Tetap Bersuara Saat Tenang

(Sumber: majalah Tempo)

Larangan pemberitaan tentang peserta pemilu pada masa tenang tak dicabut. Tapi kompromi dicapai: boleh diberitakan asal tidak partisan.

Diskusi di Ruang Nusa Indah, Hotel Millennium, Jakarta, Kamis siang pekan lalu berjalan alot. Perwakilan Badan Pengawas Pemilu, Komisi Penyiaran Indonesia, dan Dewan Pers berdebat mencari solusi agar media tetap dapat menulis dan menyiarkan berita tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilihan umum dalam masa tenang pada 6-8 April 2009.

Hal itu menjadi perhatian karena ada rambu Pasal 89 (5) Undang-Undang 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bunyinya: “Media massa cetak dan lembaga penyiaran selama masa tenang dilarang menyiarkan berita, iklan, rekam jejak peserta pemilu, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan kampanye yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu.”

Menurut anggota Panitia Khusus Undang-Undang Pemilu Agus Purnomo, yang dikhawatirkan dan sekaligus melandasi kelahiran pasal tersebut adalah pemberitaan seputar rekam jejak partai dan hasil survei prediksi capaian hasil pemilu. “Itu dapat mempengaruhi preferensi pilihan,” kata Agus. Dan itulah yang terjadi pada Pemilu 2004. Untuk itulah, mereka memasukkan sanksi pidana bagi pemberitaan partai-partai di minggu tenang.

Aturan ini tentu mengancam kebebasan pers dan menghalangi fungsi pers sebagai pengawas. Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara mencontohkan, berita yang mengungkap pelanggaran suatu partai yang justru kerap terjadi pada hari tenang tentu bisa dianggap merugikan partai bersangkutan. Padahal informasi tersebut penting buat publik. “Apalagi pengawasan harus jalan terus,” kata anggota Badan Pengawas, Wahidah Suaib Wittoeng.

Sebelumnya, aturan yang mengekang kebebasan pers malah lebih keras. Sanksi pidana dimasukkan di sana. Maka, eksistensi aturan yang membe�rangus itu pun “digoyang”. Februari lalu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan delapan pemimpin redaksi media cetak untuk mencabut pasal sanksi. Sebulan kemudian permohonan Asosiasi Riset Opini Publik Indonesia untuk mempublikasikan hasil survei juga dikabulkan.

Jadi, yang tinggal adalah pasal larangan pemberitaan partai di minggu tenang. Sejauh ini rencana Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengajukan judicial review atas pasal itu masih dalam kajian. “Dimatangkan dulu,” kata staf litigasi LBH Pers, Andri Oktriana.

Sementara pasal itu masih berlaku, Agus Purnomo mengimbau agar kalangan media tidak merasa terlalu terbatasi. “Toh, tidak ada sanksinya,” kata dia. Peluang pelanggaran oleh media juga kecil, mengingat kegiatan kampanye partai politik berhenti selama masa tenang.

Imbauan Agus tersebut sejalan dengan hasil diskusi di Hotel Millennium. Komisi Penyiaran, Badan Pengawas, dan Dewan Pers akhirnya menyepa�kati,� kebebasan pers dalam menjalankan pengawasan tetap menjadi priori�tas. Media cetak dan lembaga penyiaran tetap memberitakan peristiwa seputar pemilu, rekam jajak peserta pemilu, pada masa tenang.

Tapi ada rambu-rambunya. Pemberitaan tidak boleh mengarah pada kepentingan kampanye peserta pemilu tertentu. Selain itu juga harus berorientasi untuk kepentingan publik dan tidak melanggar kode etik jurnalistik. Bila dilanggar, pertimbangan pemberian sanksi diserahkan ke Komisi Penyiaran dan Dewan Pers.

Kesepakatan itu menguatkan sikap yang sudah diambil sejumlah pengelola stasiun televisi. Trans TV, misalnya, tak akan ragu-ragu menyiarkan berita partai politik meski pada masa te�nang. “Kuncinya ada nilai berita,” kata Pemimpin Redaksi TransTV Gatot Triyanto. Tapi informasi yang bersifat mempromosikan suatu partai tak akan disiarkan. Menurut Head of Corporate Affairs Department Surya Citra Televisi, Budi Darmawan, suatu peristiwa menarik yang melibatkan tokoh partai politik tentu sulit dihindari untuk tidak diliput.

Memang, jika pada masa tenang dilarang meliput berita tentang peserta pemilu, itu sama dengan merampas hak publik untuk mendapatkan informasi. Pelarangan itu juga bisa memblokade dokumentasi fakta tentang peserta pemilu pada masa tenang. (Harun Mahbub)

Sumber: majalah Tempo edisi 6-12 April 2009

 

Published in Berita LPDS