Jakarta (ANTARA News) – “Saya bangga bisa menjadi wartawan kompeten. Namun, saya akan lebih bangga kalau bos dan perusahaan bisa menghargai wartawannya yang kompeten,” catat Hans, wartawan di salah satu media cetak Papua.
Hans mengungkapkan hal itu selepas mengetahui dirinya dinyatakan kompeten saat mengikuti uji kompetensi wartawan berdasarkan aturan Dewan Pers nomor 1/Peraturan-DP/II/2010. Ia tentu saja berbangga hati dan diri lantaran kompetensinya bisa menyamai wartawan muda di media manapun di Indonesia.
Namun, sarjana ilmu ekonomi tersebut tak mampu menyembunyikan kegalauannya. “Pemimpin redaksi hanya memberikan rekomendasi saya ikut ujian ini. Tapi, dia kan tidak tahu susahnya ikut ujian. Mudah-mudahan kesejahteraan saya bisa lebih baik setelah ini,” ujarnya.
Bisa jadi Hans tidak sendirian. Masih banyak wartawan yang kompeten setelah mengikuti uji kompetensi wartawan tetap galau, “apakah gaji dan kesejahteraan lain semakin diperhatikan perusaan persnya?” Kegalauan yang timbul karena belum terlibatnya perusahaan pers mereka mengadakan uji kompetensi secara mandiri, atau melibatkan lembaga uji yang sudah diverifikasi Dewan Pers melakukan kegiatan di medianya.
Kegalauan itu menjadi satu di antara pekerjaan rumah di ranah jurnalisme negeri ini. Isu aktual yang bisa terselip di tengah hiruk pikuk Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari, dan tahun ini acara puncaknya berlangsung di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
HPN berdasarkan Keputusan Presiden nomor 5 tanggal 23 Januari 1985 yang ditandatangani Presiden Soeharto. HPN mengambil momentum bertemunya perwakilan wartawan se-Nusantara untuk mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Solo, 9 Februari 1946.
Berkaitan perusahaan pers dan kompetensi wartawan, Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) –yang didirikan Dewan Pers pada 23 Juli 1988, dan hingga akhir November 2015 memiliki 14.125 orang alumni—- mencatat bahwa berdasarkan kuesioner kegiatan pendidikan dan pelatihan jurnalistik di seluruh ibukota provinsi Indonesia selama tujuh tahun terakhir ini, maka perusahaan pers nasional secara umum dapat dibagi atas tiga posisi besar.
Perusahaan pers posisi pertama ikut menentukan pendapat publik (public opinion), yakni perusahaan pers yang manajemen telah menerapkan sistem multimedia dari sisi teknologi, multitasking dari sisi kinerja wartawan, multiplatform dari alur kerja semua unit pemberitaan, dan multichannel dari sisi produk mandiri maupun kelompok media massanya.
Bahkan, perusahaan pers di posisi pertama itu mampu menjadi penentu pasar (market driven) dalam perolehan iklan dan penetrasi pelanggan (pembaca, pendengar, pemirsa, dan pengakses). Manajemen pers di kelompok ini juga menempatkan sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan menjadi hal utama baik, bagi wartawan maupun karyawan lainnya.
Di posisi kedua adalah perusahaan pers yang lebih banyak mengikuti selera dan pendapat publik. Yakni, perusahaan pers yang manajemennya masih menerapkan sistem alur pemberitaan hanya mengikuti keinginan masyarakat dan kurang mengutamakan agenda peliputan atas inisiatif mandiri.
Manajemen perusahaan pers posisi kedua tersebut lebih mengutamakan berupaya keras mendapatkan iklan dan pembaca di tengah semakin kerasnya persaingan dan kebebasan publik menentukan seleranya. Namun, manajemen persnya kurang menempatkan sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan menjadi hal utama bagi wartawan dan karyawan lainnya.
Adapun perusahaan pers di posisi ketiga lebih sekadar menjaga eksistensi, yakni manajemennya mengutamakan mencari perhatian publik dan kesulitan mendapatkan iklan.
Kegiatan perusahaan pers di posisi ketiga itu agaknya lebih tepat disebut hanya mencoba bertahan hidup (survive). Bahkan, mereka hanya mencoba mencari peluang dengan mengatasnamakan kebebasan pers. Dalam kesehariannya, manajemen pers tersebut tidak menempatkan sistem rekrutmen, pendidikan dan pelatihan sebagai hal utama bagi wartawan dan karyawan lainnya.
Sementara itu, berkaitan dengan penerapan Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan Dewan Pers pada 2 Februari 2010, LPDS yang menjadi lembaga uji kompetensi wartawan pertama berdasarkan keputusan Dewan Pers pada 6 Mei 2011 menemukan tiga kecenderungan utama.
Kecenderungan pertama, banyak setelah mengikuti uji kompetensi wartawan berpredikat kompeteten yang bekerja di media belum sejahtera berdasarkan Standar Perusahaan Pers dari Dewan Pers.
Sebagai catatan, Dewan Pers dalam produknya Nomor 4/Peraturan- DP/III/2008 pada 25 April 2008 tentang Standar Perusahaan Pers, yang sudah disepakati konstituennya pada 6 Desember 2007, mencantumkan aturan, antara lain a.) Perusahaan pers wajib memberi upah kepada wartawan dan karyawannya sekurang-kurangnya sesuai dengan upah minimum provinsi minimal 13 kali setahun.
Kemudian, b.) Perusahaan pers memberi kesejahteraan lain kepada wartawan dan karyawannya, seperti peningkatan gaji, bonus, asuransi, bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih, yang diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama.
Selain itu, c.) Perusahaan pers wajib memberikan perlindungan hukum kepada wartawan dan karyawannya yang sedang menjalankan tugas perusahaan. Standar Perusahaan Pers di bagian terakhir (poin ke sembilan) mencantumkan “Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar Kode Etik Jurnalistik dan atau hukum yang berlaku”.
Kecenderungan kedua adalah masih ada wartawan yang bekerja di perusahaan pers sejahtera sesuai Standar Perusahaan Pers, ternyata belum kompeten saat menjalani uji kompetensi wartawan.
Jenjang wartawan yang belum kompeten itu meliputi wartawan muda yang kesehariannya menjalankan liputan pemberitaan, dan wartawan madya yang kesehariannya mulai melakukan koordinasi mengatur liputan wartawan maupun proses penyuntingan (editing) berita, serta wartawan utama yang kesehariannya sebagai pemegang kebijakan utama dalam proses pemberitaan.
Dalam kecenderungan ketiga, semakin banyak wartawan kompeten yang bekerja di perusahaan pers sejahtera sesuai Standar Dewan Pers. Hal inilah yang tentu saja diharapkan dapat mengutamakan kepentingan publik, karena publik yang cerdas memerlukan multimedia massa yang cerdas yang juga diawaki para wartawan cerdas.
Hanya saja, masih banyak wartawan kompeten setelah mengikuti uji kompetensi belum sepenuhnya lega lantaran khawatir perusahaan pers tempatnya kurang, atau bahkan sama sekali tidak, memberikan penghargaan tingkat kesejahteraaan yang memadai. Biasanya, wartawan kelompok ini bekerja di perusahaan pers yang belum menjadi lembaga penguji kompetensi, sehingga “dititipkan” ujian ke pihak lain yang sudah mendapat izin Dewan Pers.
Pendiri dan pimpinan Riau Pos Group (RPG) dan salah seorang pimpinan Jawa Pos National Network (JPNN), Rida K Liamsi, berpendapat bahwa kompetensi wartawan harus menjadi tanggung jawab penuh perusahaan pers tempatnya bekerja, yang notabene memberinya kesejahteraan finansial dan fasilitas lainnya.
“Kompetensi bagi wartawan lebih bermakna saat menjalani hidup di tengah masyarakat dan bekerja di perusahaan pers. Ini tuntutan profesi. Kehidupan sehari-hari adalah perguruan tinggi terbaik, termasuk bagi wartawan,” katanya saat membuka uji kompetensi wartawan Riau Pos Group di Pekanbaru, Selasa, 14 Desember 2015.
Ia menimpali, “Namun, perusahaan pers tidak boleh lepas tangan menjaga ranah jurnalisme berkembang untuk kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara lebih baik.”
Pria kelahiran Dabosingkep, Kepulauan Riau, 17 Juli 1943, itu pun memberikan contoh nyata. Di halaman Graha Pena Riau Pos ia menyediakan tempat khusus bernama Taman Madah Poedjangga.
Setiap akhir pekan sejak diresmikan pada 17 Oktober 2015 seluruh pimpinan, wartawan, karyawan dan anggota keluarga RPG dapat menuangkan bakat seni sastra bertukar syair. Mereka juga berinteraksi dengan masyarakat pelaku, peminat maupun penikmat ribuan kata (madah) para penyair (pujangga).
Rida –yang pernah menjadi guru, anak buah kapal (ABK), wartawan Tempo dan Jawa Pos– berkeinginan wartawan dan keluarga besar RPG dekat dan menjadi pewaris budaya sastra Melayu.
Sekali setahun ia rutin memberikan Anugerah Sagang bagi sosok yang secara nyata peduli dinamika budaya Melayu. Sagang adalah sebutan untuk kayu kecil penyangga bubungan (wuwungan) atap sebagai penyeimbang rumah, terutama nelayan, di Kepulauan Riau.
Semua media di bawah RPG, yang jumlahnya mencapai puluhan dan terus berkembang, diarahkan pria bernama lahir Ismail Kadir itu membuat rubrik (media cetak), program (radio dan televisi) dan kanal (media siber) sastra maupun hal lain sesuai ciri khas kebudayaan masyarakatnya.
Namun, tidak semua perusahaan pers memiliki “kemewahan” yang sama layaknya Riau Pos Group.
Dewan Pers hingga akhir 2015 mencatat dari 19 perusahaan pers yang diberi wewenang menjadi lembaga uji kompetensi wartawan, ternyata tidak lebih dari separuhnya yang rutin mengadakan ujian bagi wartawannya, dan menjadikan sebagai sistem penilaian internal. Lebih banyak yang “menitipkan” diuji ke tempat dan pihak lain.
“Kehidupan pers adalah kehidupan dari masyarakat, bangsa dan negaranya. Ini profesi panggilan dan tidak boleh dikerjakan secara main-main. Di zaman serba digital masyarakat semakin memerlukan pers bisa menjadi penyeimbang. Menjadi sagang agar kebudayaan kita sebagai suku bangsa dan anak bangsa Indonesia tidak larut ditelan zaman,” demikian Rida K Liamsi.
Editor: Unggul Tri Ratomo
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Published in