KBBI IV yang Membuat Penasaran

Oleh T.D. Asmadi

Seandainya saya menulis kalimat, “Setelah memirik badan saya, Bujang pergi ke dapur dan kemudian memirik lombok,” apakah pembaca mengerti maksudnya?

Saya berpendapat, sebagian besar tidak memahami kalimat tersebut. Kata memirik itulah yang menjadi sebab. Meski lema pirik, lalu menjadi memirik, sudah ada pada edisi I KBBI, kata itu asing bagi siapa pun. Saya yang setiap hari membaca berbagai surat kabar, kadang-kadang mendengarkan radio, dan berkali-kali menonton berbagai stasiun televisi belum pernah membaca, mendengar, dan menyaksikan kata itu.

Pirik dan bentukannya memirik memang sebuah kata yang asing bagi masyarakat, meski kata itu asli Indonesia. Pada semua edisi arti kata-kata itu tidak berubah. Memirik pada “Setelah memirik badan saya” berarti mencubit, sedangkan pada memirik lombok berarti melumatkan atau menumbuk lumat-lumat. Hanya ada perbedaan sedikit antara Edisi I dan Edisi II. Pada Edisi I baik lema pirik pertama maupun pirik kedua tidak disebutkan asal kata itu. Jadi, seakan-akan sudah menjadi bahasa Indonesia. Namun, pada Edisi II dan seterusnya pirik yang kedua diberi embel-embel Mk (Minangkabau), yang berarti kata itu berasal dari bahasa Minangkabau.

Perubahan pirik dari “bahasa Indonesia” menjadi “bahasa Minangkabau” tentulah satu dinamika, meski bukan dinamika yang menggambarkan perkembangan bahasa. Barangkali lebih tepat disebut perubahan pemahaman dari sang pembuat kamus. Atau, ditemukannya sebuah pengetahuan baru tentang kata itu.

Perubahan pada KBBI:
Seperti Pertandingan

Perubahan-perubahan semacam itu banyak saya temukan dalam KBBI. Pada edisi IV, misalnya, perubahan yang terkenal di kalangan aktivis media adalah kata perhati. Pada Edisi III, kata itu disebut kata dasar sehingga bentukannya adalah memerhatikan. Pada Edisi IV tidak ada lema perhati dan disebut asal kata itu adalah hati yang berubah menjadi berhati dan bentukannya memperhatikan. Media yang selama hampir delapan tahun menggunakan memerhatikan harus mengubah menjadi memperhatikan. Tentu pembaca yang tidak memahami menjadi bingung dan yang menjadi sasaran kebingungan adalah media.

Kata zuhur dan lohor sempat bergantian menempati posisi sebagai yang baku. Edisi I memberi kata zuhur tanda panah ke lohor. Artinya lohor yang dinilai lebih baku. Pada edisi berikutnya, posisi masih seperti itu. Namun, pada Edisi III terjadi perubahan, kata lohor diberi tanda panah ke zuhur, yang berarti zuhur yang lebih baku. Pada edisi terakhir juga sama. Jadi, jika dilihat dari penampilan kedua kata itu, posisi sekarang dua – dua (seperti pertandingan, ya?).

Perubahan lohor menjadi zuhur juga disertai penambahan arti. Kalau dua edisi awal hanya disebut lohor sebagai “waktu tengah hari,” maka pada zuhur ditambah dua pengertian lagi yaitu “waktu salat wajib setelah matahari tergelincir sampai menjelang petang” dan “salat wajib sebanyak empat rakaat pada waktu tengah hari sampai menjelang petang.” Pada makna yang ketiga itu huruf awal zuhur harus ditulis dengan huruf besar.

Kata lain yang berimbang munculnya pada KBBI adalah paro dan paruh. Pada dua edisi pertama paruh harus merujuk pada paro, sementara pada dua edisi lainnya paro harus dirujuk ke paruh. Apa arti paro yang pada edisi-edisi awal itu disebut lebih baku?

Mari kita tengok. KBBI I menyebut paro sebagai kata bilangan (numeralia) yang maknanya perdua atau paruh. Kata bentukannya adalah memaro (artinya membagi dua), paroan (belahan), pemaro (yang membagi dua; orang yang mengusahakan tanah orang lain dengan perjanjian setengah hasil), serta separo (setengah). Pada KBBI III dan IV paruh bermakna perdua, lalu bentukannya memaruh (sama dengan arti memaro di atas), pemaruh (sama dengan pemaro), paruhan (artinya selain belahan seperti pada paroan juga setengah bagian), dan separuh (sama dengan arti separo ditambah seperdua).

Yang baru pada paruh adalah gabungan kata paruh waktu (Edisi III) yang maknanya seperdua waktu atau sebagian waktu. Contoh kalimat untuk itu adalah “Untuk membiayai kuliah aku bekerja paruh waktu.” Selain paruh waktu, pada Edisi IV juga ditambahkan paruh baya yang diberi arti usia 40 tahunan. Untuk arti ini saya merasa kurang sreg. Menurut saya, yang tepat adalah separuh baya yang artinya setengah baya.

Bagaimana kamus-kamus bahasa Indonesia lain menulis tentang paro dan paruh? Kamus yang menjadi sumber KBBI dan juga Kamus Dewan (Terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia), Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI, Edisi III Cetakan III, 2007) tidak membedakan paro dan paruh. Hanya saja pada paro diikuti singkatan Jw yang berarti kata itu berasal dari bahasa Jawa. Pada Kamus Dewan tidak muncul kata paro, hanya paruh.

Yang juga berubah artinya, meski hanya pada edisi yang terakhir, adalah kritis. Pada edisi III, bentukan dari kritis hanya mengkritis dan kekritisan. Pada edisi terakhir dari kata itu muncul juga bentukan mengkritisi, yang artinya “menganalisis secara tajam, berusaha menemukan kesalahan atau kebenaran; mencermati.” Masuknya mengkritisi jelas bertolak belakang dengan pandangan Pusat Bahasa sebelumnya seperti tercantum dalam Lembar Komunikasi No. 6 edisi November-Desember 2004. Di situ ditulis “mengkritisi merupakan bentuk yang salah karena seharusnya mengkritik….”

Juga muncul kata menggadang-gadang (artinya mengusung, mengharapkan) dan digadang-gadang (Jw, maknanya diharap-harapkan, dijadikan harapan banyak orang). Adanya dua kata itu menjadi tanda tanya karena kata dasarnya, gadang, disebut sebagai berasal dari Minangkabau (Mk) dan bentukan kata itu yang asli menggadang, artinya adalah menyombongkan diri. Saya berpendapat, dalam arti mengusung atau mengharapkan, menggadang-gadang merupakan bentuk aktif dari digadang-gadang. Kata digadang-gadang ini hanya ada dalam bahasa Jawa.

Sama dengan itu adalah kata menghelat. Pada KBBI III kata menghelat berarti menipu atau memperdayakan dan berasal dari kata dasar helat yang artinya tipu muslihat, tipu daya atau akal, atau dalih, alasan. Pada KBBI IV muncul menghelat yang bermakna menyelenggarakan atau menggelar. Jauh sekali dengan kata asli helat (yang lain) yang berarti orang yang datang menghadiri pesta perkawinan dsb., tamu atau pesta perkawinan atau perhelatan. Kamus Dewan terbitan Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia (Edisi IV 2007) tidak menyertakan kata helat dalam arti apa pun. Mereka mencantumkan kata helat dengan tanda panah ke helah. Makna helah sendiri adalah akal, muslihat, tipu daya, atau alasan yang dibuat-buat, dalil. Yang ditulis Kamus Dewan tidak berbeda dengan arti helat yang ada pada KBBI III, juga KUBI Badudu-Zen, KUBI Poerwadarminta (Edisi III 2006), Kamus Modern Bahasa Indonesia (St. Moh. Zain [1956?]), Kamoes Indonesia (E. St. Harapan 1942), Baoesastra Melajoe-Djawa (Sastrasoeganda). Semuanya bertumpu pada helat yang bermakna tipu dan perhelatan dalam arti pesta.

Jadi, dari kata dasar apa menghelat yang berarti menyelenggarakan atau menggelar?

Sekarang mari kita mengamati lema lain: lema dari bahasa Malaysia yang ada pada dua edisi terakhir. Kata kad pada kedua edisi itu artinya ditulis singkat, yaitu karcis. Tepatkah kad disebut karcis? Sebelum ke Kamus Dewan terbitan Malaysia untuk mencari rujukan kata itu, kita cari dulu arti karcis di kamus kita. KBBI IV menulis karcis sebagai “surat kecil (carik kertas khusus) sebagai tanda telah membayar ongkos dsb. (untuk naik bus, menonton bioskop dsb.).”

Kamus Dewan menulis kad dengan “keping (an) kertas yang agak tebal dan keras (biasanya berbentuk empat persegi).” Gabungan kata dari kad bisa berupa Kad Hari Raya (kad untuk mengucapkan selamat Hari Raya), kad kredit (kartu kredit), atau kad kuning (digunakan wasit).

Nah, tentu saja, dengan demikian, mengartikan kad dengan karcis jauh dari makna yang ditulis bahasa aslinya. Kad sendiri dalam bahasa Malaysia pasti merupakan “serapan” dari bahasa Inggris card, sama dengan tayar untuk tyre, yang di Indonesia berarti ban.

KBBI sendiri memiliki kata-kata asing yang hanya diserap secara fonologis. Selain pada adres, afair, dan ambasador, seperti pernah dikupas dalam suatu seminar tentang “Bedah KBBI” di Jakarta, saya juga menemukan kata-kata lain, misalnya perfek (perfect). Saya tidak tahu apakah menyerap mentah-mentah kata itu untuk memperkaya bahasa Indonesia ataukah untuk makin majunya bahasa kita. Padahal, sudah ada yang artinya sama dengan kata itu, yaitu sempurna. Saya khawatir orang lupa pada kata sempurna dan hanya menggunakan perfek agar disebut lebih modern. Sama khawatirnya dengan munculnya kata-kata Inggris dalam masyarakat untuk kata-kata yang sudah ada dalam bahasa Indonesia, misalnya request untuk permintaan atau idol untuk idola. (Yang dua ini beruntung belum masuk KBBI IV).

Lebih Banyak Tambahan Kata
dari Bahasa Daerah dan Bahasa Asing

Selain hal-hal yang dapat disebut “kekurangan” itu tadi, KBBI IV menampilkan banyak hal baru yang patut diacungi jempol. Misalnya, kini masuk lebih banyak bahasa daerah (kini berasal dari 76 bahasa daerah, dibandingkan dengan 11 pada KBBI Edisi III) dan juga lebih banyak bahasa asing (kini 20, dulu 14). Bahasa-bahasa yang memberi tambahan kata pada bahasa Indonsia berasal dari Denmark, Ibrani, Kawi, Norwegia, Perancis, dan Rusia. Sebelumnya hanya dari Arab, Belanda, Cina, Inggris, Italia, Jerman, Latin, Parsi, Portugis, Skotlandia, Sanskerta, Jepang, Spanyol, dan Yunani. Tentu untuk itu tim penyusun harus bekerja lebih keras.

Kini juga diterakan tujuh dialek Melayu, bertambah lima dibandingkan dengan dua saja pada KBBI III. Penambahan dialek Melayu Jambi, Kalimantan, Medan, Manado, dan Riau pada dialek Melayu Jakarta dan Malaysia memberi pemahaman yang lebih baik terhadap bahasa asal bahasa kita itu.

Masuknya kata-kata dari bahasa daerah tentu juga perlu memperoleh penghargaan tersendiri, meskipun menimbulkan tanda tanya tentang ukuran atau syarat apa yang membuat kata daerah itu masuk. Apakah karena sering disebut atau ditulis di media massa atau karena alasan lainnya? Saya mendapatkan kata-kata baru dari bahasa Sunda seperti aom (halaman 79), ngabuburit (halaman 226) dari lema asal burit yang sudah ada pada KBBI III), lalu cunihin (halaman 280), goyobod (halaman 461), gurandil (halaman 468), dan jatnika (halaman 570). Sayang, saya tidak menemukan keukeuh atau kadeudeuh yang sudah banyak beredar baik dalam percakapan sehari-hari maupun di media massa elektronik dan cetak. Ini menjadi pertanyaan, mengapa kata-kata itu tidak muncul di KBBI IV?

Dari pengamatan sekilas, selain dari bahasa Jawa, yang paling banyak masuk adalah kata-kata dari bahasa Minangkabau dan Madura. Dari Madura misalnya ada gundungan (encok di leher), gudangan (menangkap ikan pada malam hari), janten (jagung yang masih muda).

Masuknya bahasa-bahasa daerah ke KBBI tentu menambah perbendaharaan kata. Namun, berkaitan dengan bahasa daerah saya juga heran mengapa kulon (754) dan wetan (1561) dimasukkan tanpa embel-embel Jw (yang menandakan berasal dari bahasa Jawa), sementara kidul (696) dan lor (842) menyertakan Jw. Apakah berarti wetan dan kulon terdapat di semua bahasa daerah, sementara kidul dan lor hanya ada pada bahasa Jawa? Bukankah kidul juga terdapat dalam bahasa Sunda? (Lor disebut Kamus Basa Sunda R.A. Danabrata sebagai bahasa Kawi, dan bahasa Sundanya kaler).

Wartawan adalah profesi yang paling tinggi pergulatannya dengan bahasa. Dibantu oleh redaktur dan penyelaras bahasa dalam penyelesaian akhir, mereka setiap hari memilih dan menyusun kata-kata untuk menjadi informasi yang disampaikan kepada orang lain. Dengan topik dan wacana yang tiap hari berganti, mereka adalah seniman dalam kata-kata ini.

Tidak heran wartawan sering bereksperimen dengan kata-kata, bahkan memunculkan kata-kata baru. Dalam catatan, wartawanlah yang mulai mengetengahkan kata gengsi (Rosihan Anwar), heboh (Moh. Sjafaat), dangdut (Putu Wijaya), atau tutup usia (P. Swantoro). Tentu masih banyak lagi yang lain, seperti rudal yang dimulai oleh teman-teman di kantor berita Antara. Kata merumput, menghelat, dan menggadang-gadang padca awalnya muncul di media massa. Kata-kata itu merupakan rekayasa wartawan untuk bermain, menggelar, dan mengharap-harapkan.

Saya yakin, penyusun KBBI memasukkan tiga kata itu pada edisi terakhir karena sering mendapatkan kata itu dalam media. Saya tidak tahu apakah sudah “diuji” kebenaran kata-kata itu dari berbagai sudut. Saya sendiri sangsi tentang ketepatan kata menghelat dan menggadang-gadang. (Lihat bagian sebelumnya di makalah ini)

Saya juga sangsi dengan memasukkan kata prabayar dalam makna “bayar lebih dulu sebelum memakai” (kata-kata dari saya). Prabayar, menurut saya, adalah terjemahan yang keliru dari prepaid. Arti prepaid menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary adalah paid or paid for in advance. Menurut saya, lebih tepat diterjemahkan dengan bayar dulu atau bayar di muka, tetapi tidak dengan prabayar.

Masuknya bahasa-bahasa lain menunjukkan kamus ini mendekati “besar”-nya kamus yang dimaksud. Kamus besar adalah kamus yang mencatat kekayaan bahasa sampai pada waktu tertentu, yang disusun dalam bentuk lema atau entri, lengkap dengan segala nuansa warnanya. Begitu yang ditulis pada “Latar Belakang Perkamusan Indonesia” yang menjadi salah satu bagian KBBI IV. Tambahan catatannya adalah: Nuansa makna diuraikan dalam bentuk definisi, skripsi, contoh, sinonim, atau parafrasa. Uraian itu juga disertai dengan label pemakaian suatu kata atau maknanya (label ragam bahasa); atau label daerah atau kelompok sosial pemakaian suatu kata dan maknanya (label dialek regional atau dialek sosial); kata itu dipakai atau tidak dan jika dipakai di mana pernah dipergunakan (label dialek temporal); dan dengan etimologi yang menjelaskan perkembangan bentuk dan makna sejak permulaan kata itu dipakai dalam bahasa.

Dalam tulisan dengan judul yang sama pada KBBI Edisi III, kamus besar disebut sebagai kamus standar. Sudahkah KBBI mencapai kamus standar? Tidak dicantumkannya lagi “kamus standar” mengindikasikan tidak (atau belum) ingin dicapainya sebutan kamus besar dalam arti sesungguhnya: yang menjadi acuan orang jika ingin memahami kata-kata dalam bahasa Indonesia. KBBI baru sekadar mencatat yang beredar di masyarakat, baik yang ada di media cetak mapun di media lainnya. Itu pun kadang-kadang masih dipertanyakan syarat-syaratnya, ukurannya, prosesnya, dan manfaatnya.

Bagi media, yang diperlukan adalah kamus dengan ketepatan yang tinggi, kemantapan arti yang baik, dan kelenturan untuk menerima perkembangan dalam bahasa. Meski memang bahasa tidak mati dan selalu berkembang, kami tidak ingin setiap kali terbit kamus baru, banyak kata dan makna kata yang berubah. Fungsi media sebagai pendidik akan berkurang banyak jika kami terus-menerus atau hanya dalam waktu singkat mengubah arti sebuah kata, begitu juga bentukan-bentukannya.
Kamus besar dalam bentuknya yang sekarang masih membuat kami penasaran karena kami harus memilih di antara kata yang baku dan yang tidak baku yang ada pada kamus itu. Semoga KBBI berikutnya–atau sebuah kamus baku yang berbeda dengan kamus besar–tidak membuat kami penasaran.

Bahan bacaan:
1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I sampai Edisi IV.
2. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta, Edisi I, II, III.
3. Kamus Dewan, Edisi III dan IV Cetakan II.
4. Berbagai kamus lain dari yang cetakan sebelum Kemerdekaan RI sampai yang tahun 2000-an.

T.D. Asmadi adalah pengajar LPDS

Published in Bahasa Media