Makassar (formatnews.com) – Media massa Indonesia masih sering melakukan pelanggaran kode etik jurnalistik (KEJ) dengan tidak melindungi hak-hak pribadi anak dalam pemberitaannya, akibat kurangnya profesionalitas wartawan.
Pada Pasal 5 KEJ disebutkan bahwa Wartawan Indonesia tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Namun masih banyak media cetak dan hampir semua stasiun televisi melanggar pasal ini, kata Anggota Dewan Pers, Abdullah Alamudi di depan 50 jurnalis peserta lokakarya kode etik jurnalistik yang diselenggarakan Dewan Pers dan Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Makassar, Senin.
Menurutnya, akibat tidak profesionalnya media, kebanyakan media salah kaprah dalam memahami pemberitaan anak sehingga sebenarnya bertujuan baik, namun tetap dianggap melanggar etika.
Salah satu contoh pelanggaran tersebut, kata Abdullah, sebuah pemberitaan dalam rangka memperingati hari anak Indonesia di sebuah stasiun televisi. Siaran itu menampilkan tahanan anak di Lapas Tangerang yang sedang bernyanyi dan bermain gitar namun wajah mereka tidak disamarkan.
Ia menjelaskan, banyak perbedaan gaya antara media Indonesia dengan media negara lainnya ketika memberitakan tentang anak yang berbuat kejahatan.
Perbedaan tersebut yakni, media luar negeri tidak menyebut nama ataupun inisial anak subyek berita apalagi menampilkan foto mereka, tidak menyebut nama pelaku yang memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan anak sebagai korban. dan tidak menampakkan wajah anak korban razia polisi di tempat prostitusi.
“Perbedaan keempat, media luar tidak menyebut nama sekolah anak di bawah umur yang terlibat prostitusi. Ini yang banyak dilanggar media-media kita. Penyebutan sekolah akan membuat opini pemirsa menggeneralisir semua pelajar di sekolah tersebut terlibat kriminal,” ujarnya.
Jika terus melanggar kode etik dan tidak profesional, kata dia, media tidak akan mendapat kepercayaan publik bahkan justru akan berakhir dengan maraknya sengketa pers.
“Masyarakat kita sudah semakin cerdas. Mereka akan tahu tayangan atau berita mana yang layak siar. Mereka akan tahu hak-hak mereka, sehingga kalau media tak berhati-hati, bisa-bsa mendapat somasi,” katanya.
Ia menjelaskan, dalam sembilan tahun terakhir, Dewan Pers menyelesaikan sekitar 2000 sengketa pers. Pada 2008, Dewan Pers menerima 424 aduan, terdiri dari 75 pengaduan langsung, 258 pengaduan tembusan atau yang ditindaklanjuti oleh Dewan Pers dan 91 bentuk aduan lainnya.
Jika dirata-ratakan, maka aduan yang masuk sebanyak 35 setiap bulan, atau meningkat 15 aduan dari rata-rata aduan perbulan pada tahun 2007. Pada Januari-Maret 2009 sendiri, aduan yang masuk sudah mencapai 147.
Untuk itu, lanjut Abdullah, media harus memperhatikan aspek etika, sebab pelanggaran etika oleh sejumlah wartawan sudah merisaukan masyarakat dan mereka akan menilai kemerdekaan pers sudah kebablasan. *ant/bm*
Sumber: www.formatnews.com / Selasa, 4 Agustus 2009
http://74.125.153.132/search?q=cache:meq6T-YXRqQJ:formatnews.com/%3Fact%3Dview%26newsid%3D27562%26cat%3D84+makassar+lpds+dewan+pers+lokakarya+agustus+2009&cd=3&hl=id&ct=clnk&gl=id
Published in