Peliputan Pers dan Keselamatan Wartawan

Jakarta (ANTARA News) – Nasib malang yang dialami seorang bernama Ridwan Salamun. Ia mengakhiri karirnya sebagai wartawan karena tewas ketika meliput bentrok antar-warga Bandaeli dan Tigitan, di Tual, Maluku Tenggara, pada 16 Agustus 2010.

Peristiwa tersebut nampaknya dapat memperpanjang daftar korban tindak kekerasan dan kriminalisasi serta teror terhadap wartawan (di Indonesia), seperti yang pernah direkam oleh konsultan media Inggris Tessa Paper tahun 2009. Laporan Tessa Paper tentang catatan dan daftar korban tindak kekerasan, kriminalisasi dan teror terhadap wartawan Indonesia tahun 1996-2009 telah diterbitkan dan dirilis dengan judul “Jangan Tembak Sang Pembawa Berita”.

Sejarah Pers di Indonesia mencatat wartawan tewas akibat tindak kekerasan, seperti Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) dari harian Berita Nasional (Bernas) Yogyakarta (pemegang kartu anggota Wartawan Muda Persatuan Wartawan Indionesia/PWI Cabang Yogyakarta Nomor 13.00.2847.89.M.VI), A.A. Narendra Prabangsa yang wartawan Radar Bali.

Selain itu, kriminalisasi dialami Juhry Samananery (SCTV Ambon) yang dianiaya pegawai Pengadilan Negeri malahan ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Ambon. Teror pelemparan bom molotov terhadap media menimpa majalah berita mingguan Tempo pada awal Juli 2010 tatkala gencar mengangkat isu “rekening gendut” milik beberapa perwira tinggi Kepolisian Negara RI (Polri).

Dalam beberapa kali program lokarya Kode Etik Jurnalistik yang diselenggarakan oleh Dewan Pers bersama dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) dengan muatan substansi Peliputan Pers dan Perlindungan Hukum Bagi Wartawan di Yogyakarta awal Maret 2010, di Lampung akhir Mei 2010 serta di Serang, Banten akhir Juni 2010, termasuk program sosialisasi Standard Kompetensi Wartawan di Makasar, Sulsel Maret 2010, maka masalah tindak kekerasan, kriminalisasi dan teror terhadap wartawan menjadi bahan diskusi dan perdebatan yang menarik sekaligus menyita waktu relatif lama.

Di Yogyakarta terdapat korban wartawan tewas. Di Makasar dan Lampung wartawan jadi sasaran kiriminalisasi dan harus mendekam di penjara. Di Serang wartawan jadi korban tindak kekerasan dan teror premanisme.

Wartawan di Yogya, Lampung dan Serang meminta, agar Dewan Pers, LPDS dan organisasi wartawan, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) segera mengaktualkan kembali program penyusunan pedoman Peliputan Pers di daerah konflik, krisis dan perang termasuk pelatihan dan pengenalan medan tugas peliputan yang berbahaya dan dapat mengancam keselamatan jiwa wartawan.

Sejauh ini, LPDS dan organisasi pers nasional bersama Dewan Pers pernah menyosialisasikan buku panduan liputan konflik yang diterbitkan organisasi wartawan tanpa garis batas (Reporters Sans Frontrier/RSF) yang berkantor pusat di Paris, Prancis. RSF bersama organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB untuk urusan Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan (UNESCO) bahkan menerbitkannya menjadi buku panduan atau buku saku. Buku ini pernah diterbitkan pula dalam edisi Bahasa Indonesia.

Sementara itu, kronologis peristiwa yang disampaikan Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar (Kadiv Humas Mabes) Polri, Brigjen Pol. Iskandar Hasan, tentang bentrokan warga di Tual, Maluku Tenggara, dapat ditangkap informasi bahwa bentrokan antar-warga Bandaeli dan Tigitan telah menyebabkan adanya korban jiwa bernama Ridwan Salamun yang sedang menjalankan tugas meliput peristiwa bentrokan tersebut.

Atas dasar kejadian dan informasi tersebut di atas beberapa hal yang bisa dicatat. Pertama, tewasnya Ridwan Salamun, wartawan Ambon Ekspress yang juga kontributor SUN TV dan RCTI di Maluku Tenggara itu menjadi repetisi/perulangan munculnya bahaya yang tidak terhindarkan di mana wartawan menjadi korban tindak kekerasan dan kebrutalan yang berujung merenggut nyawanya.

Kedua, karena menyangkut jiwa seseorang yang berprofesi sebagai wartawan, maka kejadian di Tual Maluku Tenggara tersebut bukan hanya sekedar reduksi atau ancaman atau retaknya kemerdekaan pers (threat toward freedom of the press) saja, tetapi sudah mengarah pada penciptaan situasi di mana pers atau wartawan harus dibungkam untuk diam. Kalau pers/wartawan tidak dibungkam, maka pena dan kamera akan mengungkap fakta siapa-siapa yang menjadi aktor dan pemain suatu peristiwa bentrokan antar-warga.

Dalam skala yang lebih luas lagi, pena dan kamera milik pers/wartawan manakala menjadi liputan pers dan produk media dapat mengancam keselamatan dan kepentingan pemerintah, penguasa, pejabat, pemuka masyarakat, para penegak hukum dan pengusaha.

Situasi pers/wartawan yang bungkam atau tanpa liputan pers dan ekspose media merupakan suatu situasi yang sengaja diciptakan agar berbagai kepentingan pemerintah, penguasa, pejabat, pemuka masyarakat, para penegak hukum dan pengusaha bahkan pelaku kejahatan termasuk koruptor dan politisi busuk inilah yang oleh W. Lance Bennet tahun 1996 disebutnya situasi yang Freedom from the Press.

Ketiga, peningkatan ancaman terhadap keselamatan diri seorang wartawan dalam melaksanakan tugas profesi jurnalistiknya merupakan ekspresi dari adanya peningkatan atau terjadinya pergeseran peran dan fungsi pers dari era akademisi komunikasi Schramm dan Lippman dengan trifungsi media sebagai sumber informasi, sarana pendidikan dan hiburan, media massa meluas fungsinya seperti dikemukakan Majid Tehranian tahun 1999 di mana media dan wartawan menjadi “bidan sejarah”, “promotor dan agen pembangunan”,”musuh koruptor dan politisi busuk” dan dalam bahasa yang lebih vokabulatif media atau wartawan dapat berperan sebagai “pencari dan pembela kebenaran dan keadilan”.

Keempat, para wartawan atau insan pers yang masih gigih mencari informasi di lapangan dalam beberapa forum lokakarya, pelatihan dan diskusi memang merasakan adanya semacam ancaman terhadap keselamatan diri mereka ketika menjalankan tugas peliputan pers bukan hanya di daerah konnflik atau krisis tetapi juga dihadang teror dan aksi kriminalisasi.

Pada umumnya para wartawan, seperti yang terekam dalam Lokakarya LPDS dengan Dewan Pers di Yogya, Lampung dan Serang, mengharapkan perusahaan pers di mana ia bekerja dapat memberikan jaminan asuransi keselamatan bagi dirinya ketika menjalankan tugas peliputan. Mereka mengidamkan Piagam Palembang 9 Februari 2010, yang memaknai tanggung jawab perusahaan pers terhadap Standar Perusahaan Pers, Standar Perlindungan Profesi Wartawan, Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Standar Kompetensi Wartawan (SKW) yang sudah menjadi produk Dewan Pers benar-benar ditegakkan.

Kelima, meskipun Ridwan Salamun sudah melengkapi dirnya dengan identitas diri sebagai Pers/Wartawan ketika melakukan liputan bentrokan, di sisi massa penduduk Desa Tigitan tidak pernah berpikir dan tahu bahwa Ridwan Salamun adalah seorang wartawan yang mestinya tidak perlu dihabisi nyawanya dengan sabetan klewang. Artinya, ke masadepan, Dewan Pers, Perusahaan Pers dan Organisasi Pers secara terprogram harus konsisten memiliki program “melek media” atau “kesadaran media” (media literacy) dengan jangkauan sampai ke desa-desa.

Komunitas pers perlu membuat program “jurnalisme untuk semua” sebagai penguatan program melek media untuk mengurangi bahaya dan ancaman keselamatan diri wartawan. Hal ini ditegaskan pula dalam Deklarasi Brisbane yang diadakan UNESCO menyambut Hari Kemerdekaan Pers pada 3 Mei 2010, dan komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 2010 juga bakal mengadopsi sebagai salah satu langkah kerja nyatanya.

Komunitas pers, Dewan Pers, Perusahaan Pers dan Organisasi Wartawan secara terkoordinasi perlu memuat Pedoman dan Program Pengamanan Keselamatan diri bagi wartawan dalam melakukan tuigas peliputan pers yang merupakan perluasan dari progran perlindungan hukum bagi wartawan dengan melibatkan para wartawan yang memiliki pengalaman liputan di daerah konflik, krtisis dan perang.

Bisa dijajagi kerjasama dengan pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Darat (AD) karena semasa Jenderal Tyasno Sudarto menjadi Kepala Staf TNI AD (Kasad), dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI di bawah Mayjen Sudrajat bersama Waka Puspen TNI Brigjen Tono Suratman sempat menyiapkan program pelatihan dan orientasi lapangan untuk wartawan liputan daerah konflik, krisis dan perang.

Program pelatihan dasar kemiliteran bagi wartawan yang dilakukan Dinas Penerangan (Dispen) TNI Angkatan Udara (AU) beberapa waktu yang lalu mestinya dapat ditingkatkan menjadi program pelatihan wartawan meliput di kawasan konflik, krisis dan perang.

Memang kita tidak bisa mempertanyakan, siapa yang menjadi pihak yang harus dan paling bertanggunghawab terhadap tewasnya seorang Ridwan Salamun di Tual, Maluku Tenggara? Pihak Polri tidak bisa dipersalahkan. Rakyat yang mengamuk dan terlibat bentrokan fisik berada dalam tekanan situasi psikologi amuk massa yang tidak terkendali. Dalam situasi seperti ini maka rasio antisipasi di lapangan harus kembali kepada sikap dan antisipasi dari diri wartawan itu sendiri untuk menghindarkan diri dari ancaman bahaya.

Program Internasional Liputan Perang Iran-Irak tahun 1985 yang diikuti oleh wartawan dari 30 negara, misalnya, mengharuskan Unit Informasi, Dokumentasi dan Media Angkatan Bersenjata Irak (era Saddam Hussein) memberikan pembekalan dan latihan medan bagi para wartawan untuk tahu bagaimana menyelamatkan diri jika terjadi serangan militer dari pihak Iran.

Direktur Penerangan Luar Negeri di Kementerian Luar Negeri Afghanistan, Nabi Amoni, harus memaksa sekitar 20-an wartawan dari seluruh dunia yang diizinkan masuk kota Kabul setelah rudal ke 14 dari pejuang Mujahidin membombardir kota Kabul menjelang pasukan Soviet ditarik mundur menjelang akhir 1989 untuk mengikuti cara-cara berlindung saat terjadi serangan militer, pengenalan kawasan dan bangunan mana yang dianggap aman dari serangan senjata anti pemerintah.

Perwira Penerangan Infanteri Pasukan Inggris yang berkedudukan di Dhahran dan Nikosia mewajibkan semua wartawan yang terakreditasi untuk meliput Perang Teluk I 1991 untuk mengikuti “briefing kelas” guna memahami lokasi dan peta wilayah pertempuran dan sering diisi dengan program brain-wash (cuci otak) tentang arti dan tujuan Perang Teluk yang digelar Pasukan Sekutu di bawah komando AS.

Sudah saatnya Dewan Pers mengkoordinasikan organisasi profesi wartawan dan perusahaan pers segera membuat Program Perlindungan dan Pengamanan bagi wartawan yang melakukan peliputan di daerah konflik, krisis dan perang termasuk membuat Pedoman Peliputan Pers di kawasan konflik, krisis dan perang dengan melibatkan TNI dan Polri serta Palang Merah Indonesia (PMI).

Di negara manapun, wartawan merupakan profesi yang penuh tantangan dan cenderung mengabaikan keselamatan diri mereka, tidak bisa disebut sebagai warganegara istimewa tetapi merupakan profesi yang punya kualifikasi dan panggilan tugas yang luar biasa. Ketika warga atau penduduk meninggalkan daerah krisis, konflik atau perang maka wartawan justru mendatanngi daerah tersebut. Sebagai wartawan ia sadar bahwa dalam tugas peliputan jurnalistik tersebut jiwa dan keselamatan dirinya bisa saja terancam.

Bagaimanapun spektrum kasus dan delik pers serta ancaman kemerdekaan pers di Indonesia dengan beberapa negara lain di dunia tentu memiliki perbedaan nuansa, kepentingan nasional, kematangan pejabat dalam berdemokrasi serta kedewasaan bermedia masyarakat. Di Inggris misalnya orang sudah bicara soal moralitas kebebasan pers sebagai kekuatan media pada abad ke 16. Jim Allee Hart tahun 1970 sudah mencatat bahwa pengaruh kekuatan dan kebebasan pers khususnya di Amerika Serikat (AS) dirasakan baru pada abad ke 18 seperti diungkap “The Developing Editorial Syndrome, Views on the News 1500 – 1800”.

Tahun 1999 atau 10 tahun sebelum judul yang sama ditulis oleh Tessa Paper, Bruce W Sanford yang oleh American Journalism Review dikenal sebagai satu dari 50 orang pengacara terbaik di AS, dan selalu menjadi pengacara pembela wartawan tetap menulis bukunya “Don’t Shoot the Messenger” (Jangan Tembak Sang Pembawa Berita).

*) Petrus Suryadi Sutrisno (piets2suryadi@yahoo.com) adalah Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Informasi dan Konsultan Senior Komunikasi; serta staf pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta.

Sumber: http://www.antaranews.com/view/?i=1282702006&c=ART&s=TEL

Published in Kajian Media