Arti Tanggal 2 Mei bagi Bahasa Indonesia

Oleh T.D. Asmadi

Tanggal 2 Mei ternyata mempunyai arti penting bagi Bahasa Indonesia. Harimurti Kridalaksana, mantan Rektor Universitas Atma Jaya dan juga mantan Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud, menyebut tanggal tersebut sebagai saat M. Tabarani mengusulkan penggunaan istilah ‘Bahasa Indonesia’ kepada Kongres Pemuda Pertama tahun 1926. Apa sebenarnya yang terjadi pada tanggal tersebut?

Pada tanggal itu, hari terakhir Kongres Pemuda Pertama, tiga orang membahas rumusan hasil kongres. Mereka adalah Muhammad Yamin, Djamaluddin (Adinegoro), dan M. Tabrani. Ketiganya membicarakan rencana usul kongres. Atas prakarsa Yamin, rancangan usul itu berupa sebuah ikrar, Ikrar Pemuda Indonesia.

Rumusan dari Yamin, yang mewakili Jong Sumatranen Bond dan yang sebelumnya berpidato di sidang pleno kongres dengan bagus sekali untuk adanya persatuan pemuda Indonesia, berbunyi:

“Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Melajoe.”

Usul Yamin, yang ketika itu berusia 23 tahun dan amat luas pengetahuannya tentang banyak hal, disepakati oleh Djamaluddin (22 tahun). Sebaliknya, Tabrani, yang saat itu berusia 22 tahun, menginginkan penggunaan istilah ‘Bahasa Indonesia’ dan bukan Bahasa Melayu.

Ketika situasi 2 berbanding 1 untuk penggunaan istilah �Bahasa Melayu� makin mengental dan menjelang diputuskan, datanglah anggota perumus lain, Sanusi Pane. Sastrawan ini rupanya lebih sepakat dengan istilah ‘Bahasa Indonesia’. Situasi tim berubah menjadi 2:2. Tim pun kemudian menunda penyelesaian soal itu dan ketiganya sepakat, rumusan itu akan dibawa ke Kongres Pemuda berikutnya, yang kedua. Itulah yang dikisahkan sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo. (Kompas 24 Oktober 1978). Kita tahu semua, putusan Kongres Pemuda Kedua yang berakhir pada 28 Oktober 1928 menggunakan istilah ‘Bahasa Indonesia’.

Putusan Kongres Pemuda ini tidak dinamai dengan ‘Ikrar Pemuda’ seperti yang diamanatkan perumus Kongres Pemuda Pertama, tetapi “Poetoesan Congres Pemoeda-pemoeda Indonesia”. Poetoesan ini, seiring dengan tingkat perjuangan kemerdekaan Indonesia, kemudian dinamai Sumpah Pemuda dan sering rumusannya menjadi ‘Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia’.

Yang ingin dibahas di sini bukan semata-mata tentang Sumpah Pemuda itu, tetapi juga penggunaan istilah ‘Bahasa Indonesia’. Kalau saja usul Tabrani, ketua panitia Kongres Pemuda Pertama, yang diterima, tentu Sumpah Pemuda tidak bertanggal 28 Oktober 1928 melainkan 2 Mei 1926. Atau, kalau rumusan MuhammadYamin yang diterima, Bahasa Indonesia akan menjadi ‘Bahasa Melayu’.

Siapa Tabrani yang mengusulkan penggunaan istilah ‘Bahasa Indonesia’? Dia wartawan dan ketika itu menjadi Pemimpin Redaksi Hindia Baroe. Posisi itu sudah dipegangnya setahun sebelum dia menjadi ketua panitia Kongres Pemuda Pertama itu. Di surat kabar yang terbit mingguan itu, Tabrani–juga aktifis Jong Java–dengan gamblang menggunakan istilah ‘Bahasa Indonesia’ untuk bahasa persatuan yang dicita-citakannya.

Pemuda kelahiran Pamekasan, Madura, 10 Oktober 1904 ini sejak awal menginginkan adanya bahasa persatuan yang tidak lain adalah bahasa Indonesia itu. Ini bisa kita tengok dalam tulisan-tulisannya di Hindia Baroe.

Istilah ‘Bahasa Indonesia’ mula-mula muncul pada tulisannya dalam rubrik ‘Kepentingan’–boleh disebut tajuk rencana Hindia Baroe–tanggal 10 Januari 1926 yang berjudul ‘Kasihan!’. Tabrani yang menyoroti tindak tanduk golongan Indo (keturusan campuran Eropa dan pribumi) ini ketika menerjemahkan sebuah syair dalam bahasa Belanda, dia menulis ‘Atau dalam bahasa Indonesia’.

Sikap memilih menggunakan istilah ‘Bahasa Indonesia’ ini kemudian dengan tegas dia tulis pada penerbitan 11 Februari 1926. Selain tulisan pada tajuk rencana (rubrik ‘Kepentingan’) di halaman 1 yang berjudul ‘Bahasa Indonesia’ terdapat tulisan di tempat lain dengan judul ‘Anak dan bahasa Indonesia’ yang ditulis oleh N.r.s, mungkin nama samaran.

Dalam ‘Bahasa Indonesia’ dia menyatakan bahwa bahasa adalah satu satu jalan untuk menguatkan persatuan Indonesia dan karena itu haruslah berikhtiar untuk memiliki satu bahasa ‘yang lambat laun akan dapat diberinya nama bahasa Indonesia’. Lalu tambahnya, pergerakan yang tak begitu keras dan lekas antara lain karena ‘kita tak mempunyai bahasa yang gampang diketahui oleh sekalian bangsa kita Indonesia’.

Apakah bahasa Indonesia? “Lain tidak dari bahasa Indonesia yaitu bahasa yang oleh kita pada masa ini dianggapnya bahasa yang dipakai sebagai bahasa pergaulan oleh bangsa kita kebanyakan,” tulisnya. Itulah bahasa yaang dipakai oleh perhimpunan Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia Merdeka di Negeri belanda, dan pers, tambahnya.

Bukankah bahasa Indonesia itu bahasa Melayu juga? “Dan jika bahasa Indonesia itu sungguh bahasa Melayu, tapi tak urung juga kita menyebutnya ia bahasa Indonesia dan bukan Melayu…Karena jika tidak begitu niscayalah bangsa kita yang tak mempunyai bahasa Melayu itu akan merasa terancam dalam bahasanya,” sambungnya.

Dia menyatakan, maksud gerakan menerbitkan bahasa Indonesia tidak lain agar persatuan anak Indonesia akan bertambah keras dan cepat. “Jika menyebutnya bahasa itu bahasa Melayu salahlah kita. Karena sebutan semacam itu seolah-olah dan mesti mengandung sifat imperialisme dari bahasa Melayu terhadap kepada lain-lain bahasa bangsa kita di sini,” tambah Tabrani, yang hampir selalu menulis dengan tambahan inisial D.I. (djurnalis Indonesia) di belakangnya.

Dia pun lalu menyerukan:
Bangsa dan pembaca kita sekalian!
Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu!
Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu!

Tabrani, yang lengkapnya Muhammad Tabrani Soerjowitjitro, memang pantas dicatat dalam sejarah perkembangan bahasa Indonesia. Juga tanggal ketika dia pertama kali mengusulkan penggunaan istilah ‘Bahasa Indonesia’.

TD Asmadi adalah Ketua Forum Bahasa Media Massa (FBMM)

Published in Bahasa Media