Jakarta Pusat – Untuk memperingati Hari Disabilitas Internasional, Galeri Cemara 6, Jakarta menyelenggarakan pemutaran film dan diskusi tentang anak berkebutuhan khusus. Dalam acara ini diputar dua film dokumenter, Joshua Tree karya George Arief dan Love Me As I Am yang disutradarai Ricky Avenzora dan diproduksi oleh Christine Hakim. Kedua film yang diputar pada Sabtu (7/12) ini berhasil memberikan perspektif mendalam tentang perjuangan keluarga dan komunitas dalam mendukung anak autis.
Film Joshua Tree mengisahkan Joshua, seorang anak autis dan perjuangan keluarganya untuk mengawal perkembangan si anak demi mencapai kebahagiaannya. George Arief, sang sutradara, membagikan pengalaman yang menantang dalam proses pembuatannya.
“Prosesnya cukup berat, karena kami syuting di tengah pandemi sehingga banyak kendalanya. Sebagian besar adegan menggunakan handphone, sehingga terlihat tidak stabil. Itu sengaja saya pertahankan untuk menunjukkan bahwa autisme tidak bisa ‘diatur’, anak-anak ini bebas mengekspresikan dirinya,” jelas George, sang sutradara.
Film ini juga menyoroti pentingnya peran keluarga sebagai pendukung utama. George menceritakan tentang kakaknya Joshua yang juga autis, namun kini ia telah berhasil kuliah di Inggris. “Ini membuktikan bahwa dengan pola asuh yang benar, anak-anak autis pun bisa mandiri dan sukses,” tambah George.
Film dokumenter kedua, Love Me As I Am, menyajikan potret anak-anak autis beserta orang tua mereka dalam menghadapi stigma sosial. Christine Hakim, aktris legendaris, mengungkapkan bahwa pembuatan film ini telah membuka matanya terhadap realitas keras yang dialami keluarga dengan anak autis.
“Ada pandangan negatif masyarakat yang menyebut anak autis sebagai kutukan atau karma. Saya tidak percaya itu. Mereka justru hadir untuk mengajarkan cinta tanpa syarat kepada kita,” ujar perempuan yang dijuluki Grand Dame perfilman Indonesia tersebut.
Ia juga menekankan pentingnya empati dan dukungan dari masyarakat, terutama untuk keluarga anak autis. “Yang berat bukan hanya membesarkan anak autis, tetapi menghadapi stigma masyarakat. Dukungan dari komunitas sangat penting, karena anak-anak ini membutuhkan lingkungan yang inklusif,” jelasnya lebih lanjut.
Sutradara Ricky Avenzora, yang baru pertama kali terjun ke dunia perfilman, menekankan bahwa anak autis memiliki kemampuan kognitif luar biasa dan hati yang tulus. “Mereka tidak pernah berbohong, selalu jujur. Kita harus lebih mengenali dan menghargai keunikan mereka,” ungkap Ricky.
Selain keluarga, peran caregiver dalam mendampingi anak autis juga luar biasa. George Arief menegaskan bahwa dukungan dari orang tua dan keluarga sangatlah fundamental. “Caregiver menjadi kunci bagi perkembangan anak-anak ini. Joshua adalah contoh nyata tentang peran keluarga yang solid dan mampu membuat hidupnya lebih baik,” ujar nya.
Christine Hakim menambahkan cerita inspiratif tentang keluarga yang berhasil mengembangkan kemandirian anak autis melalui inisiatif bisnis kecil. “Ada anak autis yang sekarang bekerja di kafe yang didirikan keluarganya. Ini menunjukkan bahwa mereka juga punya potensi besar jika diberikan kesempatan,” tutur Christine seraya menambahkan bahwa cinta kasih merupakan kunci utama untuk menjadikan dunia lebih baik.
Sebagai penutup, para insan film ingin menyadarkan masyarakat akan pentingnya menerima dan mendukung anak-anak berkebutuhan khusus. “Mindset kita sebagai masyarakat harus berubah. Anak-anak autis bukan beban, tetapi berkah yang perlu kita pelajari,” tegas Ricky.
Christine menyampaikan harapannya agar film ini bisa menjadi pengingat bahwa cinta kasih adalah kunci utama untuk menciptakan dunia yang lebih baik. “Kalau kita bisa menghormati binatang, mengapa kita tidak bisa menghormati manusia, apalagi anak-anak yang membutuhkan perhatian kita?” pungkasnya.
Published in