Membaca Atmakusumah, Menelusuri Jejak Pers Indonesia

Jakarta (Kompas Cyber Media) – Menulis perjalanan hidup wartawan senior, Atmakusumah Astraatmadja dalam sebuah buku seperti mengurai jejak perkembangan pers 50 tahun terakhir. Menelusuri ingatan, kiprah Atma, begitu pria 70 tahun ini dipanggil bagaikan melacak berbagai kisah pergulatan pers Indonesia dalam menemukan kebebasannya.

“Karena kebebasan pers di Indonesia bukan taken for grated, tetapi proses yang telah diperjuangkan dan harus terus dipertarungkan oleh figur-figur yang mencintai kebebasan.” ungkap Lukas Luwarso, Direktur Eksekutif Southest Asian Press Alliance dalam editorial buku karangan Atmakusumah Astraatmadja yang diluncurkan di Jakarta Media Center, di Jakarta, Selasa.

Atma merupakan wartawan senior era 50-an. Ia termasuk salah seorang wartawan yang kembali ke Harian Indonesia Raya, begitu harian itu terbit kembali di tahun 1968, 10 tahun setelah dibredel.

Dan Atma sempat menjadi redaktur pelaksana sebelum Indonesia Raya ditutup kembali pada tahun 1974. Ketika koran yang bisa dikatakan sebagai almamaternya itu tidak terbit, Atma berpindah-pindah kerja, namun tetap berkaitan dengan dunia jurnalistik. Menulis di berbagai media, baik cetak ataupun portal. Termasuk membuat berbagai buku berkaitan dengan jurnalisme dan independensinya.

Lebih dari sembilan buku telah digelontorkannya dalam 12 tahun terakhir. Buku terakhirnya adalah Humanisme dan Kebebasan Pers, Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, tahun 2002.

Kini diumurnya yang ke-70, Atma kembali menerbitkan buku bertema Menjaga Kebebasan Pers, 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja. Dalam bukunya yang kesepuluh ini, Atma menyajikan rangkuman perjuangan pers nasional dalam dekade 1960-1990-an.

“Ini pentinglah untuk mencatat perkembangan dan sejarah politik pers kita. Jadi baru sekarang Saya menghadirkan ini, selama 25 tahun lebih. Tapi saya memang rajin menyimpan berkas-berkas tulisan saya, yang pernah ditampilkan di media pers, seperti Tempo dan Kompas,” ujar Atma.

Atma lebih lanjut memaparkan penerbitan bukunya ini serupa dengan tindakan Akhmad Mukhsinun alias Paidi Jolali, seseorang yang tak henti mendokumentasikan setiap jengkal kerusakan situs kerajaan Majapahit

“Saya ingin mendokumentasikan sejarah. Ya, ingin menempatkan diri sebagai Jolali. Juga Saya ingin menghadirkan sejarah-sejarah pers agar tidak hilang, untuk menjadi bahan pembelajaran teman-teman pers lainnya,” ujar Atma.

Selain paparan sejarah, dalam buku setebal 220 halaman ini, Atma menghadirkan dokumen-dokumen penting perjalanan pers Indonesia. Seperti surat gugatan 10 pemimpin redaksi surat kabar Indonesia kepada Soeharto di era orde baru.

“Saya juga menyajikan gugatan sepuluh pemimpin redaksi surat kabar ke pimpinan orde baru waktu itu. Berikut penandatanganan kesepakatan ‘Sunan galih’, yaitu kesepakatan media-media yang menentang pembredelan Tempo. Ini adalah bagian penting dari perjalanan pers Indonesia,” terang Atma.

Henri Subiakto, Staf Ahli Menteri Bidang Media Massa Departemen Komunikasi dan Informatika menganjurkan para wartawan muda baik membaca buku ini.

“Bagus sekali, sangat detail. Membaca buku itu akan kembali teringat sulitnya wartawan era orde baru dan lama. Bila wartawan muda baca pasti akan bersyukur, karena terbebas dari tekanan pemerintah, Meski tidak bisa dipungkiri tekanan paling berbahaya justru hadir dari pemilik modal,” katanya. (*)

Published in Berita LPDS