Jakarta (Berita LPDS) – Wartawan senior Aristides Katoppo mengatakan, budaya terbangun dari asa yang panjang dan historikal. Bagi Indonesia, globalisasi sebenarnya tidak hanya terjadi saat ini tetapi juga di masa lalu yang menempa bangsa Indonesia pada satu sikap atau nilai budaya. Telah lama ada budaya toleransi yang berarti respek terhadap perbedaan, sikap budaya “tukar pikiran” dan lainnya yang merujuk pada kearifan.
Sepuluh tahun lalu Indonesia diprediksi akan bubar karena krisis ekonomi dan politik seperti yang terjadi dengan Uni Soviet. Menurut Aristides, Indonesia tidak akan bubar. Sebab, semangat persatuan telah tumbuh sejak Sumpah Pemuda 1928. Saat itu negara Indonesia belum terbentuk dan bahasa Indonesia belum menjadi bahasa ibu bagi mayoritas masyarakat. Namun, ada tekat yang kuat untuk mewujudkan persatuan.
“Kata persatuan bukan berarti keseragaman. Saya kira ini semangat indonesia yang sangat penting. Dan kita telah membuktikan, seperti bahasa Indonesia yang telah menjadi kenyataan nasional yang kita capai. Dan di sini pers sangat berperan,” kata Aristides saat menjadi narasumber Diskusi Serial Bulanan Semangat Indonesia yang digelar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) bersama Djarum Bakti Budaya dan Metro TV di Museum Nasional, Jakarta, Jumat (17|12).
Diskusi bertema “Peran Media untuk Budaya Menuju 2020” ini juga menghadirkan pembicara Budiman Tanuredjo (Redaktur Pelaksana harian Kompas) dan Desi Anwar (wartawan senior Metro TV).
Aristides bercerita, seorang profesor di Jepang mengatakan, keluarbiasaan Indonesia adalah bisa mempersatukan sesuatu yang seolah-oleh bertolak belakang atau dikotomi. Ditambah lagi budaya Indonesia bukan hasil dari sintesa atau sinkretik (campuran). Kata kuncinya, bangsa Indonesia mahir dan mampu melakukan sinergi atas berbagai perbedaan namun masing-masing tetap memiliki karakternya sendiri. “Ada hasrat bersama sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih,” kata Komisaris Utama harian Sinar Harapan ini.
Menurutnya, teknologi merupakan bentuk budaya, sedangkan sikap terhadap teknologi menjadi aspek budaya. Teknologi mempermudah semua pihak mengakses informasi dan menciptakan pemerataan pengetahuan. Tetapi, bagi wartawan, pengetahuan saja tidak cukup karena yang sangat penting adalah beretika. Tantangan bagi wartawan untuk sukses di era teknologi adalah “tidak hanya menulis berita tetapi beritanya harus sesuai konteks,” tegasnya.
Desi Anwar berpendapat, budaya di tahun 2020 harus dilihat dalam kontenks budaya global atau internasional. Sebab, dengan penggunaan media sosial seperti twitter dan facebook, anak-anak Indonesia sekarang akan tumbuh hampir sama dengan anak-anak di negara lain yang menggunakan media yang sama.
Ia melanjutkan, bentuk media di tahun 2020 harus dilihat dari perkembangan teknologi. Peran media tetap untuk membantu masyarakat agar memiliki informasi dan pengetahuan. Dengan informasi dan pengetahuan tersebut keputusan yang diambil masyarakat akan bagus kualitasnya.
Pengaruh teknologi, menurut Desi, tidak perlu disesali karena menjadi kenyataan hidup di era teknologi. Teknologi telah menghadirkan budaya yang berbeda. “Kita harus ciptakan budaya yang mendorong sukses,” katanya.*
Published in