Judul: Menjaga Kebebasan Pers. 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja
Penulis: Lukas Luwarso, Imran Hasibuan, Samsuri, Aa Sudirman
Editor: Lukas Luwarso
Penerbit: LPDS, 2008.
Tebal: viii + 220 halaman
Berita atau ulasan tentang buku ini:
Pers Harus Berani Hadapi Tuntutan Hukum
Kompas.com Selasa, 24 Februari 2009 | 22:00 WIB
JAKARTA, SELASA — Walaupun ada 12 perundang-undangan yang bisa menjerat dan memberikan sanksi berat kepada wartawan, pers harus punya keberanian menghadapi tuntutan hukum. Sebab, tidak mungkin pers kebal hukum. Meski demikian, Dewan Pers akan terus membicarakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers kepada pihak penegak hukum, termasuk ke Mahkamah Konstitusi.
Tokoh Pers Nasional Atmakusumah Astraatmadja mengatakan hal itu pada diskusi setelah peluncuran dua bukunya, yaitu Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi serta Menjaga Kebebasan Pers: 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja (Editor Lukas Luwarso), Selasa (24/2) di Jakarta.
“Pers harus diberi kebebasan seluas mungkin. Jika ada pekerja pers yang tersangkut masalah etika, maka ia akan berurusan dengan Dewan Pers, sedangkan jika tersangkut masalah hukum, pers harus berani menghadapi tuntutan hukum,” katanya.
Peluncuran buku ditandai dengan penyerahan buku kepada sang istri, Sri Rumiati Atmakusumah, Mayjen TNI (Purn) Abdul Muhyi Effendie, dan Djafar Husein Assegaf.
Rumiati banyak membantu proses pengetikan draft dan indeks buku, Abdul Muhyi Effendi adalah tokoh kontroversial yang pernah mengeluarkan Maklumat Gubernur Maluku Utara selaku Penguasa Darurat Sipil, tahun 2001, sedangkan Djafar Husein Assegaf adalah teman di Koran Indonesia Raya yang selalu berseberangan dengan Atmakusumah.
Dalam diskusi, dihadirkan David T Hill, Dosen Kajian Asia Tenggara di Australia; dan Hendry Sugianto, penasehat ahli Menteri Komunikasi dan Informatika. Sastrawan Goenawan Mohammad yang dijadwalkan hadir tidak datang.
Atmakusumah mengatakan, buku Tuntutan Zaman Kebebasan Pers dan Ekspresi menghimpun berbagai pemikiran tentang (kebebasan) pers yang disampaikan dalam berbagai kesempatan seminar dan diskusi, serta dipublikasikan secara terpisah-terpisah di sejumlah media pers cetak dan media online serta dalam buku, setidaknya selama 25 tahun terakhir.
Masih banyak pemikiran lain yang belum terhimpun dalam buku, tetapi suatu saat akan dibukukan.
Buku Tuntutan Zaman Kebebeasan Pers dan Ekspresi merupakan lanjutan dari buku yang ditulis sebelumnya, yaitu Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia, yang diterbitkan Lembaga Studi Pembangunan, tahun 1981.
“Buku ini diharapkan bukan hanya dapat membantu memberikan gambaran tentang alam pikiran para perumus UU Pers 1999, tetapi juga mengungkapkan perjalanan kehidupan pers kita sebelum dan pada masa Reformasi,” katanya.
David dalam diskusi buku lebih banyak membicarakan awal perjumpaannya dengan Atma, tahun 1980, ketika meneliti surat kabar Indonesia Raya. Atmakusumah seorang yang sekuler, menghargai perbedaan, modernis, dan terbuka. “Membaca buku Atmakusumah, kita bisa mencermati nuansa, rincian, dan fokus dari setiap yang ditulis,” ujarnya.
————————————————————————————————————————————
Wali Penjaga Kebebasan Pers
Majalah Tempo, 23 Maret 2009
INI buku tentang Atmakusumah Astraatmadja, wartawan Indonesia Raya pada 1960-an. Tapi hidup orang Banten ini hanya sedikit disinggung. Sebagian besar halaman bercerita tentang pikiran dan upayanya menegakkan kehidupan pers yang bebas. Ia pelopor Undang-Undang Pers Tahun 1999, Ketua Dewan Pers 2000-2003, aktivis yang getol menyerukan agar wartawan tak dipenjara karena salah menulis.
Pekerjaan wartawan adalah pekerjaan kolektif. Menurut Atma, jika seseorang merasa dirugikan oleh sebuah berita, tiga hal bisa ditempuh: menggunakan hak jawab, menempuh mediasi lewat Dewan Pers, dan-upaya terakhir yang tak ia sarankan-menggugat ke pengadilan dengan memakai Undang-Undang Pers. Karena itu hukuman bagi media yang memang punya niat buruk memfitnah, tak berimbang, kacau akurasi, adalah dengan mendendanya.
Memenjarakan wartawan adalah ciri negara otoriter. Atma menunjukkan di negara-negara demokratis pemidanaan wartawan sudah dihapus. Amerika Serikat memulainya pada 1768-ketika anggota Kongres masih banyak yang buta huruf. Karena itu, Atma menyebut siapa saja yang menilai pers kebablasan di zaman ini adalah sikap “mentalitas penjara”: seorang yang baru keluar dari bui (otoritarianisme) justru takut pada kebebasan. Sayangnya, para penakut itu datang dari kelompok elite, mereka yang tak buta huruf.
Atma berpikir sebaliknya: pers harus “kebablasan” karena berperan mengungkap kejahatan. Jika kini pers mengumbar pornografi, ceroboh membuat berita, keliru mengungkap fakta, bukan kebebasan yang disalahkan, tapi pekerja media itu yang ngawur. Ini menyangkut soal prosedur dan kode etik, yang bisa diuji. Di wilayah itulah media diadili. Tapi, jika wartawan menerima suap, membunuh, menipu, memeras, dan hal-hal lain di luar jurnalistik, ia harus diseret secara pidana.
Kebebasan pers tak bisa ditawar jika Indonesia ingin menjadi negara demokratis, maju, dan modern. Atma tak lelah menyerukan dan merawat soal ini sepanjang 50 tahun kariernya di dunia pers.(Bagja Hidayat)
Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2009/03/23/BK/mbm.20090323.BK129830.id.html
Published in