingkan menggunakan kanal-kanal yang selalu kering di setiap musim kemarau. Kelebihan sumur bor, air yang berada di bawah lahan gambut masih tersimpan meskipun terjadi musim kemarau panjang.

“Untuk saat ini, sumur bor sangat membantu pemadaman api,” tambahnya.

Antusiasme masyarakat setempat untuk turut membantu memadamkan api dan menyiram hutan gambut yang kering dengan air sumur bor sangat efektif. Saat itu, 50 warga turun bahu membahu memadamkan api. Mereka sengaja diberi insentif sebesar Rp 75 ribu per hari. Bahkan, ada warga yang menolak imbalan, karena batinnya terpanggil ingin memadamkan api.

Tugas mereka membantu membuat sumur bor, membawa peralatan seperti mesin pompa, selang, pipa, paralon, dan bahan bakar. Saat api berkobar waktu itu, mereka turut menyiram menggunakan selang air hingga luasan beberapa hektare.

Kris berharap penanganan pascakebakaran hutan lahan gambut dan kabut asap tahun 2015, hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah. Pola kemitraan dengan masyarakat setempat, menurut dia, harus dibentuk sejak dini, untuk mengantisipasi setiap datangnya titik api dan musim kemarau mendatang.

“Sekarang belum ada pokmas (Kelompok Masyarakat) yang siap turun saat bencana api dan asap datang di lahan gambut,” ujar lelaki berusia 36 tahun itu.

Pemerintah, ungkap dia, harus segera membentuk pokmas-pokmas dan mengedukasinya dalam penanggulangan bencana asap dan kebakaran hutan di lahan gambut. Kemitraan dengan masyarakat setempat, menurut dia, lebih penting daripada mengandalkan personil yang sudah ada di beberapa lembaga pemerintah daerah setempat, misalnya polisi pamong praja,TNI dan Polri.

Kehadiran LAHG sangat membantu menahan tingkat deforestasi hutan gambut di wilayah tersebut, terlebih saat kebakaran hutan gambut 2015. LAHG dikelola CIMTROP, Universitas Palangka Raya. Centre For International Cooperation in Sustanaible Management of Tropical Peatland (CIMTROP), diketuai Dr Suwido H Limin

Harian Republika telah memuat feature ini 16 Maret 2016

Published in ClimateReporter