Sejumlah pasal dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara dinilai mengancam keterbukaan dan pemberantasan korupsi. Berbagai kalangan meminta pembahasannya lebih baik ditunda.
Jakarta (Tempo) – HUJAN interupsi berhamburan di Ruang Rapat Komisi Pertahanan di Gedung Nusantara II DPR, Rabu pekan lalu. Hari itu Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara sedang membahas pasal tentang informasi yang masuk kategori rahasia negara berkaitan dengan industri persenjataan. Selain anggota Komisi Pertahanan, hadir dalam pembahasan itu wakil pemerintah, antara lain Departemen Pertahanan. “Apakah teknologinya yang rahasia atau senjatanya?” kata anggota Panitia Kerja, Sembiring Meliala, kepada perwakilan pemerintah.
Pertanyaan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga pensiunan mayor jenderal TNI itu langsung ditimpali rekannya, Sidarto Danusubroto. Sidarto menyatakan meragukan kemampuan teknologi dalam negeri karena masih jauh tertinggal ketimbang negara lain yang lebih maju. “Saya khawatir kalau ini dibatasi (dirahasiakan), maka tidak ada kontrol dalam birokrasi,” ujarnya.
Politikus Partai Golkar, Slamet Effendy Yusuf, juga angkat bicara. Ia mengingatkan rahasia negara jangan dicampuradukkan dengan rahasia perusahaan persenjataan. Ia memberi contoh senjata yang dijual PT Pindad. PT Pindad, ujarnya, justru menjelaskan spesifikasi dan keunggulan senjata tersebut. “Jadi, mana yang disebut rahasia?” tanya Slamet.
Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi Politik, Agus Brotosusilo, yang mewakili pemerintah, mengatakan bahwa yang masuk kategori rahasia dalam pasal ini adalah keung gulan teknologi dan produk andalan negara. Contohnya, kata dia, Amerika tidak pernah mempublikasikan teknologi apalagi menjual pesawat F-14 Tomcat dan F-18 Hornet karena masuk kate gori rahasia negara. “Jadi, produk andalan yang dijadikan rahasia negara,” ujar Agus.
Perdebatan tentang industri persenjataan antara para wakil rakyat dan pemerintah ini baru kelar setelah dua jam. Ini bukan rekor debat terpanjang dalam pembahasan rancangan undang-undang tersebut. Menurut anggota Panitia Kerja dari Partai Amanat Nasional, Djoko Susilo, debat terpanjang adalah tatkala membahas definisi rahasia negara. “Sampai sembilan jam,” katanya.
Pemerintah, kata Djoko, ngotot supaya informasi, benda, dan kegiatan masuk rahasia negara. Sedangkan menurut anggota Panitia Kerja, hanya informasi yang masuk kategori rahasia negara. “Di Inggris dan Prancis saja, benda dan kegiatan tak masuk rahasia negara,” ujarnya. Djoko memperkirakan perdebatan sengit juga bakal terjadi ketika kelak membahas soal ancaman pidana.
Mulai dibahas Juli silam, RUU Rahasia Negara ini bisa dibilang mendekati saat-saat final. Sejumlah anggota Panitia Kerja bahkan optimistis rancangan ini akan kelar pada akhir bulan ini.
Berbeda dengan anggota Dewan, sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat menilai rancangan ini sebaiknya ditunda pembahasannya, atau bahkan lebih baik dihentikan. Alasan utama, isi RUU berbahaya untuk iklim ke terbukaan yang kini relatif sudah dinikmati masyarakat.
Direktur Institut Studi Arus Informasi Irawan Saptono, misalnya, menunjuk RUU Rahasia Negara ini sangat berbahaya, terutama untuk kebebasan pers. “Yang akan menjadi korban pertama wartawan,” ujarnya. Menurut dia, sesuai dengan isi rancangan itu, jika ada latihan perang dan wartawan mengambil gambar latihan tersebut dan ternyata itu kegiatan yang masuk kategori rahasia negara, sang wartawan bisa dipidana. Ancaman hukumannya pun tidak ringan, minimal tujuh tahun.
Selain itu, menurut Irawan, ada aturan tentang pembredelan perusahaan pers dan denda bagi perusahaan pers yang besarnya hingga Rp 100 miliar. RUU ini juga mengancam pembe rantasan korupsi karena daftar gaji TNI, anggaran militer, dan intelijen masuk rahasia negara. RUU ini, ujar Irawan, memuat pasal-pasal jebakan.
Menurut Wakil Ketua Dewan Pers Leo Batubara, jika disahkan, RUU ini memang mengancam kebebasan pers. “RUU ini tidak diperlukan,” katanya. Menurut Leo, RUU itu sangat represif. Apalagi, ujarnya, sebenarnya sudah ada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, yang mengatur mana yang merupakan informasi publik dan mana yang bukan.
Agus Brotosusilo menampik jika disebut RUU Rahasia Negara ini mengancam pers. “Pers tidak akan dibredel , korporasi tidak bisa dihukum ,” ujar nya. Tapi ia menyebut sanksi pidana tetap harus ada. “Kalau tidak ada sanksi nya, nanti orang nekat melanggar, dong,” kata Agus. Menurut dia, RUU Rahasia Negara penting untuk melin dungi negara dari rongrongan pihak asing yang mengancam kedaulat an dan ke selamatan bangsa. Jadi, inti rahasia negara itu adalah demi melindungi kedaulatan bangsa. “Jika tidak memenuhi kriteria ini, artinya bukan rahasia negara,” katanya.
Agus memberikan contoh sejumlah rahasia negara yang pernah bocor. Antara lain penyadapan pembicaraan para komandan pasukan di Timor Timur dan penjualan peta hidrografi (sumber daya perairan) Indonesia pada 1970-an ke pihak asing. Agus menolak jika ada yang menyatakan Undang-Undang Rahasia Negara membunuh demokrasi. Menurut dia, undang-undang ini justru melindungi demokrasi. “Penguasa tidak bisa lagi asal ngomong ini rahasia negara.”
Seperti Agus, Slamet Effendy menjamin RUU ini tak mengerikan seperti yang diperkirakan publik. “Pasal-pasal yang tak sesuai dengan semangat ke terbukaan dan transparansi kami minta dihapus,” katanya. Semangat RUU Rahasia Negara, kata Slamet, untuk melindungi rahasia negara dari pihak asing. “Bukan melindungi kepentingan pemerintah,” katanya.
Ketua Komisi Pertahanan Theo L. Sambuaga menyebut RUU Rahasia Negara ini penting karena hingga kini belum ada aturan yang mengatur ihwal rahasia negara. Padahal rahasia negara ini bisa saja terdapat di setiap instansi pemerintah. “Siapa yang tahu berapa rahasia negara yang ada di instansi pemerintah? Siapa yang membuat dan bagaimana mengelolanya?” tanya politikus Partai Golkar ini.
Aturan tentang rahasia negara ini, menurut Theo, tak dapat otomatis dijadikan tameng bagi pejabat untuk merahasiakan sesuatu dari publik. “Karena di sini mengatur apa kriteria rahasia negara,” ujar Theo. Menurut Theo, dari 271 butir daftar inventarisasi masalah, hingga kini separuh lebih sudah rampung dibahas.
Kendati masa kerja efektif anggota Dewan tinggal dua pekan lagi, Ketua Panitia Kerja RUU Rahasia Negara Guntur Sasono optimistis RUU ini akan selesai akhir bulan ini. “Kami akan maksimal,” ujar politikus Partai Demokrat itu. Agus juga optimistis RUU ini selesai pada masa kerja anggota Dewan sekarang.
Berbeda dengan Guntur, Djoko Susilo justru ragu RUU ini kelar pada September ini. “Perjalanannya masih panjang,” katanya. Setelah Panitia Kerja selesai membahas, RUU ini masuk tim sinkronisasi dan tim perumus. “Dari sini masih dibawa lagi ke rapat paripurna untuk disahkan,” kata Djoko.
Pembahasan sebuah RUU, kata Djoko, tak dapat diwariskan kepada anggota Dewan periode berikutnya. Maka, apabila RUU tersebut tak selesai pada masa kerja anggota Dewan periode sekarang, pembahasan RUU Rahasia Negara harus dimulai lagi dari awal. “Kalau ini tidak selesai, ya bubar,” kata Djoko.
Irawan sendiri meminta DPR lebih baik menunda pembahasan RUU tersebut. “RUU ini bukan prioritas dan sebaiknya dibahas lagi secara hati-hati,” katanya. Irawan menyatakan organisasinya sudah mengambil ancang-ancang jika kelak RUU tetap disahkan. “Kalau isinya sama dengan draf seperti sekarang, kami akan melakukan judicial review,” katanya. (Rini Kustiani, Yophiandi)
Sumber: majalah Tempo edisi 29/XXXVIII 07 September 2009
Published in