Oleh Genevieve Long
(www.erabaru.net) – 2009 merupakan tahun paling dramatis bagi dunia jurnalistik. Namun bukan karena adanya perubahan korporasi berkelanjutan, yang mengakibatkan merosotnya secara berkepanjangan sejumlah perusahaan media. Kehilangan pekerjaan dan direndahkannya memori institusional pada beberapa saluran berita utama adalah satu bagian penting dari apa yang terjadi pada wartawan dan kerabat mereka dalam satu tahun terakhir.
Bagaimanapun juga, hal paling signifikan bagi kemanusiaan adalah tingginya jumlah jurnalis yang terbunuh. Mereka dibunuh ketika sedang melaksanakan tugas atau karena tingkat laporan mereka. Sebagian besar pembunuh mereka masih bebas berkeliaran. Impunitas dalam kasus pembunuhan wartawan di seluruh dunia masih sangat tinggi.
Jumlah keseluruhan jurnalis yang tewas pada 2009 mencapai 76 orang. Satu-satunya tahun yang lebih mematikan pada dekade ini, 2007 — 86 orang jurnalis terbunuh.
Tahun ini diawali dengan kekhawatiran akan keselamatan para jurnalis karena sejumlah ancaman dan “kematian misterius” dari beberapa wartawan di negara-negara konflik seperti Afganistan yang terus berlanjut. Kondisi berbahaya di Timur Tengah, termasuk serangan Januari Israel terhadap Hamas di jalur Gaza. Akses media dibatasi dan dua jurnalis telah dinyatakan tewas dalam kekerasan tersebut.
Penculikan serta penahanan wartawan AS, Euna Lee dan Laura Ling di Korea Utara mengakibatkan keprihatinan baru akan keselamatan wartawan Amerika yang bekerja diluar negeri. Kedua wanita yang bekerja untuk CurrentTV itu, akhirnya diselamatkan dan dibawa pulang dengan selamat setelah adanya perantara dramatis mantan Presiden AS Bill Clinton serta sebuah tim yang piawai menyelesaikan krisis lewat diplomasi.
Mei lalu, Jurnalis Amerika keturunan Iran, Roxana Saberi, dibebaskan dari penjara Iran, setelah didakwa dan dipenjarakan karena dituduh menjadi mata-mata AS. Saberi telah bekerja sebagai seorang jurnalis lepas di Iran selama bertahun-tahun.
Pertengahan tahun 2009 merupakan hal paling buruk, yang diawali dengan terungkapnya peristiwa tragis di Iran pada saat puluhan ribu orang melakukan aksi protes turun ke jalan menentang hasil pemilihan presiden negara tersebut. Karena media setempat tertutup melakukan akses keluar, masyarakat melakukannya dengan caranya sendiri lewat cara lain. Twitter dan Facebook digunakan untuk mempublikasikan pelanggaran HAM yang merupakan jalan keluar bagi jurnalisme warga.
Beberapa bulan setelah aksi turun ke jalan terus berlangsung, sejumlah wartawan Iran masih mendekam dipenjara. Komisi Perlindungan Jurnalis (CPJ) melaporkan hanya dalam seminggu terakhir, sedikitnya 11 wartawan telah dipenjarakan oleh pemerintah Iran. Mereka termasuk mantan peraih penghargaan International Press Freedom, Masya Allah Shamsolvaezin dan penulis terkemuka Emadeddin Baghi. Menurut CPJ, kini terdapat lebih dari 30 wartawan yang ditahan di Iran.
Menurut Reporters Without Borders (RSF), secara keseluruhan insiden yang menimpa wartawan pada 2009 adalah:
33 wartawan diculik
573 wartawan ditangkap
1456 dianiaya secara fisik
570 media yang disensor
157 wartawan melarikan diri negara-negara mereka
Sejumlah aktivis Blogger dan Cyber
1 blogger meninggal dalam penjara
151 blogger dan cyber ditangkap
61 dianiaya secara fisik
60 negara yang dipengaruhi oleh sensor online
Yang paling tragis, 76 jurnalis tewas pada tahun lalu, dibandingkan pada 2008 hanya 60, terjadi peningkatan sekitar 26 persen.
Yang paling dipublikasikan dari kasus pembunuhan ini, termasuk jurnalis-Franco, berkebangsaan Spanyol, Christian Poveda. Poveda, seorang pembuat film dokumenter yang ditembak kepalanya di El Savador setelah menciptakan film sangat kontroversial “La Vida Loca” tentang geng El Savador. Beberapa orang telah ditahan terkait pembunuhan itu. Karyanya tersebut mendokumentasikan serta mengekspos geng kecil di negara Amerika Tengah.
Di Filipina, sebuah van yang mengangkut sejumlah orang melakukan perjalanan terkait pemilu telah diserang. Puluhan orang tewas, termasuk 30 wartawan. Ini merupakan pembantaian terburuk dalam sejarah kewartawanan. (EpochTimes/sua)
Selain menjadi editor untuk The Epoch Times, Genevieve Long menulis untuk Media dan Blog Kebijakan Luar Negeri untuk Foreign Policy Association, di mana opini ini pertama kali diterbitkan.
Sumber: http://www.erabaru.net/top-news/39-news4/9126-2009-tahun-paling-tragis-bagi-jurnalis-
Sumber foto: www.portal.unesco.org
Published in