Jakarta (Berita LPDS) – Penggunaan bahasa pasar atau bahasa non-baku oleh media massa dipengaruhi banyak faktor. Ada media sengaja memilih bahasa pasar karena sesuai ideologi yang dianut dan pasar yang dibidik. Faktor lain yaitu dorongan pasar untuk berubah, rendahnya pemahaman wartawan terhadap bahasa baku, serta bahasa pasar yang terkadang lebih mudah dipahami oleh masyarakat.
Pemakaian media jejaring sosial, seperti youtube, blog, twitter, atau facebook, turut memperluas penggunaan bahasa pasar. Karena itu, media online sering memilih menggunakan bahasa pasar yang dirasa sesuai karakter pengguna internet dan keharusan menyajikan informasi secara cepat. Namun, muncul kekhawatiran, penggunaan bahasa pasar di media massa dapat menurunkan nilai bahasa Indonesia.
Bahasa pasar tidak dapat hindari. Bahasa itu berkembang dan hidup. Contohnya kata nggak, banget, atau dek-dekan. Sehingga yang lebih diperlukan adalah pemahaman mengenai kapan saat yang tepat untuk menggunakan bahasa pasar atau bahasa baku. Media juga membutuhkan kritik dan masukan dari masyarakat agar dapat memperbaiki penggunaan bahasanya.
Demikian beberapa pemikiran yang mengemuka dalam diskusi “Bahasa Pasar dalam Media Massa: Bolehkah?” yang digelar LPDS di Ruang Seminar LPDS, Jakarta, Jumat (23/10/2009). Diskusi ini menghadirkan pembicara, Prof. Benny Hoedoro Hoed (Pakar Bahasa), Kristanto Hartadi (Pemimpin Redaksi harian Sinar Harapan), Yulia Supadmo (Manager Produksi Berita RCTI), dan Arifin Asydhad (Wakil Pemimpin Redaksi Detik.com). Sedangkan Tertiany Simanjuntak dari harian The Jakarta Post sebagai moderator.
Bahasa Baku
Bahasa baku dibutuhkan untuk mempersatukan sebuah bangsa. Indonesia, menurut Benny Hoedoro Hoed, termasuk negara yang beruntung karena tidak mengalami masalah dalam penggunaan bahasa. Bahasa Indonesia baku dapat berfungsi sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan bahasa kebanggaan.
Namun, penggunaan bahasa non-baku di masyarakat tidak dapat dihindari. Bahasa ini berfungsi melancarkan komunikasi sosial dalam komunitas tertentu. Penggunaannya sangat terikat konteks, tidak berskala nasional, dalam suasana santai, mengandung unsur bahasa daerah atau bahasa asing.
Benny menambahkan, pendidikan di sekolah seharusnya memberi contoh penggunaan bahasa baku dan bahasa non-baku. Tujuannya supaya anak didik “mampu membedakan berbagai variasi bahasa Indonesia dan fungsinya masing-masing pada tempat dan waktu yang sesuai,” katanya.
Sedangkan Kristanto menyatakan, bahasa jurnalistik yang berciri demokratis dan populis sudah menjadi ragam tersendiri dalam bahasa Indonesia. Perkembangan bahasa jurnalistik juga dipengaruhi oleh penggunaan bahasa di masyarakat. Antara media massa dan masyarakat pengguna media saling memengaruhi.
Menurutnya media membutuhkan pemerhati bahasa untuk mengingatkan dan menyadarkan wartawan yang melakukan kesalahan dalam menggunakan bahasa. Ia menilai ketidaktahuan mengenai bahasa baku dapat menyebabkan digunakannya bahasa pasar. Sebab lain karena rendahnya pemahaman terhadap kode etik jurnalistik yang kemudian memengaruhi pemilihan kata untuk menunjukkan fakta.
Sementara itu, Arifin Asydhad mengakui, penggunaan bahasa pasar sangat sulit dihindari oleh media online. Hal ini terkait sifat berita online yang harus cepat dan segera dapat dipahami pembacanya.
Menurutnya, berdasar pengalaman selama bekerja di detikcom, umumnya bahasa pasar muncul lebih dulu di masyarakat. Media hanya mengadopsi karena masyarakat lebih memahami bahasa tersebut dibanding bahasa bakunya. “Bahasa pasar semakin sulit dihindari karena muncul media jejaring sosial,” ungkapnya.
Program berita di televisi, Yulia Supadmo menjelaskan, selalu berupaya menggunakan bahasa baku meskipun dituntut sederhana, dramatis, dan bertutur. Upaya memperbaiki penggunaan bahasa yang salah juga terus dilakukan.*
Published in