Tanggapan atas Pedoman Pemberitaan Media Siber

Prita Mulyasari vs. Omni Internasional

Kasus konflik Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional di Serpong, Tangerang, gara-gara surat elektronik (e-mail) untuk beberapa temannya yang dianggap mencemarkan nama baik dan menghina rumah sakit tersebut, serta akibat hukum dari konflik ini, mencerminkan ketidakpahaman baik publik maupun para penegak hukum terhadap kebebasan berekspresi.

Surat Prita mengeluhkan perawatan tanpa informasi yang jelas di rumah sakit tersebut. Ia ditahan oleh polisi karena digugat secara perdata dan pidana oleh rumah sakit itu dengan tuduhan pencemaran nama baik dan penghinaan.

1) Pertama, konflik ini mencerminkan bahwa publik (dalam hal ini Omni Internasional) dan pejabat Negara (dalam hal ini penyusun Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang digunakan untuk menuntut Prita) tidak memahami makna kebebasan berekspresi—yang telah menjadi pemahaman pada masa sekarang.

 

Pasal undang-undang ini, yang digunakan untuk menuntut Prita dalam proses hukum, dapat mengenakan hukuman penjara maksimal 6 tahun dan atau denda satu miliar rupiah. Sedangkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda hampir 100 tahun yang silam, tetapi masih berlaku sampai sekarang, hanya mengenakan hukuman penjara bagi tuduhan yang sama selama maksimal 16 bulan untuk tulisan dan 9 bulan untuk lisan.

 

Malahan, Komite Hak-Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Human Rights Committee) memandang penggunaan undang-undang pidana dengan sanksi hukum badan atau penjara bagi gugatan defamation atau libel—seperti fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan—sebagai pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Pendapat ini dikemukakan pada 26 Oktober 2011—dalam sidang ke-103 lembaga PBB tersebut—untuk menanggapi perkara Alex Adonis, penyiar radio di Davao, Filipina, yang dijatuhi hukuman penjara selama lebih dari dua tahun dengan tuduhan menghina mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Prospero Nograles.

 

Adonis dituduh menghina atau mencemarkan nama baik (libel) karena dengan gaya yang didramatisi ia membacakan laporan satu surat kabar bahwa Nograles—yang waktu itu menjadi anggota Kongres—tampak berlari-lari dalam keadaan telanjang di suatu hotel setelah tertangkap basah oleh suami dari wanita yang dikabarkan bersama-sama menginap semalaman di hotel itu.

 

Kita juga pernah mempersoalkan pasal-pasal pidana seperti itu yang bertebaran dalam berbagai perundang-undangan kita. Sidang Mahkamah Konstitusi pada 23 Juli 2008 membahas permintaan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBHPers) untuk menguji konstitusionalitas pasal-pasal KUHP yang digunakan di Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta, dan di Pengadilan Negeri Depok. Ketentuan hukum itu adalah Pasal 310 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 311 Ayat (1), dan Pasal 316—yang di Timor Lorosa’e sudah tidak lagi bersifat tindak-pidana, serta Pasal 207.

 

Di Sleman, Risang Bima Wijaya, pemimpin umum harian Radar Jogja, dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan karena laporan-laporan di korannya dituduh mencemarkan nama baik Soemadi Martono Wonohito, pemimpin umum harian Kedaulatan Rakyat di Yogyakarta. Baik putusan banding Pengadilan Tinggi Yogyakarta maupun putusan kasasi Mahkamah Agung hanya mengoreksi kurun waktu hukuman penjara bagi Risang, dengan menguranginya menjadi enam bulan.

 

Sedangkan di Depok, kolumnis Bersihar Lubis dijatuhi hukuman penjara satu bulan dalam masa percobaan tiga bulan. Ia dituduh menghina kejaksaan sebagai penguasa hukum dalam tulisan opini berjudul “Kisah Interogator yang Dungu” yang dimuat di harian Koran Tempo di Jakarta.

 

Mahkamah Konstitusi dalam simpulan putusannya pada 15 Agustus 2008 berpendapat bahwa perlindungan bagi mereka yang terkena tindakan seperti pencemaran nama baik, penistaan, fitnah, dan penghinaan adalah konstitusional, walaupun tidak dengan tegas menyatakan apakah perlindungan hukum itu perlu diberikan semata-mata oleh hukum pidana, ataukah perlindungan itu dapat diberikan oleh hukum perdata.

 

Sedikitnya ada kesan bahwa Mahkamah Konstitusi menghargai keluhan tentang berlebihannya penggunaan pasal-pasal hukum pidana terhadap kasus-kasus mengenai pencemaran nama baik, penistaan, fitnah, dan penghinaan. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi menamakan usulan LBHPers ini sebagai judicial complaint, bukan judicial review atau constitutional rerview. Artinya, dalam pemahaman saya, masih dapat diupayakan agar tuntutan dan putusan hukum menggunakan pasal-pasal hukum yang akibatnya tidak bercitra dan berdampak berlebihan—apakah itu pasal-pasal hukum perdata ataupun pasal-pasal hukum pidana.

 

Mahkamah Konstitusi menetapkan:[1] “Bahwa nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang adalah salah satu kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh UUD 1945 maupun hukum internasional, dan karenanya apabila hukum pidana memberikan ancaman sanksi pidana tertentu terhadap perbuatan yang menyerang nama baik, martabat, atau kehormatan seseorang, hal itu tidaklah bertentangan dengan UUD 1945.

 

“Bahwa permohonan para Pemohon sesungguhnya lebih merupakan permasalahan penerapan norma undang-undang, bukan konstitusionalitas norma undang-undang.”

 

Mahkamah mengatakan, “Pasal 28G Undang-Undang Dasar 1945 juga dengan tegas mengakui kehormatan, demikian pula martabat, sebagai hak konstitusional dan oleh karena itu dilindungi oleh konstitusi. Pasal 28G Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, ‘Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.’ Sementara pada ayat (2)-nya ditegaskan, ‘Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.’”

 

Mahkamah menjelaskan bahwa permintaan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal KUHP ini lebih merupakan constitutional complaint daripada judicial review atau constitutional review.

 

Mahkamah menolak dalil bahwa Pasal 310 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 311 Ayat (1) KUHP meniadakan atau menghilangkan hak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan hak untuk bebas berkomunikasi. Menurut Mahkamah, konstitusi menjamin hak-hak tersebut, dan karena itu negara wajib melindunginya. Namun, pada saat yang sama, negara pun wajib melindungi hak konstitusional lainnya yang sama derajatnya dengan hak-hak tadi, yaitu hak setiap orang atas kehormatan dan martabat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28G UUD 1945, demikian dikatakan oleh Mahkamah.

 

Mahkamah Konstitusi masih menyarankan upaya membedakan ketentuan hukum bagi pers dan “media massa pada umumnya” dari ketentuan hukum bagi warga negara pada umumnya. Padahal, ketentuan hukum yang berlaku bagi para praktisi yang ditopang oleh kebebasan pers lazimnya juga berlaku bagi masyarakat yang mempraktikkan kebebasan berekspresi serta kebebasan menyatakan pendapat, seperti dalam demonstrasi secara damai serta dalam seminar dan lokakarya terbuka. (Jadi, wartawan dan pers bukan warga kelas 1).

2) Kedua, sebaliknya, kasus ini juga mencerminkan bahwa pengguna media online atau siber, termasuk e-mail, tidak pula menyadari keterbatasan dalam kebebasan berekspresi, sebagaimana juga dialami dalam pelaksanaan kebebasan pers. Keterbatasan ini dapat diakibatkan baik oleh berlakunya etika sosial maupun oleh pasal-pasal hukum.

Dulu, ketika kita belum mengenal media siber atau cyber, surat-menyurat yang dikirimkan melalui jasa kantor pos dan kurir peredarannya sangat terbatas dan dapat diperkirakan hanya akan jatuh di tangan para penerima yang nama-namanya sudah dicantumkan pada surat itu. Sekarang, bila kita menggunakan media siber untuk surat-menyurat, privasi atau privacy seperti itu hampir tidak mungkin kita alami lagi. Seperti media pers, media siber juga bersifat terbuka.

Oleh karena itu, untuk kegiatan dengan menggunakan media siber diperlukan kode etik seperti yang berlaku dalam pekerjaan media pers yang memiliki kode etik jurnalistik atau etika pers. Itulah sebabnya, maka dua tahun yang lalu lahirlah “Deklarasi Brisbane”, berisi seruan yang lebih ditujukan kepada publik atau masyarakat umum daripada media pers. Dapat dikatakan bahwa deklarasi itu menganjurkan agar publik pengguna media siber juga memiliki panduan etika sebagaimana yang dimiliki para pengelola media pers.

Dengan demikian, “Pedoman Pemberitaan Media Siber” yang hari ini diresmikan penggunaannya—sebagai penjabaran lebih jauh dari Kode Etik Jurnalistik yang disepakati oleh 29 organisasi wartawan serta organisasi perusahaan pers dan dikukuhkan oleh Dewan Pers pada 14 Maret 2006—dapat dimanfaatkan pula oleh masyarakat luas.

“Deklarasi Brisbane”

Lahirnya “Deklarasi Brisbane” atas prakarsa UNESCO dalam pertemuan di ibu kota Negara Bagian Queensland, Australia, itu menampilkan pentingnya “melek media” (media literacy) di kalangan masyarakat luas agar dapat mengembangkan kebebasan bagi arus informasi.

Informasi dipandang demikian penting sehingga UNESCO dalam deklarasi itu menyarankan kepada negara-negara anggotanya di seluruh dunia agar di sekolah-sekolah diadakan mata ajaran ”yang memajukan melek media dan kesadaran tentang hak memperoleh informasi.” Untuk tujuan yang sama, UNESCO juga menganjurkan agar topik ini diberikan pula dalam pendidikan di perguruan tinggi dan dalam program pelatihan bagi para pegawai negeri.

Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa itu memuat seruan ini dalam “Deklarasi Brisbane” yang diumumkan pada Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei 2010. Peringatan Hari Pers itu dari tahun ke tahun diselenggarakan di kota-kota yang berbeda, dan untuk tahun 2010 dipusatkan di Brisbane. Informasi antara lain disalurkan melalui media pers cetak, media siaran radio dan televisi, dan media online atau siber. “Deklarasi Brisbane” mengingatkan pentingnya kepercayaan publik kepada jurnalisme dan independensi media pers. Yaitu, seperti dikatakan dalam deklarasi itu, ”jurnalisme yang transparan, kredibel, relevan, dan dapat dipertanggungjawabkan.”

Kelangsungan kepercayaan publik ini hanya dapat bertahan sepanjang para wartawan dan media pers dapat tetap mengembangkan standar jurnalistik profesional yang berpedoman pada kode etik jurnalistik.

Karya Jurnalistik Sesuai dengan Hukum

Bila memperhatikan vonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian dikukuhkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung, tentang gugatan mantan presiden Soeharto terhadap majalah Time edisi Asia, pihak penegak hukum membenarkan pentingnya kode etik jurnalistik sebagai pedoman dalam penyusunan karya jurnalistik. Ini adalah format karya jurnalistik yang sesuai dengan standar baku yang universal.

Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung itu menyatakan bahwa laporan majalah berita itu tentang kekayaan keluarga H.M. Soeharto “tidak melanggar prinsip kode etik pers sehingga tidak memenuhi unsur perbuatan melawan hukum.”

Karya jurnalistik yang digugat itu dimuat sebagai liputan utama (cover story) Time edisi Asia 24 Mei 1999, berjudul ”Soeharto Inc. – How Indonesia’s Longtime Boss Built a Family Fortune”. Proses hukum bagi gugatan terhadap majalah tersebut menelan waktu hampir 10 tahun dan berakhir dengan Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung pada 16 April 2009 yang memenangkan Time.

Putusan hukum ini, pada hemat saya, dapat menjadi rujukan bagi para penegak hukum dalam menghadapi kasus-kasus serupa pada masa depan. Sebaliknya, juga merupakan pelajaran penting bagi pers tentang karya jurnalistik seperti apa yang lebih dihargai oleh para penegak hukum.

Pertimbangan hukum yang membenarkan publikasi hasil peliputan Time mensyaratkan bahwa karya jurnalistik ini sejalan dengan kode etik jurnalistik, dengan meliput semua pihak yang dilibatkan dalam pemberitaan. Dengan demikian, laporan itu adil atau fair, dan akurasi berita ini dapat lebih mendekati kebenaran karena memuat informasi dari semua pihak yang terlibat. Dengan memuat klarifikasi subjek berita pada edisi yang sama dengan penampilan berita awal, bukan menyajikannya pada edisi berikut, publik lebih dapat memahami seluruh persoalan secara komprehensif, bukan sepotong-sepotong.

”Kebenaran berita pers” menurut pemahaman Mahkamah Agung dan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusan bagi perkara gugatan terhadap Time adalah:

• Bukan kebenaran absolut;

• Bukan pula kebenaran hukum;

• Melainkan kebenaran narasumber;

• Kebenaran elusive ”bagaikan belut” (kata-kata ”bagaikan belut” tidak dimuat dalam pertimbangan putusan bagi gugatan terhadap majalah Time edisi Asia, melainkan dalam putusan kasasi bagi gugatan seorang pengusaha Sumatera Utara terhadap harian Garuda di Medan beberapa tahun sebelum kasus Time. Garuda juga dimenangkan oleh Mahkamah Agung dari gugatan itu).**

Penulis: Atmakusumah Astraatmadja

Makalah ini disampaikan saat Pengesahan Pedoman Pemberitaan Media Siber di Jakarta, 3 Februari 2011.


[1] Uraian berikut, sampai akhir, dikutip dari situs www.mahkamahkonstitusi.go.id.

 


Published in Kajian Media