Jakarta (Berita LPDS) – Banyak bermunculannya rumah makan yang menjual makanan cepat saji dari luar negeri menjadi tantangan bagi masakan khas Indonesia. Karena itu, para peracik masakan Indonesia dituntut kreativitasnya agar dapat membuat masakan Indonesia disukai anak muda.
Chef Muchtar Alamsyah mengemukakan hal tersebut saat menjadi pembicara Diskusi Serial Bulanan (Diserbu) tentang Semangat Indonesia bertema “Budaya Kuliner Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Metro TV, dan Djarum Bakti Budaya di Jakarta, Jumat (29/10/2010). Diskusi ini juga menghadirkan Nungki Kusumastuti (budayawan dan dosen Institut Kesenian Jakarta), serta Bambang Laresolo (ahli minuman teh).
Menurut chef Tatang, panggilan akrab Muchtar Alamsyah, salah satu cara menarik orang untuk menyukai masakan Indonesia yaitu dengan penyajiannya yang berbeda. “Keistimewaan masakan Indonesia dari rasa. Setiap provinsi memiliki ciri khas masakan sendiri,” tambahnya.
Untuk melestarikan masakan Indonesia, chef Tatang memiliki obsesi mendirikan museum masakan Indonesia. Dari museum ini, orang dapat belajar mengenai budaya masakan Indonesia.
Nungki Kusumastuti lebih melihat keberadaan rumah makan cepat saji dari luar negeri sebagai pekerjaan rumah untuk dijawab, ketimbang mengatakannya sebagai kekhawatiran. Menurutnya, keluarga Indonesia harus terus melakukan tradisi memasak di rumah. Di samping itu, kemunculan pusat-pusat masakan atau jajanan khas Indonesia sangat berpengaruh. Orangtua dapat memperkenalkan masakan Indonesia kepada anak mereka dengan bersama makan di pusat-pusat masakan Indonesia.
Bambang Laresolo mengakui ada kekhawatiran punahnya masakan Indonesia. Karena itu, perlu ada catatan lengkap tentang masakan-masakan Indonesia. Apalagi, ada banyak masakan yang bernama sama tetapi rasanya sangat berbeda. Misalnya masakan Garam Asem.
Soal minuman teh, pemilik kedai teh Laresolo ini mengungkapkan, ada banyak hal bisa digali dari teh. Sekarang teh sudah mulai diangkat derajatnya, diapresiasi, disuguhkan dengan bangga. Komunitas pecinta teh juga bermunculan.
Rasa dan cara menyuguhkan teh di suatu daerah menggambarkan kebudayaan masyarakatnya. Budaya teh merupakan percampuran dari berbagai budaya yang turut dipengaruhi oleh ketersediaan jenis teh di daerah bersangkutan. “Sejarahnya teh di Indonesia itu ditanam bukan untuk orang Indonesia tapi untuk dijual ke luar negeri,” katanya.
Bambang menambahkan, sebenarnya teh bersifat personal. Contohnya, berapa banyak gula yang dicampur ke dalam teh. Setiap daerah di Indonesia juga memiliki ritual atau budaya minum teh sendiri-sendiri.*
Published in