Pameran Bandoeng and Schowmakers

Bagaimana jika Anda diajak untuk menelusuri sejarah Bandung yang pernah disebut sebagai “Paris van Java”? Apa yang membuat kota ini berkembang dari desa kecil menjadi pusat modernitas di era kolonial? Semua ini dapat Anda temukan di pameran “Bandoeng and Schoemakers,” yang berlangsung di Galeri Dia.Lo.Gue, Jakarta Selatan, hingga 10 Desember 2024.

Pameran ini adalah jendela ke masa lalu, memperlihatkan jejak transformasi kota Bandung melalui arsitektur kolonial karya saudara Schoemaker. Engel Tanzi, inisiator pameran, membawa pengunjung menyelami kisah arsitek-arsitek Belanda yang membangun landmark ikonis seperti Gedung Merdeka di kawasan Asia Afrika dan Jalan Braga. Karya-karya ini tak hanya estetis, tetapi juga mencerminkan pengaruh besar arsitektur kolonial terhadap perkembangan budaya dan kehidupan kota.

Bayangkan berjalan di tengah lorong pameran, dikelilingi oleh foto-foto Jalan Braga tempo dulu yang masih dipenuhi toko-toko mewah. Visualisasi ini seolah membawa Anda kembali ke masa ketika Bandung menjadi simbol gaya hidup modern. Bagaimana jika Anda melihat rencana arsitektural saudara Schoemaker yang dirancang dengan detail sempurna? Gedung-gedung yang mereka bangun tak hanya menjadi wajah kota, tetapi juga saksi bisu dinamika politik dan sosial era kolonial. Apakah Anda tahu bahwa Gedung Merdeka, simbol perjuangan kemerdekaan, dulunya adalah tempat hiburan para elite Belanda?

Namun, sejarah Bandung tidak hanya tentang arsitekturnya. Apa yang Anda pikirkan ketika mendengar nama Karel Bosscha? Mungkin Anda mengenalnya dari observatorium yang terkenal di Lembang, tetapi kontribusinya jauh lebih besar dari itu. Melalui pameran ini, Anda akan menemukan bagaimana seorang pengusaha Belanda menggunakan kekayaannya untuk membangun Institut Teknologi Bandung (ITB), rumah sakit, hingga infrastruktur lain yang mempercepat modernisasi Bandung. Bukankah menarik untuk melihat sisi manusia dari sejarah kolonial yang sering kali hanya kita kenal sebagai narasi kekuasaan?

Engel Tanzi, yang memulai ide ini dari cerita neneknya tentang Bandung tempo dulu, berharap pameran ini bukan hanya tentang nostalgia, tetapi juga refleksi. Apa yang bisa kita pelajari dari masa lalu ini? Apakah kita cukup menjaga warisan budaya yang dimiliki Bandung? Atau, apakah kita cenderung melupakan bagian penting dari identitas kota ini di tengah modernisasi yang terus berlangsung?

Jangan sekadar membaca sejarah di buku, datanglah dan lihat sendiri. Pameran ini terbuka setiap hari dari pukul 10.00 hingga 18.00 WIB, menawarkan pengalaman visual dan edukatif dengan tiket yang sangat terjangkau. Jangan lewatkan kesempatan untuk merasakan Bandung dalam dimensi yang mungkin belum pernah Anda bayangkan sebelumnya. Siapkah Anda menyelami masa lalu untuk memahami lebih dalam akar kota ini? (Wildan-PNJ)

Published in Berita LPDS