Banjir Bandang Istilah Asing: Di Mana Jati Diri Bangsa?

Bahasa tidak sekadar susunan kata-kata, tetapi di dalamnya terkandung jati diri pemiliknya. Perkembangan penggunaan bahasa turut pula menentukan arah sebuah bangsa. Karena itu, banjir bahasa asing yang terbawa globalisasi harus disikapi secara hati-hati, kapan sebagai “lawan” atau “kawan” bagi bahasa sendiri. Di sini ada persoalan bagaimana warga bangsa Indonesia memahami kebudayaannya sebagai bagian dari enam miliar lebih penduduk dunia.

Seri lokakarya hari kedua untuk memperingati ulang tahun ke-21 LPDS memilih tema “Banjir Bandang Istilah Asing: Di Mana Jati Diri Bangsa?” yang digelar Rabu, 22 Juli 2009. Hadir sebagai pembicara Anton M. Moeliono (pakar bahasa), Arief Rachman (pakar pendidikan, ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO), dan Desi Anwar (wartawan senior Metro TV). Sedangkan Mulyo Sunyoto (wartawan Antara) sebagai moderator. Berikut transkripnya:

Mulyo Sunyoto (Moderator)

Lokakarya ini menghadirkan tiga pembicara: Pak Anton M. Moeliono, Desi Anwar, dan Pak Arief Rachman. Dari internet bisa diperoleh informasi mengenai ketiganya.
Jerome Samuel yang menulis disertasi berjudul Kasus Ajaib Bahasa Indonesia, Pemodernan Kosakata dan Politik Peristilahan menyebut Pak Anton sebagai tokoh penting politik bahasa Indonesia sejak awal tahun 1960-an. Ia menyatakan, disertasinya merupakan contoh kemampuan bahasa Indonesia memodernkan diri dengan mengembangkan sumber kekayaan sendiri. Pujian yang lebih pintar lagi, Pak Anton disebut tak menggunakan satu pun kata pungutan dan memakai istilah Indonesia yang kebanyakan neologisme ciptaannya sendiri. Belakangan neologisme yang diciptakan Pak Anton adalah wartamerta untuk menggantikan obituari.

Data mengenai Desi Anwar dapat diambil dari Wikipedia—sekalian menguji Wikipedia benar atau tidak. Menurut Wikipedia, Desi Anwar lahir di Bandung 11 Desember 1962. Ia adalah presenter berita terpandang di Indonesia. Bekerja untuk RCTI di Jakarta sejak 1990 sampai 1991. Pernah juga bekerja di SCTV, kemudian pindah ke situs astaga.com sebelum pindah ke stasiun televisi berita pertama di Indonesia, Metro TV.

Mengenai Pak Arief Rachman, sebelum membacakan data dari Wikipedia saya memiliki kesan mendalam dengan Pak Arief ketika di bulan Ramadhan beliau mewawancarai Nurcholish Madjid (Cak Nur). Begitu tertibnya pertanyaan-pertanyaan dari Pak Arief sehingga Cak Nur pun menjawab dengan brilian. Benar kata orang, yang penting dalam ilmu itu bukan jawaban tapi pertanyaan. Kalau pertanyaannya bagus pasti akan keluar jawaban yang bagus.

Pak Arief lahir di Malang 11 Juni 1942. Pada 22 Mei 2007 dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Negeri Jakarta dengan orasi berjudul “Kepunahan Bahasa Daerah karena Kehadiran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris serta Upaya Penyelamatannya.”

Anton M. Moeliono (Pembicara)

Di dalam makalah, saya coba mengungkapkan prakondisi bahasa Indonesia, mengapa di samping kecemerlangan perkembangannya di media massa, tapi juga ada kesemrawutan di masyarakat. Hal yang jarang dibicarakan di media, apalagi di sekolah karena guru pada umumnya tidak tahu, yaitu sebab musabab mengapa secara paradoksal bahasa Indonesia dapat disebut bahasa yang mudah, tapi menurut orang asing non-Indonesia sukar. Mudah, sekaligus sukar. Apa sebabnya?

Penyebabnya, mayoritas warga bangsa Indonesia selama berabad-abad tidak diberi pendidikan. Pada tahun akhir-akhir ini pun UNESCO menyatakan masih ada 30 persen warga bangsa ini yang niraksara—mereka tidak buta, tetapi tidak memiliki aksara. Di antara masyarakat Indonesia itu, pada tahun 2005 atau lima tahun sesudah sensus penduduk terakhir, angkatan kerja di atas 50 tahun sebanyak 60-70 persennya hanya memiliki ijazah Sekolah Dasar (SD).

Kalau dihadapkan pada angka-angka seperti itu, akan menjadi mafhum, mau apalagi sebenarnya mengharapkan bahasa Indonesia dikuasai oleh masyarakat jika orang hanya mempunyai ijazah SD. Kapan orang terpajan pada bahasa Indonesia di Sekolah Dasar kalau bahasa daerah dipakai di tiga kelas pertama? Sudah barang tentu orang Indonesia dewasa rata-rata tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang tata bahasa Indonesia.

Ada bahasa Indonesia dasar (bahasa Indonesia kerakyatan) yang dipakai tanpa belajar, diperoleh tanpa harus masuk sekolah, karena percakapan atau permainan. Kita baru berkenalan dengan bahasa Indonesia yang teratur sejak masuk di bangku sekolah. Kita sering tidak sadar bahasa Indonesia mempunyai dua ragam pokok: satu ragam pokok dasar atau apa yang dulu disebut bahasa Melayu dasar, dan bahasa Indonesia formal yang adab atau teratur yang merupakan lapisan epis di atasnya.

Bahasa Indonesia dasar dipakai untuk percakapan sehari-hari, dipakai dalam aktivitas tawar menawar. Sedang ragam bahasa Indonesia yang formal dipakai untuk situasi yang resmi. Dugaan saya, tidak ada sebuah keluarga di Indonesia pun yang mendidik anak-anaknya dengan bahasa Indonesia formal. Tidak akan terjadi percakapan bahasa Indonesia di meja makan sekeluarga, lalu orang minta sayur lodeh dengan mengatakan “bisakah kau berikan sayur lodeh pada saya?”—hal yang akan disaksikan di film-film luar negeri: “please ask me lodeh.” Dan anak-anak saling berterima kasih. Kapan kita mengucapkan terima kasih? Kepada pembantu rumah tangga jarang kita mengucapkan terima kasih, sedangkan di budaya bahasa Inggris sudah menjadi kebiasaan.

Inilah sebenarnya yang harus kita atasi: mengurangi kesenjangan antara ragam dasar yang belepotan dan ragam formal yang kurang dikembangkan di dalam sistem persekolahan. Berbeda dengan cabang ilmu pengetahuan alam, khususnya di dalam bidang ilmu budaya atau humaniora, sepertinya kita selama 40 tahun lebih berjalan di tempat. Jika diperhatikan pelajaran oral, mengajarkan bahasa Indonesia dari tahun 1960 sampai 2000 nyaris tidak berbeda. Kita tidak berkembang di dalam penelitian kaidah-kaidah bahasa Indonesia.

Jadi, jika kadang-kadang di surat kabar terjadi salah nalar atau salah bernalar; maka itu mungkin harus dikembalikan kepada sebabnya, yaitu kurang ada pajanan terhadap bahasa Indonesia yang baik.

Sekarang kita menghadapi globalisasi dan melihat akibatnya—terutama di bidang ekonomi, politik, dan industri ada pasar bebas. Sebaiknya dibedakan globalisasi dari internasionalisasi. Saya berat ke internasionalisasi karena Indonesia harus merasa dirinya jadi warga dunia. Kita berhubungan dengan bangsa-bangsa lain. Kita coba untuk berkembang dengan bantuan orang lain, tetapi kedaulatan tetap dipertahankan.

Di dalam globalisasi seakan-akan kita dibanjiri dan tidak berdaya. Antara lain, kuasa globalisasi itu memperkenalkan bahasanya. Secara mencolok pertemuan ini mengambil tema banjir bandang istilah asing dalam bahasa Indonesia. Di dalam hukum globalisasi ternyata yang kuat menang, sedang yang kalah minggir atau diminggirkan. Sekarang bisa dilihat di ibu kota, bukan semata-mata di jalan atau gedung mewah, tetapi juga di rumah makan. Jika di Shangrila minta kopi es, jawabnya tidak ada. Yang ada ice coffee. Sudah sesuatu yang didoktrinasi bahwa jika di menu ditawarkan dalam bahasa Inggris maka yang meminta juga dalam bahasa Inggris. Sedangkan bahasa Indonesianya malah jadi asing bagi pramusaji.

Sebab yang kedua, di dalam globalisasi—karena arus modal dan jasa bebas keluar masuk—di satu pihak kita harus berterima kasih pada pihak swasta yang menghidupkan dan mengembangkan ekonomi, di pihak lain akibat yang buruk ialah karena pengusaha dan pedagang kita harus bekerja sama dengan mereka yang memiliki modal besar dan pengetahuan di Singapura, Kuala Lumpur, Hongkong. Kebetulan orang-orang yang punya modal dan visi di Singapura atau Hongkong itu tidak mengerti bahasa Indonesia. Supaya bisnis berjalan maka orang Indonesia mengalah, lalu dipakai bahasa Inggris.

Pada umumnya pengusaha dan pebisnis Indonesia ikatan emosionalnya terhadap bahasa Indonesia tidak bagus. Bagi pebisnis, bahasa apa pun dipakai asal mempromosikan produknya. Di sinilah kita lihat—saya tidak bisa membuktikannya, tapi yang saya dengar dari bos saya—ketika diusulkan kepada presiden dan wakil presiden untuk mengembalikan wajah keindonesiaan di Ibu Kota seperti di zaman Soeharto tahun 1995, jawabannya “jangan, sebab nanti investasi akan lari.” Seakan-akan pemodal asing akan berhenti menanam modal karena hanya bahasa Indonesia yang disyaratkan. Padahal kita tahu, antara lain, keengganan orang menanam modal di Indonesia akhir-akhir ini bukan karena bahasa, tetapi karena keamanan, karena penduduk tidak mengerti bahasa Inggris sehingga mereka harus mendatangkan staf khusus, dan prosedur perizinan yang segala-galanya ada “amplopnya”. Akibatnya, kita, termasuk pengusaha, tidak pernah menjadi bangga memiliki bahasa Indonesia. Ternyata dalam soal bahasa Indonesia kita sedang mengindonesia.

Marilah kita bertanya masing-masing dalam hati, selaku kepala keluarga atau ibu keluarga, pernahkah mengoreksi pemakaian bahasa Indonesia anak-anak kita. Pertanyaan yang sama, pernahkah kita mengoreksi pemakaian bahasa daerah jika ada yang melanggar. Misalnya jika anak kita dalam bahasa Jawa mengatakan “aku arep siram” (saya mau mandi), maka ibunya langsung berkata untuk mengoreksi “oh, koe arep adus to” (oh, kamu mau mandi ya) (karena kata siram tidak boleh digunakan untuk menyebut diri sendiri). Jika anak menggunakan bahasa Indonesia “iya, inikan sudah ditulis sama saya,” dibiarkan saja, tidak diperbaiki.

Di sini terlihat begitu banyak berita untuk pengembangan bahasa Indonesia yang patut dibanggakan, tetapi sebenarnya nilainya masih kalah terhadap bahasa daerah. Apalagi bahasa daerah yang besar seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang—ada 12 bahasa daerah yang terpandang. Di antara ratusan bahasa daerah, paling-paling hanya ada 14 yang tuturnya pasti tidak akan punah.

Perlu ada reorientasi terhadap bahasa Indonesia. Dan mereka yang bekerja di media pers adalah ujung tombak karena ada setiap hari dan lebih berkuasa untuk memengaruhi perkembangan bahasa Indonesia.

Mulyo Sunyoto

Menarik apa yang disampaikan Pak Anton. Khusus untuk kalangan jurnalis, persoalan ini menjadi tantangan. Sebetulnya pertarungan di ruang redaksi, antara orang yang ingin mempertahankan bahasa Indonesia dan redaktur yang sembrono dengan bahasa Indonesia, juga keras sekali.

Saya pernah menulis di kolom Kompas mengenai kata agar. Sudah menjadi kelaziman ada kalimat seperti guru agar dinaikkan honornya atau Presiden agar memperhatikan nasib petani atau warga agar dibebaskan dari buta huruf. Agar yang seharusnya merupakan partikel konjungsi sudah berubah menjadi adverbial yang berarti harus. Kalau diteruskan, sebenarnya pilihannya ada dua: apakah kita anggap sebagai perkembangan evolusioner bahwa konjungsi itu pun bisa melebar perannya sebagai adverbia. Atau, seperti di dalam buku yang ditulis Pak Anton berjudul Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, tidak memberi kemungkinan bagi si agar untuk berperan sebagai adverbial.

Arief Rachman (Pembicara)

Ketika diminta untuk berbicara mengenai bahasa dan jati diri bangsa, kemudian ada Pak Anton Moeliono, saya agak takut. Beliau memang membuat orang “takut” bicara. Sebab beliau itu benar, baik, baku. Sedangkan saya tidak pernah berpikir apakah harus berbicara seperti itu. Ketika Pak Anton memberi sambutan saat meninggalnya seorang ahli bahasa Inggris, Dr. Gunawan, teman saya mengatakan, “indah betul tutur bahasanya. Luar biasa begawan bahasa ini.”

Pertemuan seperti ini sering kali terjerembab, hanya menjadi ajang berkeluh kesah jika tidak mempunyai energi atau kekuatan positif untuk melihat sesuatu lebih dari yang harus disyukuri. Maka pertemuan ini harus bisa dibuat menjadi titik balik untuk sadar dan bangkit.

Mari melihat sembilan kesalahan yang kita miliki dalam berbahasa. Pertama, pendidikan bahasa yang diberikan di sekolah formal terlalu menekankan masalah pengetahuan bahasanya dan tidak mengembangkan kemahiran berbahasa menulis atau berbicara. Itu sebabnya banyak anak-anak yang nilai bahasa Inggrisnya lebih tinggi daripada bahasa Indonesia. Mereka melihat bahasa Indonesia sebagai sesuatu yang sangat kognitif di dalam ilmu pendidikan. Sama sekali tidak mengajak orang untuk berafektif dan bisa mengundang gugahan emosi.

Kedua, di dalam memperingati sejarah bahasa, kita terlalu ritualitas. Umpamanya, hari Sumpah Pemuda. Bukankah di situ ada yang disebut satu bahasa? Hal itu tidak ditangkap sebagai modal bangsa untuk kembali lagi seperti dahulu bahwa bahasa adalah kekuatan untuk memerdekakan bangsa. Kesadaran tersebut sangat kurang karena memperingatinya terlalu ritualitas.

Ketiga, kalau ditinjau dari ilmu bahasa sosial (sosiolinguistik), memang terjadi diskriminasi. Saya mendiskusikan masalah bom dengan beberapa kelompok. Ketika berkelompok dengan teman-teman bisnis, semua berbahasa Inggris. Tapi, begitu bertemu dengan teman-teman dari kalangan spiritual, bahasa Inggrisnya tidak ada (menggunakan bahasa agama). Ternyata di dalam pergaulan kita ada kelompok masyarakat yang sudah mematenkan dirinya sebagai komunitas berbahasa internasional.

Keempat, strategi pendidikan. Saya pernah menjadi kepala sekolah beberapa tahun dan memperhatikan reaksi orang tua. Mereka senang kalau anaknya masuk di jurusan IPA dan sedih kalau di jurusan Bahasa. Di dalam komunitas sekolah dan orang tua, jurusan Bahasa termarjinalkan.

Saya sekarang membina satu sekolah dengan 3.500 anak duafa, yaitu anak tukang ojek, tukang cuci pakaian, tukang gali kuburan. Ada yang menarik. Banyak sekali anak yang memilih kelas IPA dan IPS. Sedangkan 21 anak dengan gegap gempitanya memilih Bahasa. Rapat pimpinan sekolah memutuskan untuk membubarkan kelas itu sebab jumlahnya hanya 21 anak. Katanya terlalu mahal dan ada kekurangan sampai Rp5 juta per bulan. Saya katakan, meskipun hanya satu anak, tetap harus dibuka program Bahasa. Saya akan carikan Rp5 juta itu agar anak tetap berhak mengambil program yang memang diinginkan. Ini adalah politik.

Dinas Pendidikan Nasional memiliki kebijakan bahwa kelas yang diisi kurang dari 25 anak harus ditutup sehingga anak yang mengambil jurusan yang kebetulan tidak banyak peminatnya harus mau pindah ke jurusan lain. Anak itu bisa tertekan. Anak-anak sangat senang bahwa kelas Bahasa mereka tidak jadi dibubarkan. Mereka bertanya, “nanti kalau dari kelas Bahasa terus menjadi apa ya Pak?” Saya coba membuat kreativitas, “kalau kamu di kelas Bahasa kamu akan menjadi diplomat.” Saya memberi mimpi kepada mereka agar terinspirasi. Inilah perjuangan di kelas bawah.

Masalah hidup matinya bahasa jangan dipisahkan dari politik dan ekonomi. Di Jakarta Timur hanya ada dua sekolah yang memiliki jurusan Bahasa, yaitu SMA 31 dan SMA Diponegoro. Dari pendidikan formal saja sudah ada pelanggaran hak asasi manusia.

Kelima, saya berteman dengan beberapa orang Eropa dan Amerika. Apa yang disebut orang berbudaya di sana? Kalau orang politik berkumpul maka yang dibicarakan pertama adalah masalah lukisan, misalnya karya Van Gogh. Harus mengenalnya, sehingga sebelum pergi ke pesta harus dipelajari dulu apa itu Van Gogh. Sebab itulah yang nanti menjadi materi dan menu suguhan orang-orang berbudaya. Kemudian juga mengenai lagu dan konser. Yang ketiga mengenai sastra seperti Shakespeare. Itulah yang menjadi tolok ukur orang-orang yang sukses.

Di Indonesia orang yang sukses lebih pada ukuran ekonomi daripada berbudaya. Karena itu, mudah-mudahan tidak hanya terdidik tapi beradab. Maksud saya, banyak orang terdidik tapi tidak beradab.

Kenapa orang asing yang datang ke Indonesia tidak selelah kalau mereka datang ke Jepang? Sebab kalau ke Jepang mereka harus belajar bahasa Jepang. Sedangkan orang Indonesia senang berbahasa asing dengan orang asing. Sehingga orang asing mengeluh sukar mempraktikkan bahasa Indonesia karena orang Indonesia lebih senang berbahasa asing. Mereka memiliki kesempatan belajar bahasa dari sopir atau pembantu rumah tangga yang memang tidak bisa berbahasa Inggris. Jadi, bahasa sopir atau pembantu rumah itulah yang ditangkap orang asing.

Bahasa tidak hanya diajarkan secara turun temurun, tapi juga kebijakan. Ada kekuatan politik yang kuat. Bahasa adalah refleksi dari identitas yang kokoh sehingga bisa menunjukkan kepribadian seseorang. Saya punya pengalaman masuk penjara beberapa kali. Karena itu, saya sering berbicara dengan pembunuh, pencuri, pencoleng. Di antara mereka banyak sekali yang bahasa Indonesianya sangat santun, padahal pembunuh. Dari sisi psikolinguistik, adakah korelasi antara baik budi bahasa dengan perilaku seseorang? Persoalan ini harus kita terobos.

UNESCO mengatakan, 90 persen penduduk dunia memakai hanya 4 persen bahasa di dunia. Berarti 96 persen bahasa di dunia hanya dipakai oleh 10 persen manusia di dunia. Untuk itu kita perlu mempunyai beberapa prinsip: penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian bukanlah sikap anti bahasa asing. Penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian harus dicarikan padanan katanya yang sesuai, atau mengindonesiakan istilah-istilah asing. Penggunaan bahasa merupakan simbol kepemilikan budaya bangsa yang kokoh.

Ada titik-titik positif. Pertama, bahasa Indonesia masih dipakai di sekolah. Semua guru dari Sabang sampai Merauke berbahasa Indonesia. Kedua, berita media massa masih menggunakan bahasa Indonesia—kecuali sinetron. Demikian juga di seminar atau talkshow (tayang bincang). Sebagian besar jurnalis masih berbahasa Indonesia yang baik. Di pengadilan, kedokteran, stasiun, atau lapangan terbang, masih terdengar pengumuman-pengumuman dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Bahasa Indonesia masih memiliki kekuatan di bangsa ini. Tapi, sekarang harus cepat diselamatkan dari sembilan kelemahan yang saya sampaikan di awal.

Mulyo Sunyoto

Uraian Pak Arief begitu tajam.

Desi Anwar (Pembicara)

Saya tidak punya cukup keahlian dibanding kedua profesor yang menjadi pembicara di sini. Namun, paling tidak saya bisa berkontribusi karena saya bisa berbahasa asing, salah satunya bahasa Inggris. Ayah saya juga profesor sosiolinguistik. Mengenai bahasa, beliau sangat ketat, sedikit salah ucap beliau akan mengoreksi.

Salah satu yang membuat saya bingung ketika pulang ke Indonesia dan melakukan siaran di televisi, ternyata ada beberapa kata yang sepemahaman saya bahasa Inggris, namun harus diucapkan dalam bahasa Indonesia karena sudah menjadi bahasa Indonesia. Misalnya visa, bank. Ada banyak lagi contoh yang karena saya mengenalnya sebagai bahasa Inggris maka saya melafalkannya dengan bahasa Inggris dan ternyata salah. Banyak sekali misteri dan terasa lucu bagi orang yang mengamati bahasa Inggris. Sekarang saya merasa secara sadar harus mengatakannya dalam lafal bahasa Indonesia.

Orang sering menyebut kata target menjadi tarjet. Sekarang pembantu atau sopir suka mengatakan oke, atau kalau minta maaf mengatakan sorry. Sulit mengoreksinya. Contoh lagi, ada satu tempat di Kemang namanya papio (kupu-kupu). Tapi, orang di sana tahunya papilon. Cukup membingungkan. Saya pesan teh hijau di satu restoran, tapi pelayannya mengatakan tidak tersedia, yang ada green tea. Padahal maksudnya itu.

Persoalan bahasa asing dalam jurnalistik, setelah 20 tahun di dunia pers, saya menilai bahasa jurnalistik bukanlah contoh bahasa yang baik untuk bahasa Indonesia dan bahasa asing. Bahasa jurnalistik sangat dipengaruhi, bahkan dirusak, menjadi bahasa yang penuh jargon, klise, dan journalese.
Journalese merupakan bahasa yang sangat buruk. Misalnya, ada berita “Purwakarta Tertibkan Guru Tidak Tetap,” “Mega Kuningan Kembali Menggeliat,” atau “Rupiah Tetap Perkasa.” Bahasa ini dari segi mana pun tidak bagus, tidak ada aspek mendidik ataupun indah. Sedangkan bahasa jargon akhirnya tidak punya arti, apalagi jargon politik di mana orang miskin tidak pernah disebut sebagai miskin, tapi “orang dari ekonomi kurang mampu.” Sedangkan klise, misalnya api disebut “si jago merah.” Bahasa jurnalistik bukan salah satu contoh penggunaan bahasa yang baik, apalagi ada singkatan-singkatan, seperti curanmor, yang tidak bagus dalam bahasa Indonesia.

Kata asing digunakan sehari-hari terkadang karena lebih mudah dipahami dibanding bahasa baku. Misalnya, kata pengarusutamaan atau terpajang masih terasa asing dan tidak banyak diucapkan. Bahasa Inggris yang sering diucapkan contohnya straight to the point, on the way, event, gossip.

Ada beberapa kata yang mengganggu saya, seperti pengucapan event. Kemudian ada kalimat golden shake hand, yang sebenarnya adalah golden hand shake. Golden hand shake, artinya sesuatu yang diberikan kepada orang yang akan pergi setelah beberapa tahun berjasa bekerja di suatu perusahaan. Orang itu mendapat golden hand shake sebagai ucapan terima kasih. Tiba-tiba timbul istilah golden shake hand—mungkin ini adalah bahasa Inggris yang diindonesiakan dan kemudian diinggriskan kembali. Hand shake artinya salaman. Kata gosip adalah kata Inggris yang sudah menjadi bahasa Indonesia. Lalu check and balances sebenarnya tidak ada. Yang ada check and balance.

Kalau media menggunakan bahasa Inggris, gunakan yang baik dan benar. Kecuali kalau bahasa Inggrisnya sudah dibahasaindonesiakan. Banyak sekali kata yang kita miliki berasal dari bahasa asing. Contohnya, semua yang berkaitan dengan politik, seperti kata demokrasi. Perkembangan bahasa memang sesuai dengan perkembangan zaman dan ilmu-ilmu yang masuk. Kata terinspirasi, kreativitas, atau kata-kata lain yang berkaitan dengan teknologi asalnya adalah bahasa asing. Penggunaan bahasa asing biasanya terkait dengan penyampaian ide, ilmu, objek pemikiran yang baru atau belum ada di budaya masyarakat tersebut, sehingga belum ada kata padanan yang cocok.

Di Prancis, weekend itu bahasa Prancisnya le weekend karena awalnya konsep akhir pekan, di mana Sabtu dan Minggu libur, tidak ada. Misalnya kata “amok” masuk ke dalam bahasa Inggris karena konsep “amuk”, apalagi “membabibuta”, tidak ada.

Media massa sekarang ini bukan hanya televisi, koran, dan surat kabar. Internet, portal, you tube, blog, twitter, facebook, myspace, merupakan media massa, wadah dan cara baru berkomunikasi. Amati bahasa short message service (SMS). Orang yang tidak pernah membaca pesan yang disampaikan lewat SMS bisa bingung. Bukan berarti bahasa SMS salah, tapi bahasa itu cocok untuk wadahnya. Di twitter, misalnya, harus mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan 140 karakter kata. Jadi, lahir cara ungkapan baru sesuai dengan medianya yang merupakan dinamika perjalanan dari zaman ke zaman.

Ada peremajaan media karena pengguna media baru lebih banyak orang muda. Jumlah orang muda di Indonesia lebih banyak dari orang tua sehingga terjadi secara alami pergeseran dalam penggunaan teknologi. Bahasa e-mail, facebook, SMS, blogging yang 20 tahun lalu belum dikenal kini diterima. Sebagai negara demokratis kita memiliki sumber informasi yang sangat banyak. Anak-anak Indonesia bisa mengakses bahasa melalui teknologi globalisasi. Demikian juga dari segi politik atau ekonomi.

Bahasa Inggris sangat dinamis, namum memiliki grammar baku yang diajarkan. Kalau ada vocabulary baru yang masuk, hanya sebatas vocabulary, bukan grammar-nya. Misalnya, kata google sekarang menjadi kata kerja to google. Kita harus berhati-hati dalam penggunaan bahasa asing agar tidak salah dari segi lafal atau ejaan dan sesuai dengan grammar. Penggunaan bahasa asing akan lebih baik dengan cara belajar agar konteks aslinya tidak hilang.

Seorang dosen dari Oxford bertanya kepada saya, “kenapa buku-buku mengenai Indonesia jarang sekali ditemukan, apalagi buku yang sifatnya sejarah yang terus ada. Sementara di India banyak sekali.” Saya katakan, di India digunakan bahasa Inggris. Karena mereka menggunakan bahasa Inggris—terkait juga pendidikan mereka—banyak penulis India masuk ke kalangan penulis internasional. Buku dalam bahasa India akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sehingga apresiasi orang terhadap budaya India sangat tinggi. Tetapi, mengapa di China terjadi hal yang sama? Padahal orang China yang bisa bahasa Inggris tidak sebanyak orang Indonesia. Ternyata ada budaya merekam dan mencatat di China. Semua sejarah mereka rekam sehingga peneliti dapat menemukan banyak sekali manuskrip yang bisa digunakan.

Dia juga bertanya, siapa penulis Indonesia yang bukunya bisa mencerminkan budaya Indonesia. Saya tahu ada Pramoedya Ananta Toer dan bukunya diterjemahkan. Kita harus memiliki penulis lain yang membuat orang ingin menerjemahkan tulisannya sehingga memberi pemahaman lebih jauh terhadap budaya Indonesia. Juga perlu lebih banyak dokumentasi—tidak harus dalam bahasa Inggris—yang diterjemahkan dengan nilai budaya tinggi. Jika tidak, budaya kita akan tenggelam.

Mulyo Sunyoto

Betul bahwa bahasa Inggris menerima pengaruh dari mana-mana, namun grammar-nya tetap baku. Tulisan di majalah Time mengenai Indonesia, dengan mewawancarai tokoh-tokoh Indonesia, tidak ada satu pun grammar-nya yang salah. Bagi jurnalis asing, gramatika adalah hukum besi, tidak boleh dilanggar. Di koran Indonesia, gramatika dibuat seenaknya. Kenapa ini terjadi?

Saya termasuk orang yang ikut menentukan lulus tidaknya seseorang untuk menjadi wartawan di Antara. Ketika dilakukan tes bahasa Indonesia, hampir semuanya belum pernah mendengar buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Ini luar biasa anehnya. Semua dianggap sudah tahu grammar dalam bahasa Indonesia.

Saya belajar gramatika lebih banyak dari bahasa Inggris. Baru tiga tahun terakhir saya mengetahui ada buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Buku ini harus menjadi buku wajib untuk wartawan.

TD Asmadi (Pengajar LPDS)

Sebagai mantan wartawan, saya pusing membaca tulisan-tulisan di media massa kita. Koran besar pun salah, apalagi koran di daerah. Misalnya, ada berita berjudul “Laki-Laki Belum Pakai Celana Berlari-lari di Taman Lawang, Dikejar.”
Ada padanan dari bahasa asing, misalnya prabayar dari prepaid. Menurut Pak Anton, padanan ini salah, yang benar bayar di muka. Kesalahan-kesalahan ini harus diperhatikan oleh media. Pertanyaan untuk Pak Anton terkait prabayar, apakah prakata sebagai padanan dari foreword itu tepat? Kalau prasejarah saya kira tepat.

Ada masalah ketika mengembalikan sebuah kata kepada kamus. Kamus terakhir edisi keempat memuat istilah prabayar. Kalau Pak Anton tidak sepakat, berarti kata itu jangan dipakai. Saya dari dulu juga tidak pernah setuju kata itu, sama seperti “Anda naik busway dari mana?” Naik busway berarti naik di atas jalan raya, bukan naik bis Trans-Jakarta.

Mengenai bahasa jurnalistik, perlu dipahami, judul berita kadang melenyapkan awalan. Misalnya “Polisi Tembak Penjahat.” Dalam jurnalisme, pelenyapan awalan juga dalam rangka memberi daya tonjok, memberi kesan lebih menarik. Ini sudah dipakai sejak pertama adanya media massa di Indonesia. Media massa Tionghoa memakainya karena menggunakan bahasa Melayu pasar yang kemudian diikuti media massa kita.

Bahasa jurnalistik yang baik tetap haruslah bahasa baku. Wartawan adalah profesi yang paling tinggi intensitasnya bergaul dalam bahasa Indonesia. Seorang wartawan paling sedikit setiap hari menyusun 60 kata menjadi sebuah berita. Bahasa jurnalistik seharusnya hanya di judul yang bisa “meleyapkan kata”. Sedangkan di dalam tubuh berita tetaplah menggunakan bahasa yang baik.

Ira (Peserta)

Sebelum acara ini sudah beredar pendapat Pak Anton mengenai kata agrobisnis. Kenapa Pak Anton tidak setuju agrobisnis, padahal di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat ada agrobisnis, agroindustri, dan agroekonomi?
Sekarang ada kecenderungan, terutama di tayangan televisi, dipakai kata dikarenakan sebagai variasi dari disebabkan. Kalau ada dikarenakan, berarti ada mengarenakan, padahal itu tidak ada. Mungkin kata itu nanti menjadi bisa digunakan karena perkembangan bahasa.

Memang ada kecenderungan orang mengucapkan produk, klien, ikon, dengan prodak, klaiyen, aicon (pengucapan dalam bahasa Inggris).

Saya tidak setuju bahasa jurnalistik disebut bukan contoh yang baik. Pers berusaha menjadikan bahasa jurnalistik sebagai bahasa yang baik, terutama dalam judul harus menarik.

Saya juga mengucapkan cina, bukan chaina.

Warief Djajanto Basorie (Pengajar LPDS)

Salah satu buku berharga penuh makna yang pernah diterbitkan bangsa Indonesia ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Edisi keempat yang terbit Desember 2008 berisi lebih dari 90 ribu lema, ada peningkatan dari 62.000 pada edisi pertama.

Saya tertarik pada lampiran di KBBI. Ada ragam ungkapan daerah, ragam ungkapan asing, juga ragam aksara di nusantara, singkatan dan akronim, nama daerah tingkat satu dan dua.

Sebagai pembanding, penerbit Webster menerbitkan Webster’s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language. Buku ini berisi lebih dari 250 ribu lema dan juga punya lampiran, tapi lampirannya berbeda dengan KBBI. Dia punya, antara lain, atlas berwarna, peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, dan—ini penting untuk orang yang punya profesi tulis menulis—panduan gaya tulis serta daftar karya-karya utama sebagai acuan di bidang sastra, jurnalistik, sejarah. Semuanya ada sekitar 874 karya.

Pertanyaan untuk Pak Anton, dibandingkan dengan kamus bahasa di negeri lain seperti kamus bahasa Prancis, Belanda, Inggris, apa titik kuat dan titik lemah dari KBBI? Apa saran Pak Anton untuk KBBI edisi terakhir?

Anton M. Moeliono

Penyelenggara acara ini dapat menggabungkan tiga pembicara yang sebelumnya tidak pernah musyawarah apa yang hendak dikemukakan. Saya beranggapan, apa yang dikemukakan Mbak Desi tidak hanya memperkuat apa yang saya katakan tentang beda dua ragam bahasa. Dan, apa yang disampaikan Pak Arief juga memberi latar belakang bobot pada situasi kemasyarakatan Indonesia terhadap penanganan bahasa Indonesia. Seakan kami bertiga ini three musketeers, jika disatukan akan menjadi satu karangan yang sangat baik.

Soal prabayar sudah diselesaikan. Saya beranggapan, istilah yang secara gramatikal salah, bisa disingkat. Kata yang secara semantis salah, tidak bisa disingkat. Anggaplah prakata itu sudah begitu merasuk dan berakar, maka kita beri toleransi untuk dipakai. Yang perlu kita perhatikan di dalam pers ialah antara prakata dan kata pengantar. Mari kita bandingkan pemakaiannya: Prakata ditulis oleh penulis, sedangkan kata pengantar ditulis oleh orang luar yang mengantarkan karya tulis.

Mungkin sekali kata bikin akan mengalami nasib yang sama dengan kata bisa. Dulu bisa dianggap tidak baku. Sekarang unggulnya bisa terhadap dapat ialah kita bisa menominalkan bisa menjadi kebisaan. Sedangkan untuk dapat kita sudah mengatakan kedapatan. Jadi, ada keuntungan. Mungkin sekali bikin akan menjadi padanan Indonesia untuk manufaktur.

Mengapa saya menganjurkan agar menggunakan agribisnis, sedangkan yang lain ada agrowisana? Yang diperlukan oleh dunia pers ialah pengembangan bahasa Indonesia yang modern itu identik atau sama dengan pencendekiaan bahasa Indonesia. Di dalam Undang-Undang Dasar dikatakan “pencerdasan kehidupan bangsa.” Maka marilah kita berbahasa secara cendekia, jangan hanya perasaan saja. Di dalam kamus bahasa Indonesia kelihatan bahwa agribisnis berasal sebagai akronim dari agriculture and business. Jadi, secara sejarah dalam bahasa Inggris dijabarkan bukan dari agro, agal, ager. Lalu, apakah perlu menyimpang kalau sudah diketahui? Mengapa harus selalu berbeda dengan bahasa sumber?

Di dalam situasi Indonesia, bahasa jurnalistik bisa menjadi pegangan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa Indonesia. Untuk masyarakat bahasa lain yang sudah mapan, yang sistem persekolahannya tidak ada rumpang—rumpang artinya persoalan—maka tentu saja orang yang menjadi wartawan sudah lulus sekolah menengah. Tapi, seperti dikemukakan di awal, kita dihinggapi kekurangan, kita tidak tahu apa yang disebut tata bahasa baku karena tidak diajarkan di sekolah.

Kita tidak perlu memusuhi bahasa atau kata asing. Kita dapat menyerap kata asing—sekarang saya pakai menyerap karena kita tidak meminjam. Sebab, kalau kita pinjam harus dikembalikan, padahal kita tidak pernah mengembalikan. Kita dapat memungut kata. Tapi, anak pungut mempunyai konotasi kurang baik. Banyak sedikitnya kata serapan dalam bahasa Indonesia modern mencerminkan situasi kita terhadap bahasa sumir.

Secara objektif kita tidak memiliki gedung bertingkat 40 lantai, namun harus menerjemahkan konsep skyscraper menjadi pencakar langit. Jika kita mempunyai kata menara, mengapa harus menyerap? Berarti di sini kita tidak taat asas.
Kita bisa juga mempunyai sikap yang subjektif terhadap bahasa yang menunjukkan kita punya rasa tunaharga diri: rasa kalah sebelum bertarung. Misalnya, untuk kata merger kenapa tidak dipakai kata gabung usaha. Kita beranggapan bahwa bahasa Indonesia sudah dari awalnya tidak punya kemungkinan untuk mengungkapkan apa yang mungkin diungkapkan dalam bahasa Inggris. Karena itu, saya rasa di dalam pekerjaan yang akan datang, Forum Bahasa Media Massa dapat meningkatkan kerja sama dengan Pusat Bahasa.

Yang lupa dilakukan oleh penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), setelah naskah selesai sebaiknya diedarkan untuk diskusi penilai. Tetapi, karena sudah dipesan oleh penerbit, langsung saja dicetak sehingga ada beberapa kesalahan yang sebenarnya bisa dihindari.

Dibandingkan dengan kamus The Oxford English Dictionary, KBBI lebih baik disebut kamus komprehensif karena dimuat butir-butir masukan yang pernah dipakai oleh orang Melayu, tapi tidak dikenal oleh orang Indonesia sekarang. Ada makalah menarik, dari Pak Fadli, ada kata yang pernah dipakai, tapi tidak dikenal. KBBI menunjukkan kekayaan sejarah bahasa Melayu, termasuk bahasa Jawa Kuno. Hanya sayang sekali masing-masing merupakan butir-butir harta karun. Padahal andai kata itu direvitalisasi, luar biasa kemungkinannya untuk memodernkan bahasa Indonesia.

Saya telah mengusulkan kepada pimpinan Pusat Bahasa agar disediakan pengembangan KBBI sebagai kamus yang historik. Kekayaan sejarah bahasa Melayu dan Indonesia yang bisa surut sampai abad 16 atau 17. Sedangkan yang kita perlukan sekarang ialah bahasa Indonesia masa kini. Di dalam bahasa Indonesia masa kini kata-kata yang lama tidak perlu dimuat. Yang saya sesalkan, belum ada keintensifan kerja sama.

Sekarang ini dalam bahasa jurnalis dipakai kata impunitas. Saya yakin jika ditanyakan kepada sepuluh orang Indonesia apa impunitas, mereka tidak tahu. Di kamus, impunitas artinya dibebaskan dari hukuman. Berbuat tindak pidana, tetapi tidak dihukum. Dia termasuk orang yang nirpidana. Impunitas sama dengan kenirpidanaan, misalnya. Kita ingin bahasa Indonesia menjelma dalam bahasa modern, konsep modern dengan bahan bakunya sendiri.

Bahasa Indonesia modern mungkin akan lebih banyak diisi oleh bahasa Inggris daripada bahasa daerah. Tidak banyak orang tahu, kecuali praktisi, bahwa kosakata Inggris 50 persen asalnya dari luar, seperti Prancis dan Yunani.
Saya dan beberapa orang di Pusat Bahasa pun berpendirian, jika pada tahun 1970-an, ketika mulai bergerak dengan pedoman ejaan dan istilah, ingin menyertakan keindonesiaan dengan menerjemahkan segalanya. Sekarang kita lebih pragmatis dengan mengatakan: jika bentuk asingnya merakyat dan mudah dipahami, maka kita akan dibebaskan dari kewajiban menghafal dua kata. Dengan cara penyerapan dan penyesuaian, kita menjadi terbebas. Janganlah kita menerjemahkan lagi oksigen sebagai zat asam. Sekarang remaja Indonesia dibebani penghafalan yang internasional dengan Indonesia. Diringankan sehingga wajib mempelajari satu saja. Satu dasar yang membuat kita dekat menjadi warga dunia. Sebab, kita sering menjadi jago kandang. Pemasukan kata dan ungkapan asing tidak perlu berarti merusak bahasa Indonesia.

Arief Rachman

Sebetulnya bahasa Indonesia sedang bergerak menjadi bahasa regional di Malaysia, Brunei Darussalam, Sarawak, dan Singapura. Saya mempunyai semangat dan dugaan, mudah-mudahan bahasa Indonesia bisa menyatukan regional menjadi satu bahasa.

Saya tidak setuju dengan strategi pendidikan yang memberi peraturan melelahkan. Dengan cara memberi contoh itu jauh tidak terlalu membebani. Siapa yang harus memberi contoh, yaitu lembaga-lembaga tertentu, terutama pemerintah. Jangan ada pimpinan pemerintah, baik di daerah maupun di pusat, yang berbahasa tidak baik dan tidak benar. Mereka harus ikut serta mengawal bahasa Indonesia menjadi baku dan benar. Saya khawatir Pak Anton Moeliono sendirian. Dia tidak disertai pasukan yang memasarkan apa yang ada di dalam pengetahuan beliau. Media harus menjadi pasukannya. Sejauh mana para ahli bahasa dan media bekerja sama harus dibicarakan secara sungguh-sungguh.
Saya selalu meluruskan kalau misalnya ada pembawa acara mengatakan, “waktu dan tempat saya persilakan.” Meskipun ada banyak orang dan tokoh tertentu, saya selalu mengatakan, “maaf, tadi itu salah. Bukan waktu dan tempat yang Anda persilakan, tetapi Pak Gubernur.” Kesalahkaprahan seperti itu tidak boleh dibiarkan.

Ada empat strategi yang saya usulkan. Pertama, media memahami aturan sampai ke derajat kecendekiaan dan kecerdasan. Kedua, harus ada lembaga yang bisa menilai, lalu menegur. Siapa yang bisa menegur jurnalis kalau bukan pimpinan redaksinya atau lembaga itu sendiri. Di setiap organisasi atau perusahaan yang memangku media harus ada seorang ahli bahasa yang mengoreksi. Kalau wartawan salah menulis, ia terancam. Sebab, orang tidak akan berubah kalau tidak terancam.

Ketiga, bangsa ini harus dibuat tidak malas. Sekarang ada kemalasan yang diperparah dengan pendidikan bahasa yang diberikan secara formal di sekolah—lebih banyak pada pendidikan kognitif daripada memahirkan anak berbahasa. Saya katakan kepada guru bahasa, mengapa tidak melakukan misalnya cara berdiskusi secara santun dan baik?

Bahasa juga harus menunjukkan kecermatan. Sering kali saya harus mengingatkan wartawan bahwa nama saya bukan Arief Rachman Hakim, tapi Arief Rachman saja. Kepada wartawan saya menjelaskan bahwa rumus kelulusan itu harus nilai mentah dikurangi nilai rata-rata daerah dibagi simpangan baku. Lalu, akan muncul keadilan nilai. Tidak boleh hanya nilai mentah saja. Wartawan bertanya, “apa itu Pak?” Lalu, saya menjelaskan dengan menggunakan bahasa Inggris dan dia lebih mengerti. Tapi, dalam beritanya dia salah menulis. Jadi, penting sekali kecermatan. Hal seperti ini harus dilihat oleh pimpinan perusahaan pers.

Terakhir, harus jelas sampai di mana toleransi derajat kebebasan dan kreativitas yang dimiliki media. Apakah sama dengan bahasa skripsi atau disertasi? Kata tayang bincang, sebagai padanan talkshow, bagus sekali. Tapi, siapa yang mau memopulerkan. Tidak cukup hanya Pak Anton di sini, sementara semua televisi tetap mengatakan talkshow. Kita berhadapan dengan kekuatan sosial yang keliru. Bagaimana kita akan menggempur kekuatan itu?

Saya pernah memiliki pengalaman membenahi yang keliru sampai ke presiden, wakil presiden, dan DPR. Saya menyerah. Penjara sudah saya nikmati karena membenarkan kekeliruan. Bagaimana kalau pemerintah tidak mau mendengarkan cendekia. Ujian nasional sebagai salah satu contoh. Di dalam bahasa Islam, umaro’ (pemerintah) harus mendengarkan ulama. Tuhan mengatakan kepada Muhammad bahwa tugasnya sebagai nabi hanya memberi tahu. Mereka mau menurut atau tidak bukan tugasnya dan karena itu jangan berkeluh kesah.

Siapa pun presiden yang terpilih (dalam Pemilu 2009), pertama kali akan saya datangi untuk menegaskan bahwa budi pekerti adalah nomor satu, penting untuk kehidupan. Karena, sekarang ini lebih ke unggulan otak daripada unggulan watak.

Dahsyat sekali kekuatan penguasa untuk merusak, memperbaiki, dan menegakkan bahasa. Media ternyata juga luar biasa. Itu sebabnya pertemuan ini sangat strategis. Mari punya semangat, jangan malas, perbaiki. Beri penghargaan kepada wartawan yang berbahasa baik. Teman-teman yang populer, seperti selebritas, pengaruhnya manjur kalau mereka berbahasa secara baik dan benar. Suruh selebritas berguru kepada Pak Anton.

Saya menganggap sebuah sanjungan kalau tadi tiga pembicara di sini disebut three musketeers. Padahal saya merasa tidak pantas didudukkan bersama Pak Anton. Saya cuma punya semangat. Tapi, mungkin orang yang bersemangat itu diperlukan. Harus ada perpaduan kekuatan.

Desi Anwar

Persoalan bahasa terkait dengan perkembangan zaman, modernisasi, dan pembaruan terhadap bentuk media. Sekarang jumlah televisi nasional terestrial ada 11. Akan lebih banyak kalau ditambah dengan televisi berjaringan dan sekira 100 televisi lokal. Semuanya berebut untuk mendapatkan iklan dan pemirsa. Media bukan contoh yang baik untuk belajar bahasa karena adanya persaingan, tuntutan terhadap kecepatan, rekrutmen yang tidak terlalu bagus. Koran memiliki keterbatasan jumlah kata-kata yang dicetak, televisi durasinya terbatas. Semua itu merupakan limitasi yang membantu merusak media.

Pada akhirnya tujuan dari berkomunikasi adalah menyampaikan pesan atau memberikan pandangan atau menceritakan sesuatu agar mudah dipahami. Bahasa seharusnya membuka pemahaman, mencerahkan, bukan menutupi—kecuali kalau bahasa politik karena biasanya ada kiasan untuk menutupi kekurangan. Dengan banyaknya majalah, koran, televisi, dan radio akhirnya kita mendapatkan sesuatu yang asal jadi karena mengejar rating tinggi. Tayangan berita di televisi rating-nya 1 atau 2 dan paling tinggi di seluruh televisi rata-rata 3 atau 4. Bandingkan dengan infotainment—bukan sinetron karena ini soal berita—yang rating-nya sangat tinggi. Mau tidak mau ini adalah cerminan wajah anak muda sekarang.

Penonton yang paling banyak menggunakan teknologi untuk mendapat informasi adalah anak muda dengan usia belasan sampai 25 tahun. Metro TV penontonnya banyak yang berusia 40 tahun ke atas. Semua ini terjadi karena peta populasi penduduk Indonesia dari 230 juta kebanyakan anak muda. Mereka tidak kenal dunia membaca koran. The New York Times dan Chicago Tribune terpaksa meremajakan dirinya supaya tidak gulung tikar. Mereka harus berubah, memberikan sesuatu sesuai dengan permintaan dan kebutuhan pasar. Kalau tidak, mereka akan semakin tertinggal. Sekarang semakin jarang orang berlangganan koran. Mereka membaca informasi lewat teknologi.

Media harus menyesuaikan diri dengan perkembangan. Tapi, kembali lagi, bahasa Inggris tidak bisa diutak-atik seperti orang dengan bebasnya merusak bahasa Indonesia. Kunci dalam persoalan ini adalah pendidikan tentang penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dari bangku sekolah tingkat dasar. Ketika saya bersekolah di London, semua orang harus mendapatkan pelajaran grammar lesson. Di situ diajarkan kapan menggunakan titik, koma, mengapa misalnya however harus selalu diikuti oleh koma, dan termasuk etimologi sehingga ada pemahaman yang lengkap. Setiap minggu ada pelajaran kelas kamus. Harus ada pelajaran di sekolah mengenai bagaimana membaca kamus, meningkatkan vocabulary, dan mencari kata di kamus. Sangat sederhana, tapi harus diajarkan. Dan, harus dimulai di sini.

Dari kejadian Bom Kuningan (17 Juli 2009), di Twitter ada Indonesia Unite untuk menunjukkan betapa cintanya orang Indonesia terhadap bangsanya dan tidak takut terhadap terorisme. Semua digunakan oleh anak-anak muda—Indonesia Unite diberitakan di CNN. Jangan khawatir, kecintaan terhadap Indonesia itu luar biasa. Mereka memiliki keinginan untuk menjadi bangga di hadapan dunia global. Anak-anak muda Indonesia sudah terbiasa dengan dunia global. Mereka begitu nyaman berselancar ke mana-mana, di dunia tanpa batas.

Mulyo Sunyoto

Ada kesempatan dua pertanyaan lagi.

Umbu (Kantor Berita Antara)

Kepada Mbak Desi saya ingin bertanya mengenai kata China yang dibaca chaina. Di bahasa Indonesia, vokal a, i, u, e, o semuanya dibaca menurut tulisannya. Tetapi, di Metro TV vokal i pada kata China dibaca ai. Apa latar belakangnya sehingga dibaca chaina. Konon kalau dibaca cina itu kasar. Mungkinkah karena itu Metro TV membaca chaina, bukan cina?

Gatot Wijaya (Harian Pikiran Rakyat)

Struktur suatu bahasa bersifat statis atau cenderung tetap. Dalam bahasa Inggris, dari zaman dulu sampai sekarang, seperti kalimat I love you, I selalu menempati posisi sebagai subjek, love sebagai verb dan you sebagai objek. Tidak bisa dibalik, misalnya menjadi love you I. Ini berbeda dengan vocabulary atau kosakata yang bersifat dinamis, yang dari tahun ke tahun akan terus berkembang.

Dalam kosakata, sejauh mana pembatasan penyerapan bahasa asing ke dalam bahasa Indonesia? Mengingat kalau terlalu dibatasi, perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia akan miskin. Begitu juga jika tidak dibatasi akan menyebabkan kaburnya identitas bahasa Indonesia.

Ada pendapat yang menyatakan, salah satu penyebab kemunduran bahasa karena masyarakat, khususnya kalangan pelajar, menganggap bahasa Indonesia terpinggirkan. Bagaimana mereka yang berkecimpung di bidang bahasa dapat mengatasi hal tersebut?

Peserta

Bagaimana pemakaian bahasa Indonesia dapat menunjukkan nasionalisme seseorang? Harus ada perpaduan antara keahlian di bidang lain, seperti ekonomi dan keahlian di bidang bahasa. Ada orang yang merasa tidak ada korelasi antara keduanya. Padahal banyak orang yang ahli ekonomi, tapi penggunaan bahasanya buruk.

Anton M. Moeliono

Saya pernah mengatakan dan masih tetap berpendirian, ada dua unsur budaya—perhatikan unsur budaya yang diajukan Pak Rachman, yaitu bahasa dan agama yang bukan berlaku di Indonesia saja. Surut sejenak ke dalam sejarah kemanusiaan kita, hal-hal yang terjadi pada 1947.

Di Irlandia, India, Kanada (Provinsi Quebec) ada perpecahan karena perbedaan bahasa dan agama. Di Indonesia, dengan menggunakan bahasa Indonesia membuktikan dari Aceh sampai Merauke menjadi bersahabat. Kalau di luar negeri bertemu dengan orang berbahasa Indonesia, kita menjadi dekat. Di dalam agama ada ukhuwah islamiyah, tapi masih ada pembakaran tempat ibadah. Budaya dan bahasa dapat menyatukan atau memisahkan.

Mengapa orang Indonesia menggunakan pengucapan chaina—walaupun tidak ada petai chaina. Di masa penjajahan, ada anggapan orang China sebagai kelompok minoritas yang datang dari utara dianakemaskan oleh penjajah. Ada kecemburuan sosial oleh kelompok mayoritas kepada minoritas hingga mereka selalu dianggap memperdaya dan merugikan yang mayoritas. Oleh karena itu, muncul sebutan seperti “makhluk china loreng.” China itu memperoleh pemegas seperti “jawa kowek”.

Hanya di Indonesia kata China itu berkonotasi. Karena itu Kedutaan Besar RRC meminta—daripada ada konotasi di beberapa golongan terhadap kata China (tapi tidak terhadap kata cino yang diucapkan orang Jawa)—secara resmi pengucapan itu jangan dipakai di dalam pergaulan Indonesia di dunia internasional. Mereka tidak menuntut dari bangsa-bangsa lain.

Soal kosakata, kita berbicara mengenai bahasa Indonesia, tetapi tidak pernah menyinggung yang menjadi terdakwa, yaitu sistem pendidikan. Sejak revolusi dan proklamasi RI kita belum pernah memiliki presiden yang mengutamakan pendidik. Jadi, andaikata dianjurkan mengajarkan tanda baca yang tertib dan sabagainya, siapa yang harus mengadakan?

Ditilik dari sudut kaca mata sejarah, pendidikan guru di Indonesia dirusak oleh putusan untuk menjadikan kursus pendidikan guru—yang dulu bernama D1, D2. Upaya menjadikannya setingkat universitas ialah bukan untuk peningkatan mutu keguruan, tapi agar sejajar dengan lulusan universitas dan boleh menggunakan gelar doktorandus seperti sekarang. Dulunya hanya jadi ketua jurusan, sekarang boleh jadi dekan dan rektor. Namun, karena harus menyelesaikan 144 SKS, 50 persen untuk ilmu pendidikan dan 50 persen untuk ilmu umum, bisa dibayangkan bahwa seorang lulusan pendidikan guru ilmunya separuh dari orang lulusan universitas. Ini bukan penilaian buruk terhadap orangnya, tapi sistemnya.

Pendidikan tidak ditangani secara serius. Apakah pernah mendengar calon presiden mengutamakan pendidikan? Yang ribut tentang pendidikan adalah orang-orang yang prihatin lalu, menulis di koran. Mudah-mudahan media massa dalam bulan-bulan yang akan datang mendengungkan kepada presiden terpilih untuk memikirkan pendidikan, jangan korbankan pendidikan pada wakil partai. Saya tidak percaya bahwa di dalam partai yang menjadi tujuan utamanya pendidikan.

Harus dimulai dari awal. Harus mempunyai presiden yang berani mengatakan, meniru yang baik itu bukan dosa. Perdana Menteri Mahathir di Malaysia pernah mengatakan, kalau tidak punya guru impor dulu. Untuk memperbaiki mutu penguasaan bahasa Inggris, saya saksikan, ia sekaligus mengundang ratusan orang guru untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anaknya.

Kita tidak mungkin mengasingkan diri dari dunia yang memakai bahasa Inggris. Harus ada satu filsafat baru, orang Indonesia harus belajar bahasa Indonesia, tapi jangan lupakan bahasa Inggris karena bahasa Inggris menjadi pintu gerbang untuk kemajuan. Kita jangan terlalu fanatik dengan mengatakan cukup bahasa Indonesia. Pendidikan menjadi kunci keberhasilan bangsa kita.

Tadi dikatakan bahasa Indonesia bisa menjadi bahasa regional. Jangan lupa, bahasa itu bawaan, bagasi suatu bangsa. Mengapa sekarang orang berebut mencari kursus bahasa Korea? Bukan karena bahasa Korea lebih indah dari bahasa Inggris, tetapi bahasa Korea menjadi wadah bagi bangsa Korea yang begitu majemuk. Dengan penguasaan bahasa Korea, ia dapat mencari pekerjaan yang menjamin gaji besar.

Begitu juga di Inggris, pernah ada kursus bahasa Indonesia untuk SD. Di Australia, sebelum keributan di Indonesia (1998), ada 60 sekolah menengah yang mengajarkan bahasa Inggris dan Indonesia sebagai bahasa asing pertama, mengalahkan bahasa Jerman dan Jepang. Pemuda-pemudi Australia menyangka Indonesia pasar yang luar biasa besarnya. Begitu terjadi kerusuhan 1998, menjadi anjlok. Sekarang program bahasa Korea menjadi nomor satu dan bahasa Indonesia sudah mulai ditutup karena tidak ada peminatnya. Jadi, bahasa itu mewakili. Ungkapan Bung Karno, selama bangsa Indonesia menjadi kuli bagi bangsa-bangsa lain, jangan harapkan bahasa Indonesia akan dipelajari orang dari bangsa lain.

Saya terkesan ramalan teman saya yang mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia. Betul, bahasa Indonesia bukan bahasa asing. Perhatikan ramalannya: masa depan bahasa Melayu Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura ada di tangan bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan karena banyaknya orang Indonesia yang berprestasi dan memiliki bakat. Baru-baru ini ada seorang pemuda Indonesia membawa medali email bidang biologi. Otak orang Indonesia tidak perlu kurang dari bangsa siapa pun, bergantung dari pisau analisis yang diterapkan pada bangsa Indonesia. Kalau kita semua dianggap terbelakang, berarti pendidikan kita yang terbelakang dan tidak cocok lagi. Bagaimana sekarang berbicara tentang pengajaran bahasa Inggris jika gurunya sendiri tidak mampu?

Mudah-mudahan media massa dapat menjadikan pendidikan sebagai sesuatu yang perlu didandani dengan baik.

Desi Anwar

Jauh sebelum saya di Metro TV, selalu disebut Cina sampai kemudian mendapat permintaan resmi dari Kedutaan Besar RRC untuk menyebutkan Chaina. Ini terkait dengan sensitivitas. Misalnya di Amerika, orang berkulit hitam disebut black, tidak disebut negro. Karena, bagi pendengar, menyebut cina atau negro seolah-olah sangat melecehkan.

Di Malaysia, preferensi orang Indonesia disebut indon. Indon itu dipahami seolah-olah sama dengan pencuri. Ini sangat politis dan kasar. Di Timor Leste ada tiga bahasa yang digunakan, yaitu Tetum, Portugis, dan Inggris. Namun, susah sekali penyerapannya karena banyak orang di sana hanya tahu bahasa Indonesia. Tetapi, mereka dilarang menggunakan bahasa Indonesia. Ini ada kaitannya dengan politik.

Kembali ke aspek pemahaman dan penggunaan bahasa Inggris, yang dikhawatirkan bukan penggunaan istilah asing atau bahasa Inggris, tapi bahasa Indonesia menjadi rusak dan bahasa Inggrisnya juga salah sehingga terjebak dalam dua sisi. Berbicara dalam bahasa Inggris yang baku penting untuk bisa memahami ilmu di dunia. Kalau kepada orang sekarang ini belum diajarkan bahasa Inggris, otomatis dunia itu menjadi lebih sempit dari sisi pengetahuan. Tapi, harus dibarengi dengan mengajarkan bahasa Indonesia yang baik.

Ini kekhawatiran saya. Kita bisa kalah di dua sisi. Kita tidak bisa melahirkan ide atau tulisan untuk pengembangan ilmu yang bisa dipakai oleh semua orang. Dan, kita hanya bisa berkomunikasi dengan diri kita sendiri.
Arief Rachman

Supaya tidak menjadi jago kandang, kalau bertemu dengan orang asing tidak cukup hanya pandai berbahasa asing, tapi juga harus mempunyai kepribadian yang kokoh. Pengalaman di UNESCO, kalau saya menyampaikan pokok-pokok pikiran Indonesia seperti Pancasila, dapat mengalahkan hampir kekuatan-kekuatan yang lebih sempit. Orang Indonesia sendiri terhadap Pancasila tidak mau menjadikannya sebagai senjata. Tidak cukup hanya dapat berbahasa dengan baik dan benar, tapi harus berani memakai bahasa yang baik dan benar itu untuk menunjukkan kebenaran kehidupan dan falsafah bangsa Indonesia. Inilah yang dapat dilakukan kalau tidak mau menjadi jago kandang.

Bahasa seperti matematika. Dia mempunyai kekuatan untuk berlogika dan menggugah perasaan. Berbahasa bisa juga seperti matematika. Matematika dan bahasa hampir sejajar untuk mengencerkan dan mencerdaskan orang berlogika, berargumentasi, dan mengeluarkan rumus-rumus. Tetapi, saya tidak menemukan korelasi yang kuat kalau orang berbahasa dengan baik pasti ekonominya baik. Kalau orang berbahasa dengan baik dan benar seharusnya ada hubungannya dengan budi pekerti yang baik. Lebih ke arah pembentukan kepribadian dan watak, bukan pada kesuksesan dari sisi ekonomi.

Pers menjadi kekuatan yang dahsyat untuk bersama-sama dan beramai-ramai meluruskan kekacauan bahasa. Tapi, bagaimana mau meluruskan kalau pers sendiri tidak menguasai bahasa yang baik dan benar?

Mulyo Sunyoto

Biasanya moderator selalu menyampaikan kesimpulan. Tapi, saya rasa itu suatu kekerasan terhadap gagasan yang kaya raya ini.

Priyambodo RH (Direktur Eksekutif LPDS)

Bahasa Indonesia juga bisa berfungsi diplomasi. Ada lelucon: beberapa keluarga diplomat di Eropa biasanya mengundang guru bahasa agar mereka bisa berbahasa setempat. Setelah tiga bulan, guru bahasa yang diundang sudah bisa berbahasa Indonesia, tapi diplomat itu tetap tidak bisa berbahasa setempat.

Lelucon lainnya: di film kita bisa belajar bahasa dari bahasa hantu. Biasanya hantu-hantu di film Indonesia itu berbahasa yang baik dan benar, misalnya ada perkataan hai manusia. Gramatikanya benar. Tapi, yang terjadi malah manusianya seperti hantu. (Tim LPDS)

Published in Berita LPDS