Ratusan Wartawan Protes Pembunuhan

Manila, Senin – Sekitar 500 wartawan dan aktivis turun ke jalan di Manila, Senin (30/11). Mereka memprotes pembantaian 57 orang, 30 di antaranya wartawan, di Provinsi Maguindanao, selatan Filipina.

Wartawan dan aktivis itu mengenakan kaus hitam dan membawa peti mati hitam, begitu juga spanduk dan poster-poster yang menyerukan penghentian pembunuhan atas wartawan. Mereka juga menuntut penangkapan semua tersangka dalam pembantaian di Maguindanao pada 23 November lalu.

Para korban itu dibunuh sekelompok orang bersenjata yang mencegat konvoi seorang politisi lokal yang hendak maju dalam pemilu gubernur. Pembantaian itu memicu kecaman global dan merupakan serangan tunggal paling mematikan di dunia terhadap wartawan.

�Kami menuntut keadilan. Seluruh dunia telah menunjukkan rasa jijik atas apa yang terjadi. Pekerja media yang dibunuh itu tidak bersenjata,� kata Benny Antiporda, Ketua National Press Club Filipina.

Para pengunjuk rasa berjalan menuju sebuah jembatan di dekat Istana Kepresidenan Malacanang. Juru bicara Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, Cerge Remonde, yang juga mantan penyiar radio, bermaksud ikut serta dalam aksi tersebut. Akan tetapi, dia diejek, dicela, dan dilempari gumpalan kertas oleh pengunjuk rasa.

Kekuatan penuh

Seorang perwakilan dari Konfederasi Jurnalis ASEAN membacakan sebuah pernyataan yang mendesak Arroyo untuk menggunakan kekuatan penuh sistem yudisial Filipina guna menjamin semua pelaku pembantaian itu ditangkap, siapa pun mereka dan di mana pun mereka bersembunyi.

Tersangka utama adalah Andal Ampatuan Jr, wali kota di Maguindanao, dan telah ditangkap di Manila. Dia menghadapi dakwaan pembunuhan. Keluarga Ampatuan, Minggu, mengadakan jumpa pers untuk membantah semua tanggung jawab atas pembantaian di Maguindanao.

Remonde mengatakan, penyelidikan terus berlangsung dan tersangka lain sedang diburu. “Pemerintah akan melakukan apa pun untuk memberikan keadilan bagi semua,” ujarnya.

Pada Jumat pekan lalu, Departemen Kehakiman Filipina mencegah delapan anggota keluarga Ampatuan yang mencoba meninggalkan negara itu karena mereka juga akan diselidiki. Pemerintah Filipina juga berencana menonaktifkan dan memecat mereka dari jabatan mereka untuk kepentingan penyelidikan.

Meskipun pers di Filipina terhitung paling bebas di kawasan Asia Tenggara, para wartawan secara rutin mengalami ancaman. Beberapa di antara mereka ditembak dan diculik.

Federasi Jurnalis Internasional yang berbasis di Belgia menulis kepada Arroyo bahwa 75 wartawan tewas sepanjang delapan tahun pemerintahannya dan hanya ada empat dakwaan terhadap para pembunuhnya.(ap/afp/reuters/fro)

Sumber: harian Kompas, Selasa, 1 Desember 2009

 

Published in Berita LPDS