Jakarta (Berita LPDS) – Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Atmakusumah Astraatmadja, merasa heran ada wartawan menulis berita berdasar informasi yang tidak masuk akal. Pelanggaran kode etik jurnalistik, menurut Atma, dapat dihindari kalau wartawan mencermati apakah informasi awal yang diterimanya masuk akal atau tidak.
Informasi yang tidak masuk akal biasanya dimuat berdasar hasil wawancara satu pihak, tidak lengkap, dan bias. “Harus ada pandangan lain yang diungkapkan,” kata Atma saat menjadi pembicara Seri Lokakarya “Menegakkan Etika, Meluruskan Kekacauan Berbahasa, dan Mengevaluasi Pemberitaan Pers” yang digelar LPDS di Jakarta, Selasa (22/7/2009).
Atma mencontohkan berita pembakaran milisi Timor Lorosa’e pro-Indonesia yang katanya disiram bensin dan dibakar sampai mati pada 1999. Berita tersebut dimuat sejumlah koran nasional dan stasiun televisi tanpa mengutip pernyataan dari pihak yang dituduh melakukan. Sehingga beritanya menjadi tidak masuk akal dan diragukan kebenarannya.
“Para Pembaca, pendengar, dan penonton dirugikan haknya untuk memperoleh kebenaran tentang informasi ini,” kata Atma.
Contoh lainnya, berita berisi pernyataan dari Kongres Wanita Indonesia (Kowani) yang mendukung poliandri dan perkawinan pasangan sejenis pada 2000. Berita ini dibantah oleh Kowani. Di dunia ini hanya tinggal sedikit suku primitif yang memiliki tradisi poliandri. Karena itu, menurut Atma, akal sehat sebaiknya digunakan sebelum memulai peliputan berita serius.
“Pemberitaan pers yang tidak masuk akal mungkin tidak melanggar etika jurnalistik, tetapi pasti sangat merisaukan subjek berita yang merasa dirugikan,” tegasnya.
Sementara terkait dengan kecenderungan wartawan, terutama di media online, yang memuat konfirmasi dari pihak yang diberitakan tidak di dalam berita pertama, Atma menilai hal itu tidak adil. Seharusnya konfirmasi dimuat di berita pertama.
Menurutnya, putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) dalam kasus Time melawan Soeharto menegaskan konfirmasi dari pihak-pihak yang diberitakan harus dimuat di edisi yang sama, bukan berikutnya. MA memenangkan Time karena majalah terkemuka itu memuat wawancara dari keluarga Soeharto, diwakili pengacaranya, dalam edisi yang sama dengan pemuatan hasil investigasi kekayaan mantan presiden Soeharto.
Hak jawab bagi Atma hanya digunakan apabila berita awal yang sudah komplit ternyata tetap dianggap kurang. “Jangan main cepat-cepat saja, begitulah kira-kira,” ujarnya.
Kebenaran
Lokakarya hari pertama dari tiga hari yang direncanakan LPDS ini juga menghadirkan pembicara Budiman Tanuredjo (Redaktur harian Kompas) dan Marthen Selamet Susanto (Pemimpin Redaksi harian Koran Jakarta) sebagai moderator.
Budiman menilai ada kecenderungan wartawan sekadar memuat apa yang disampaikan narasumber. Akibatnya kebenaran yang didapat hanya berupa kebenaran formal. Jarang yang memiliki kemauan untuk menindaklanjuti menjadi kebenaran materiil.
“Kebenaran formal adalah ciri dari jurnalisme yang instan,” kata Tanuredjo.
Menurutnya kecakapan intelektual perlu dimiliki wartawan agar mampu memahami sebuah informasi berisi omong kosong atau ada nilai kebenarannya. Sehingga wartawan tidak hanya akan menjadi pencatat pernyataan sumber informasi dan menerimanya mentah-mentah.
Lebih khusus, Tanuredjo mengungkapkan temuan Kompas yang menunjukkan saat ini wartawan muda cenderung suka melakukan plagiat dan kloning berita serta mudah berpuas diri. Penyebabnya, antara lain, ada tuntutan untuk mampu memenuhi target jumlah dan kecepatan berita yang dibuat. (red)
Published in