Membangun Pers Nasional yang Merdeka dan Bebas untuk Indonesia yang Maju, Mandiri dan Bermartabat

Oleh: Bacharuddin Jusuf Habibie

(Pidato Penerimaan Medali Emas Kemerdekaan Pers,
Hari Pers Nasional (HPN) 2013, Manado 8-9 Februari 2013)

Assalamualaikum wr wb.
Seraya memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, perkenankanlah saya menyampaikan Selamat atas Ulang Tahun Pers Nasional dan diselenggarakannya Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2013 di Manado, kota yang senantiasa menarik Bagi siapa pun karena keindahan alamnya dan keramahan penduduknya.

Dalam forum yang amat terhormat ini perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada seluruh insan pers Indonesia, yang dicerminkan dengan penganugerahan “Medali Emas Kemerdekaan Pers” kepada saya. Sungguh, suatu kehormatan bagi saya untuk menerima penghargaan tersebut pada Perayaan Hari Pers Nasional (HPN) tahun 2013 ini.

Tanpa mengurangi arti terima kasih dan kesyukuran tersebut, saya ingin menyampaikan bahwa bagi saya kebijakan yang saya lakukan pada tahun 1998 tersebut semata-‐mata didorong keyakinan saya bahwa hanya dengan kemerdekaan dan kebebasan pers sajalah kehidupan kenegaraan dan kebangsaan yang sehat dapat terjadi, sebagai prasyarat tercapainya tujuan nasional dan terciptanya peradaban Indonesia yang maju sejajar dengan bangsa–bangsa lain di dunia. Apa yang saya perbuat tersebut–-demikian juga apa yang dilakukan oleh para insan pers Indonesia dalam berbagai karya profesinya–-semata-mata didorong oleh semangat pengabdian kita kepada nusa dan bangsa, sebagai perwujudan dari amanah yang diberikan Tuhan, Allah SWT, kepada kita untuk mengelola bumi berupa tanah air tercinta Indonesia.

Pada Sambutan yang saya berikan pada Kongress XX Persatuan Wartawan Indonesia tanggal 10 Oktober 1998 di Semarang, 172 bulan yang lalu, saya garis bawahi bahwa dalam Era Reformasi kita ingin kembali kepada prinsip-prinsip dasar yang telah disepakati oleh para pendiri negara kita hampir 68 tahun yang lalu.

Salah satu perubahan besar yang tengah kita alami pada waktu itu ialah makin berkembangnya demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Kita sungguh-sungguh berkeinginan untuk menegakkan asas kedaulatan rakyat, sebagai salah satu pilar utama falsafah bernegara kita. Dianutnya asas kedaulatan rakyat itu, mengandung konsekuensi rakyat harus memiliki kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul serta menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tertulis.

Ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan jaminan terhadap kemerdekaan ini merupakan bukti babwa konstitusi kita menjunjung tinggi hak asasi manusia, hak asasi di bidang sosial dan politik. Kita bertekad untuk membuka seluas-luasnya koridor kemerdekaan untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan pikiran. Pada waktu itu, 15 tahun yang lalu, kita ingin mengakhiri kebijakan lama yang mengharusan membentuk satu wadah saja sebagai organisasi tempat berhimpun kalangan profesi tertentu. Salah satu prinsip dasar itu, sebagaimana termaktub di dalam Pembukaan UUD’45, ialah pengakuan bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa. Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Atas dasar prinsip tadi, kita berjuang menegakkan makna kemerdekaan dalam arti yang seluas-luasnya, termasuk kemerdekaan di bidang pers. Kita berkeyakinan, pengekangan terhadap kemerdekaan pers tidak sejalan dengan prinsip perikemanusiaan dan perikeadilan. Kemerdekaan pers adalah bagian dari upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yang menjadi salah satu tujuan pembentukan negara kita.

Sebagai manifestasi dari pengakuan atas prinsip kemerdekaan di atas, ketentuan Pasal 28 UUD’45 dengan tegas mengakui adanya kemerdekaan menyatakan pikiran, baik secara lisan maupun tulisan. Ketentuan selanjutnya mengenai kemerdekaan itu akan diatur dengan undang-undang. Namun dalam praktik pada era kekuasaan pemerintahan yang pernah kita alami, berbagai peraturan pelaksana terhadap ketentuan Pasal 28 UUD’45 itu dirasakan mengandung segi-segi pembatasan yang bertujuan untuk mengendalikan kemerdekaan pers.

Oleh sebab itulah Kabinet Reformasi Pembangunan pada waktu itu mulai melakukan pembaharuan, antara lain dengan mengeluarkan ketentuan-ketentuan baru yang menghapus pembatalan SIUPP serta menyederhanakan prosedur untuk memperoleh SIUPP yang baru. Pemerintah waktu itu mempersiapkan penyusunan Rancangan Undang-Undang Pokok Pers yang baru.

Sejalan dengan prinsip kemerdekaan berserikat yang dianut oleh konstitusi kita, maka Kabinet Reformasi Pembangunan juga mengambil kebijakan baru, yakni meniadakan wadah tunggal bagi kalangan profesi kewartawanan. Saudara-saudara para wartawan mulai saat itu bebas untuk membentuk dan bergabung ke dalam wadah organisasi profesi kewartawanan manapun juga, yang mereka kehendaki.

Terbentuknya kebebasan pers tidak jauh beda dengan terbentuknya kemerdekaan Indonesia. Pasang surut yang dialami pers Indonesia, seirama dengan pasang surut sejarah bangsa. Menurut konsep di atas, kemerdekaan merupakan hak dari pers Indonesia untuk melaporkan, mengomentari dan bahkan mengkritik pemerintah. Pers harus mandiri dan berada di luar pemerintah sebagai kekuatan negara.

Di negara kapitalis, kebebasan pers memiliki ciri: para wartawan bebas dari segala bentuk kontrol eksternal. Semua sistem pers menganut paham kebebasan pers, walaupun kebebasan menyatakan pendapat mengandung arti bervariasi. Jika diamati periodisasi kebebasan pers di Indonesia dibagi dua periode, yaitu pra kemerdekaan dan pasca proklamasi kemerdekaan.

Upaya bagi terwujudnya kebebasan pers di Indonesia sudah cukup panjang dengan rentang waktu lama mulai masa kolonial jauh sebelum proklamasi kemerdekaan. Ini dimulai antara lain dengan perjuangan untuk menghapus aturan dan tindakan lain yang menghantui kehidupan pers pada jaman Hindia Belanda. Selain pers bredel ordonnatie, juga haatzaai artikelen yang mengandung ancaman hukum terhadap siapa pun yang menyebutkan perasaan permusuhan dan kebencian serta penghinaan terhadap pemerintah Penjajah Belanda, juga terhadap sejumlah kelompok penduduk berdasarkan suku, agama, ras, dan kebangsaan serta keturunan.

Peraturan yang Mengatur Kebebasan Pers:
1.    UUD No. 23 tahun 1954, tetapi dianggap bertentangan dengan pasal 19 dan 33 UUDS maka diubah menjadi pers bredel ordonnatie.
2.    UUD No. 28 tahun 1945, sebelum amandemen secara yuridis menjamin adanya kebebasan pers.
3.    Pasal 28 dan 28F dari UUD 1945.
4.    TAP MPR NO. IV/1978.
5.    UU tentang pers No. 40 tahun 1999, antara lain memperhatikan kepentingan dan peranan nasional sebagai berikut:
a.    Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui.
b.    Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi.
c.    Mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia.
d.    Menghormat kebhinekaan.
e.    Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar.
f.    Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
g.    Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
h.    Perusahaan pers memberikan kesejahteraan kepada wartawan dan karyawan pers dalam bentuk kepemilikan saham dan atau pembagian laba bersih serta bentuk kesejahteraan lainnya.

Kebebasan pers bagi masyarakat

Dari dulu sejak kelahiran pers, baik di Indonesia maupun negara-negara lain, selalu ada kekuatan tarik-menarik antara media pers dengan masyarakat, pemerintah atau kekuatan politik. Bahkan bisa dengan masyarakat awam yang tidak senang atas pemberitaan, dengan cara melakukan tekanan, kadang-kadang dengan teror, demonstrasi dan dengan tindak kekerasan.

Macam-macam cara dilakukan orang untuk menekan media massa pers karena mereka tidak senang diungkapkan dalam pemberitaan, apakah pemberitaan itu benar, apalagi kalau pemberitaan itu salah. Padahal, dalam tradisi pers, kalau ada kesalahan atau kekurangan pemberitaan, ada mekanisme sendiri dengan memberi hak jawab atau klarifikasi.

Tradisi dan cara kerja atau mekanisme kerja pers itu pertama-tama adalah dengan menggunakan hak jawab dan klarifikasi yang disampaikan ke media pers oleh narasumber atau subjek berita, bila berita dianggap tidak lengkap atau tidak akurat, sehingga masyarakat makin kaya dengan informasi dan pendapat yang berbeda-beda.

Kebebasan pers atau kemerdekaan pers jangan dianggap seolah-olah atau semata-mata milik para wartawan, pengelola media pers, atau pengusaha media pers saja, tetapi kebebasan pers adalah milik semua orang. Oleh karena itu, masyarakat seharusnya membantu melengkapi atau menyeimbangkan pemberitaan untuk kepentingan atau manfaat seluruh masyarakat.

Dalam menghadapi era globalisasi ini, keseimbangan dalam kebebasan pers sebagai salah satu pilar demokrasi perlu ditumbuhkan sehingga memungkinkan pers dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik. Begitu pula kemerdekaan dan kebebasan pers yang sudah kita miliki saat ini harus disempurnakan untuk menghindari air pasang surut kembali.

Kita membutukan pers yang Merdeka, Bebas, Bertanggungjawab, Berbudaya dan Bermoral.

Sejak terbentuknya Kabinet Reformasi Pembangunan tanggal 22 Mei 1998, 177 bulan yang lalu, masyarakat telah dapat menikmati sajian pemberitaan media massa yang jauh lebih bebas, lebih terbuka dan lebih berani dibandingkan dengan era sebelumnya. Dalam masa 177 bulan ini, berbagai penerbitan “pers baru” bermunculan, berkembang secara pesat dan banyak pula yang harus ditutup karena tak dapat bersaing dalam “Era Reformasi”.

Pengendalian dan dominasi arus informasi melalui jaringan Media Massa kekuasaan politik yang dimonopoli oleh pusat keunggulan kekuasaan dan pemerintahannya, secara sistimatik membatasi ruang gerak Media Massa. Akibatnya terjadi manipulasi informasi atas beban kualitas pemberitaan dan kualitas Demokrasi dan kualitas pelaksanaan nilai Hak Azasi Manusia.

Pengakuan partisipasi rakyat dalam pemerintahan, misalnya pada pemilihan wakil-wakil rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat—secara langsung, umum, bebas, dan rahasia serta jujur dan adil—sulit dipertahankan objektivitasnya jikalau penentuan partai politik yang dapat berpartisipasi tidak saja ditentukan oleh ’kriteria yang objektif’, namun ditentukan pula oleh kebijaksanaan pusat keunggulan.

Demikian pula pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya adanya tindakan pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama menjadi ’objektif’ hanya dipandang dari sudut kepentingan Penguasa saja.

Dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4:
Ayat pertama: disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara,
Ayat kedua: bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran,
Ayat ketiga: bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,
Ayat keempat: bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Adalah kebebasan yang mengacu pada sebuah hak untuk berbicara secara bebas tanpa adanya tindakan sensor atau pembatasan, akan tetapi dalam hal ini tidak termasuk untuk menyebarkan kebencian.

Ini dapat diidentikan dengan istilah kebebasan berekspresi yang kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan bukan hanya kepada kebebasan berbicara lisan, akan tetapi, pada tindakan pencarian, penerimaan dan bagian dari informasi atau ide apapun yang sedang diperjuangkan. Walaupun Kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi yang terkait erat dengan sebuah kebebasan, namun berbeda dan tidak terkait dengan konsep kebebasan berpikir atau kebebasan hati nurani.

“Kualitas“ pers ditentukan oleh adanya Kemerdekaan dan Kebebasan sehingga dapat menjadi Sumber Informasi yang dapat diandalkan! Namun, pertanyaan kita adalah: Apakah saat ini Pers benar-benar sudah Merdeka dan Bebas?

Pers sudah bebas dari Pengaturan/Pengendalian Pemerintah, tapi apakah Pers Indonesia sudah bebas dari Kepentingan Politik atau Kepentingan Bisnis/Ekonomi?

Yang menjadi acuan kita adalah:
–    Politik Pers adalah “Politik Kebenaran & Objektivitas Informasi.“
–    Kepentingan Pers adalah “Kepentingan Masyarakat, Bangsa dan Negara“ yang disajikan dengan mengungkap kebenaran & informasi secara jujur dan objektif

Bagaimana cara meningkatkan Kualitas Pers Indonesia di masa depan?

Perkenankanlah saya mengajukan beberapa pemikiran untuk dapat meningkatkan kulitas Pers Indonesia di masa depan, agar dapat direnungkan, dikaji, dan diimplementasikan oleh masyarakat pers Indonesia, yaitu:

 

  1. Meningkatkan dan menjamin Kesejahteraan dan Ketenteraman (security) insan pers, sehingga para jurnalis mampu menghasilkan informasi, berita dan karya jurnalisme lain yang berkualitas.
  2. Peningkatan profesionalitas dalam rangka peningkatan kualitas insane Pers Indonesia, dan mencegah berkembangnya “pers partisan.“
  3. Organisasi dan lembaga Pers berkewajiban membina Kualitas Insan Pers bersamaan dengan menjamin kesejahteraan dan ketenteraman mereka.
  4. Adanya mekanisme “self-regulasi dan self control“ dalam menjaga dan menjamin tercapainya pemberitaan dan informasi yang berkualitas.
  5. Membebaskan Pers dari pengaruh Kepentingan Politik maupun Bisnis: (a). Perlu dilakukan revisi UU Penyiaran untuk menjamin terciptanya Pers yang Merdeka dan Bebas. (b). Mencegah pengaruh kepentingan politik, termasuk di dalamnya menyangkut masalah ownership jikalau Pemilik proaktif bergerak dalam ‘dunia politik’.
  6. Adanya konsolidasi dan konvergensi dari organisasi dan lembaga Pers, guna memperkuat dan mengoptimalkan peran dan karya Pers Indonesia sebagai pilar Demokrasi yang mendorong pembangunan menuju cita-cita nasional.
  7. Terhadap berkembangnya “pemberitaan di dunia maya“ dan “sosial media“ perlu forum atau kelembangaan yang mewadahi semua kegiatan Pers Dunia Maya, yang berkembang dan diprakarsai oleh para pelakunya sendiri (from within, bottom up).

Adanya mekanisme “self regulasi dan self control“ di kalangan para pelaku Pers di Dunia Maya Pemikiran John Locke (1690) dan Montesquieu (1748) menyatakan perlunya pemisahan Legislatif sebagai lembaga negara yang membuat peraturan perundang-undangan  (DPR, DPD, MPR), sebagai lembaga Negara yang melaksanakan peraturan perundang-undangan (Presiden dan BPK), dan Yudikatif sebagai lembaga negara yang mengawasi jalannya pemerintahan dan negara secara keseluruhan, menginterpretasikan undang-undang jika ada sengketa, serta menjatuhkan sanksi bagi lembaga ataupun perseorangan manapun yang melanggar undang-undang (MA, MK, YK) yang dikenal dengan nama Trias Politika.

Dalam jaman globalisasi terbentuknya Masyarakat Informasi (Pusat Keunggulan Media/Pers) tak lagi dapat dikuasai atau dikendalikan oleh satu kekuatan saja sehingga Trias Politika harus berubah menjadi Quadro-Politica (Eksekutif, Legislatif, Yudikatif dan Pers). Proses Demokratisasi akan berjalan baik, apabila keempat pilar tersebut berkualitas dan berfungsi dengan baik.

Di penghujung orasi di hadapan forum yang amat terhormat ini, perkenankanlah saya menyampaikan harapan kepada semua insan pers Indonesia untuk lebih meningkatkan lagi kualitas dan profesionalitas sebagai conditio sine quanon bagi terciptanya pers Indonesia yang bebas dan merdeka. Untuk itu peran Dewan Pers dan organisasi-organisasi profesi serta lembaga-lembaga terkait pers nasional mempunyai peran yang amat penting untuk memandu dan meralisasikan kehendak kita tersebut. Hanya dengan pers yang merdeka dan bebas yang didasari profesionalitas dan integritas yang tinggi saja yang memungkinkan dapat berperannya pers sebagai pilar demokrasi yang keempat, yang memungkinkan tercapainya tujuan nasional dan terciptanya peradaban Indonesia yang maju, mandiri, demokratis dan bermartabat sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Demikian, terima kasih atas perhatian hadirin sekalian.

Wassalamualaikum wr wb

Manado, 9 Februari 2013

Bacharuddin Jusuf Habibie

 

Published in Kajian Media