Jakarta (Berita LPDS) – Sistem pendidikan di Indonesia belum banyak memberi peluang untuk pengembangan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Pendidikan bahasa yang diberikan di sekolah formal terlalu menekankan pada pengetahuan tentang bahasa, tidak untuk kemahiran menggunakan bahasa. Akibatnya, misalnya, ada anak yang nilai ujian bahasa Inggrisnya lebih tinggi dari bahasa Indonesia.
Di Indonesia juga tidak dikembangkan dengan serius penelitian mengenai kaedah-kaedah dan padanan bahasa asing. Sehingga penyerapan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, ke dalam bahasa Indonesia seringkali mengakibatkan hilangnya kekayaan kosakata dalam bahasa Indonesia dan lebih jauh dapat melunturkan jati diri bangsa.
Pers berperan penting dalam membudayakan penggunaan bahasa Indonesia yang benar �selain lembaga pemerintah dan pendidikan formal. Pers dapat menjadi “pasukan” bagi para ahli bahasa untuk menyebarkan pengetahuan mengenai bahasa. Sayangnya, pers sendiri banyak melakukan kesalahan berbahasa. Pers dianggap bukan tempat yang layak untuk belajar bahasa, bahkan cenderung memperparah kekacauan penggunaan bahasa di masyarakat.
Persaingan menjadi yang tercepat dalam menyajikan berita, keterbatasan durasi atau tempat, dan tidak tersedianya redaktur bahasa adalah beberapa penyebab terjadinya kesalahan penggunaan bahasa di berita media massa. Pimpinan atau pemilik perusahaan pers seharusnya memberi perhatian serius pada persoalan ini.
Demikianlah antara lain pemikiran yang muncul dalam lokakarya bertema “Banjir Bandang Istilah Asing: di Mana Jati Diri Bangsa?” yang digelar LPDS di Jakarta, Rabu (22/7/2009). Hadir sebagai pembicara Anton M. Moeliono (Pakar Bahasa), Arief Rahman, (Pakar Pendidikan, Ketua Komnas UNESCO), dan Desi Anwar (Wartawan Senior Metro TV). Sedangkan Mulyo Sunyoto (wartawan Antara) sebagai moderator.
Lokakarya hari kedua ini digelar untuk memperingati ulang tahun ke-21 LPDS. Dewan Pers, harian Kompas, PT. Djarum, harian Pikiran Rakyat, harian Jurnal Nasional, dan group majalah Info Gading turut mendukung lokakarya tersebut.
Globalisasi
Menurut Anton, globalisasi ikut membawa masuk bahasa global atau asing ke dalam masyarakat. Bahasa yang kuat akan menang, diserap, dan digunakan. Sedang yang lemah terus dipinggirkan, dibuang, dan dilupakan.
Ada dua kondisi yang memengaruhi penyerapan bahasa global. Pertama, penyerapan berdasar kondisi objektif yang terjadi jika kosakata bahasa di sebuah budaya tidak cukup memadai sehingga harus menyerap bahasa asing. Kedua, berdasar kondisi subjektif yang timbul karena adanya tunaharga diri pada masyarakat sehingga bahasa asing dianggap lebih baik.
“Ketakberdayaan penguasa mengatur rambu-rambu pemakaian bahasa di tempat umum dan ruang terbuka berakibat bahasa Inggris de facto mulai merebut berbagai ranah kehidupan yang semula diisi bahasa Indonesia,” ungkap Anton dalam makalahnya.
Menurutnya harus ada filsafat baru dalam pendidikan bahasa Indonesia dengan tidak melupakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, sebagai bekal untuk masuk ke gerbang pengetahuan dunia. “Mudah-mudahan media massa dapat menjadikan pendidikan ini sebagai sesuatu yang perlu didandani,” katanya.
Sementara itu, Arief menyoroti sistem pendidikan dan pemerintah yang kurang memberi perhatian pada bahasa Indonesia. Padahal pendidikan bahasa sangat penting karena mengarahkan pada pembentukan budi pekerti.
“Masalah bahasa, hidup matinya, jangan dipisahkan dari politik-ekonomi kita,” ujar Arief.
Ia melihat pers memiliki kekuatan untuk bersama meluruskan kekacauan berbahasa. Namun, “bagaimana pers akan meluruskan berbahasa kalau wartawan tidak memahami bahasa yang baik dan benar?” tanyanya.
Desi Anwar membenarkan bahasa jurnalistik yang digunakan wartawan banyak yang tidak baik untuk dijadikan contoh. Sebab bahasa jurnalistik sarat dengan jargon, journalese, dan singkatan yang tidak baku. “Kita mendapatkan (bahasa jurnalistik) asal jadi,” katanya.
Lebih lanjut ia melihat ada harapan untuk menjaga bahasa Indonesia dengan mendidik anak muda. Karena, menurut Desi, mereka sebenarnya memiliki kebanggaan terhadap bangsa ini. (red)
Published in