Jurus Para “Pendekar” Kanvas Tetap Eksis

Di tengah hiruk-pikuk metropolitan Jakarta, tepat di seberang gedung kesenian, masih ada jejak seni yang hidup melalui sapuan kuas para pelukis. Di sana, kita dapat menemukan karya-karya diciptakan oleh tangan-tangan terampil.

Kios-kios para pegiat seni lukis yang berada di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024) / Foto:Nur’Aina Aziza Gustina

Tiga pelukis yang telah lama berkarya di lokasi tersebut, Wito, Yayat, dan Han, mengisahkan bagaimana mereka menjaga seni tetap hidup di tengah perubahan zaman dan minat masyarakat yang semakin bergeser.

Fleksibilitas dalam Berkarya

Wito, salah satu pelukis yang sudah mulai berkarya sejak tahun 1990 di sana, memahami bertahan di dunia seni bukan hanya soal keterampilan, tetapi juga kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.

Di tengah ketidakpastian ekonomi, Wito menekankan pentingnya fleksibilitas, Ia sadar bahwa menjadi pelukis bukanlah profesi yang selalu stabil.

Wito, berdiri di depan galerinya dengan latar belakang sejumlah lukisan karikatur tokoh politik di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024) / Foto:Nur’Aina Aziza Gustina

“Kalau kita terlalu kaku bertahan dengan harga, sementara kebutuhan menunggu, ya kita fleksibel,” ujarnya sambil tersenyum.

Tidak hanya fleksibel, Wito juga memiliki cara lain untuk bertahan dengan terus berinovasi dan membangun jaringan. Sebagai pelukis yang aktif di berbagai komunitas seni, ia memahami sebagai seorang seniman juga harus peka terhadap tren.

“Selalu saya update, sesuaikan dengan kondisi sekarang, lagi trennya apa, ramainya apa,” ungkapnya.

Salah satu langkah yang diambil Wito untuk menyesuaikan diri dengan tren ialah membuat lukisan karikatur para peserta Pilkada saat pemilu berlangsung. Dengan begitu, ia merasa tetap relevan dan karyanya mampu menarik perhatian publik.

Selain inovasi, membangun hubungan jangka panjang dengan pelanggan menjadi senjata rahasia Wito untuk terus bertahan.

Ia bercerita tentang beberapa pelanggannya yang sudah menjadi langganan setia selama bertahun-tahun. “Alhamdulillah, ada langganan saya yang udah 10 tahun, ada yang 5 tahun, ada yang bergeser karena udah pada pensiun.” katanya penuh rasa syukur.

Seni memang bukan hanya sekedar soal keterampilan teknis, tetapi juga soal jejaring dan komunitas. Bagi Wito, bergaul dengan sesama seniman di berbagai komunitas dan organisasi seni seperti Peruja (Perupa Jayakarta) dan KSBN (Komite Seni dan Budaya). Hal tersebut menjadi bagian penting dalam perjalanannya sebagai pelukis.

“Kalau kita rajin bersosialisasi, bergaul di komunitas, kita bisa saling sharing, tukar pengalaman,” sarannya.

Menurutnya, komunitas seni adalah tempat untuk saling belajar dan berkembang bersama.

Peminat Seni yang Berubah

Yayat, seorang pelukis yang telah menekuni seni lukis selama lebih dari tiga dekade, merasakan dampak perubahan zaman terhadap minat masyarakat pada seni.

Yayat, duduk di galerinya dengan tanda menyediakan jasa tulisan indah dan latar belakang sejumlah lukisan karikatur selebriti serta aliran lukisan lainnya di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024) / Foto:Nur’Aina Aziza Gustina

Ia mengenang masa-masa ketika seni masih menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. “Orang-orang dulu masih suka seni, kalau orang-orang sekarang nggak suka seni, sukanya praktis,” katanya dengan nada sedikit sedih.

Yayat bercerita, dulu kartu bergambar hasil lukisannya sering dijadikan hadiah romantis oleh pasangan yang sedang jatuh cinta. Kartu itu dihias dengan kata-kata indah, ditulis tangan dengan penuh perasaan. Namun, seiring berjalannya waktu, kebiasaan ini mulai ditinggalkan. “Sekarang udah nggak ada peminatnya lagi,” tambahnya.

Sementara itu, Chief Hanata Praja yang akrab disapa Han, pelukis lainnya yang mulai berkarya sejak 2010, juga merasakan langsung, kini seni tidak hanya diwarnai oleh karya-karya tangan, tetapi juga oleh karya digital maupun kecerdasan buatan. “Sekarang kan banyak digital dari segi tampilannya juga berbeda,” ungkapnya.

Chief Hanata Praja atau Han, duduk di galerinya dengan lukisannya setengah jadi serta latar belakang sejumlah lukisan karikatur tokoh politik maupun selebriti di kawasan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (7/11/2024) / Foto:Nur’Aina Aziza Gustina

Meskipun karya digital semakin mendominasi, Han merasa lukisan tangan masih memiliki nilai artistik yang lebih tinggi dan emosi yang lebih mendalam.

“Sebenarnya, kalau kita bahas seni itu kan bukan hanya artistiknya aja ya. Kita ada filosofinya ada pesan-pesan yang ingin disampaikan,” tambahnya.

Baginya, sebuah lukisan tangan menyimpan filosofi dan pesan mendalam yang dapat dirasakan oleh penikmatnya

Han mengungkapkan, pesanan lukisan saat ini tidak seramai dulu. “Kalau dulu memang orderannya masih agak banyak,” ucapnya.

Meski demikian, Han tidak menyerah. Baginya, tantangan terbesar bagi seniman Indonesia adalah bagaimana tetap eksis dan mempertahankan seni sebagai bagian dari budaya bangsa.

“Tapi itulah tantangan-tantangan bagi seniman-seniman di Indonesia. Ini bagaimana caranya kita bisa tetap eksis untuk mempertahankan budaya. Karena kan seni kan budaya,” jelasnya.

Di tengah arus zaman yang terus berubah, Han berusaha meyakinkan masyarakat bahwa seni lukis tangan masih memiliki nilai budaya dan keindahan yang patut dihargai.

Harapan kepada Pemerintah

Di tengah tantangan yang mereka hadapi, ketiga pelukis ini memiliki harapan besar terhadap pemerintah. Mereka berharap agar pemerintah memberikan dukungan yang lebih nyata bagi para seniman.

Yayat merasa bahwa seni budaya kini kurang dihargai, berbeda dengan masa-masa ketika seni masih menjadi bagian dari kehidupan masyarakat.

“Seni budayanya nggak dijaga. Dulu masih ada baliho pinggir jalan, lukisan asli. Sekarang spanduk berjejer kayak sampah,” katanya dengan nada kecewa.

Sementara itu, Han mengusulkan agar pemerintah menyediakan fasilitas pameran gratis bagi para seniman.

Menurutnya, dengan adanya fasilitas ini, seniman dapat lebih mudah mengekspresikan ide-ide kreatif mereka kepada masyarakat.

“Jadi mereka dapat meluapkan karya-karyanya, ide-ide gagasannya terhadap bangsa dan negara,” ujarnya penuh harap.

Bagi Wito, kebijakan baru yang memisahkan Kementerian Kebudayaan dari Kementerian Pendidikan memberi angin segar bagi dunia seni. “Harapannya ke depan pemerintah benar-benar bukan sekedar wacana, tapi benar-benar hadir, menyentuh kami, para pekerja seni, mau di level paling bawah, menengah, sampai level atas,” tutupnya dengan penuh harapan. (Nur ‘Aina Aziza Gustina/magang PNJ).

 

Published in Berita LPDS