Jakarta (Media Indonesia) – MASALAH lingkungan yang tidak kunjung selesai dinilai merupakan kontribusi media massa yang (idak tuntas mengupas akar permasalahan. Akib.n pemerintah sebagai pembuat kebiiakan tidak tergerak membenahi lingkungan nusantara.
Selain itu, kebijakan media i yangsemakin berorientasi bisnis 1 membuatnya tidak berkomitmen penuh pada kritisisme terhadap perusahaan-perusahaan perusak alam. Beragam rencana pembenahan kerusakan alam pun menjadi mangkrak.
Demikian terungkap dalam diskusi Isu Lingkungan Hidup bagi Pers Seksj atau Tidak? dalam rangkaian peringatan HUT ke-23 Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), di Jakarta, kemarin.
Pendiri International Center Eoi lournalisl (KTI) Harry Surjadi mengatakan terbengkalainya beragam masalah lingkungan disebabkan salah satunya oleh sorotan media yang kurang tajam dalam mengulik sfbu.ih peristiwa lingkungan.
“Komitmen media dalam isu lingkungan dapat dilihat jelas,adakah wartawan yang khusus meliput lingkungan, adakah rubriknya, atau keduanya ada?” ujar mantan wartawan harian nasional ini.
Pengajar senior LPDS Abdullah Alamudi menilai pemberitaan media tentang kerusakan alam memang simultan. Namun, pemerintah dinilai tidak memiliki kekuatan dalam menjabarkan tuntutan publik lewat media itu dalam bentuk kebijakan yang bisa memaksa para perusak alam patuh.
“Kementerian Lingkungan Hidup tak memiliki kekuatan di daerah. Kuping pemerintah ini seakan sudah tebal,” cetusnya.
Pada kesempatan sama, Warief Djajanto dari LPDS berpendapat, pemberitaan yang kurang gereget dalam membuat pemerintah dan masyarakat tergerak, adalah akibat kurang membu-minya pemberitaan mengenai lingkungan. Baginya, penulisan tentang lingkungan ini harus memiliki penjelasan dalam isti-lah-isblah teknis, serta dampaknya vang lintas generasi.
“Berita lingkungan ini belum dimanusiakan, yang makro be.lum dimikrokan. Sehingga belum efektit dipahami masyarakat” katanya.
Harry bahkan memprihatinkan kondisi media, terutama di daerah, yang begitu saja menyetop pemberitaan kerusakan lingkungan akibat urusan sponsor. “Saya merindukan media publik yang bisa berbicara independen tanpa kepentingan apa pun, seperti \HK di Jepang, atau BBC di Inggris,” keluhnya. C/H-l)
Sumber: Media Indonesia, 22 Jul 2011
Published in