Polisi Harusnya Memberi Kesempatan Sama bagi Seluruh Media

TEMPO Interaktif, Yogyakarta – Pihak kepolisian harusnya memberi kesempatan yang sama kepada semua media dalam hal peliputan soal terorisme di Indonesia. Memberikan hak istimewa kepada salah satu media justru akan memunculkan kesan polisi telah menjadi unsur dramatisasi dalam proses penangkapan terhadap pelaku terorisme.

Ketua Dewan Pers, Ichlasul Amal, menegaskan hal itu dalam diskusi tentang Efektivitas Pemberantasan Teorisme di Indonesia yang digelar di Pusat Pengkajian Strategi dan Kebijakan (PPSK) Yogyakarta, Jumat (14/8) siang. Pada kesempatan ini Ichlasul Amal banyak menyoroti tentang liputan tentang terorisme di media televisi yang dinilainya over ekspos.

Salah satu persoalan yang menjadi perbincangan hangat dalam diskusi ini adalah hak eksklusif yang dinikmati salah satu stasiun televisi nasional pada saat penggerebegan teroris di Temanggung. Menurut Ichlasul Amal, hak eksklusif tersebut memang tidak melanggar kode etik.

“Yang jadi persoalan justru mengapa polisi hanya mengundang TV One. Mestinya semua media diberi kesempatan yang sama. Jangan hanya TV One saja,” katanya.

Pemberian hak istimewa kepada salah satu media televisi sehingga bisa memperoleh gambar-gambar ekslusif, menurut Ichlasul Amal, justru memunculkan kesan polisi telah menjadi unsur dramatisasi penangkapan terhadap pelaku teror. “Akhirnya muncul kesan bahwa polisilah yang paling berprestasi dalam penindakan terhadap pelaku teror,” katanya.

Unsur dramatisasi itu menjadi makin kuat setelah pelaku teror yang digrebeg habis-habisan di Temanggung beberapa waktu lalu ternyata bukan Noordin M Top seperti yang terlanjur dilansir media televisi. “Karena keliru bukan Noordin M Top, lalu Ibrohim dikatakan berencana mengebom Cikeas, sehingga kesannya Ibrohim itu sosok yang memang sangat penting,” kata Ichlasul Amal.

Mantan rektor UGM itu juga menilai pemberitaan tentang terorisme oleh salah satu stasiun televisi nasional telah over ekspos. Peliputan yang berlebihan ini memunculkan kesan bahwa Noordin M Top seorang yang sangat hebat karena sampai saat ini sulit ditangkap.

“Yang membuat Noordin M Top itu ‘jagoan’, lebih banyak pers yang membuatnya,” katanya.

Menurut Ichlasul Amal, jumlah korban akibat aksi bom di Mega Kuningan sebenarnya sangat kecil jika dibanding dengan jumlah korban aksi bom di Afganistan, Irak, Pakistan dan India. “Karena yang mati akibat aksi bom di Indonesia itu banyak orang asing, inilah yang kemudian membuat berita itu menjadi besar. Sementara di Pakistan dan India, meski jumlahnya jauh lebih besar namun korbannya adalah orang-orang lokal karena bomnya diledakkan di pasar,” paparnya. (HERU CN)

Sumber: www.tempointeraktif.com / Jum’at, 14 Agustus 2009
http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2009/08/14/brk,20090814-192652,id.html

 

Published in Berita LPDS