Menakar Jurnalisme Prasangka

Oleh ATMAKUSUMAH

Penderitaan subjek berita akibat “jurnalisme prasangka” seperti yang diuraikan dalam tulisan S. Sinansari Ecip di harian Kompas baru-baru ini merisaukan setiap pakar jurnalisme dan pengamat kebebasan pers karena tidak memenuhi standar jurnalisme profesional yang berpedoman pada Kode Etik Jurnalistik.

“Sebagian liputannya mengandung hasil yang kurang akurat. Data yang kurang akurasinya itu langsung ditodongkan kepada orang atau lembaga tertentu (objek liputan) dengan publikasi yang dahsyat. Tidak jarang jika korban adalah seseorang, dia jatuh sakit, mungkin diserang stroke atau serangan  jantung,”  demikian digambarkan dalam tulisan “Awas, Jurnalisme Prasangka” pada edisi hari Rabu, 2 April 2014, halaman 7.

Laporan seperti itu dapat terjadi karena kelalaian dan kekurangan keuletan para wartawan pengelola media pers yang memberitakan persoalan yang dialami oleh subjek berita tersebut. Bisa jadi juga karena media pers itu tidak independen, melainkan memiliki kepentingan politik atau ekonomi tertentu yang bukan merupakan kepentingan publik pada umumnya.

Kemungkinan lain ialah bahwa media massa itu memang bukan media pers arus utama (mainstream) yang profesional—yang sudah memiliki kelengkapan persyaratan untuk dapat menjalankan program peliputan investigasi atau penyidikan (investigative reporting). Media pers profesional lazimnya mempunyai kemampuan untuk mengerahkan sejumlah wartawan yang berpengalaman.

Peliputan investigasi memerlukan biaya yang cukup besar dan tidak jarang menelan waktu yang lama karena laporan itu perlu disajikan secara objektif—atau berimbang dan fair (adil), tidak diskriminatif dan tidak berprasangka. Bekal lain dalam penyajian karya jurnalisme investigasi tentulah keberanian, tanggung jawab, dan soliditas Redaksi karena sering harus menghadapi tanggapan yang sangat kritis, terutama dari pihak subjek laporan itu yang merasa dirugikan atau dicemarkan.

Laporan investigasi pers profesional, dengan demikian, perlu memberikan gambaran peristiwa atau persoalan secara lengkap, atau yang dalam istilah jurnalistik dikenal sebagai objektif dan komprehensif. Jadi, upaya peliputan pers yang ideal tidak bertujuan ”pukul dulu, urusan belakang,” seperti yang dikhawatirkan oleh Sinansari Ecip.

Liputan tidak adil
Memang, media pers kita dari waktu ke waktu tidak lepas dari kemungkinan menyajikan karya jurnalistik yang tidak adil. Laporan seperti ini dapat muncul dalam berita-berita cepat atau seketika (instant) yang mungkin perlu segera diberitakan walaupun hanya berdasarkan sumber-sumber yang belum lengkap. Misalnya, informasi dalam pemberitaan itu baru bersumber dari Kepolisian, Kejaksaan, atau sidang Pengadilan yang masih berkelanjutan.

Pemberitaan seperti ini tidak selalu diakibatkan oleh kepentingan kecepatan dalam penyajiannya, melainkan juga dapat disebabkan oleh kelalaian pihak wartawan yang meliput dan menyunting berita itu. Umpamanya, pengaduan Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Djadja Suparman kepada Dewan Pers tentang pemberitaan yang tidak benar pada enam surat kabar di Jakarta, Surabaya, Palembang, dan Denpasar bahwa ia terlibat dalam peledakan bom oleh teroris di Kuta, Bali, bulan Oktober 2002.

Dewan Pers mengundang Redaksi keenam surat kabar yang diadukan untuk membahas materi pengaduan tersebut. Dewan Pers menyarankan kepada keenam surat kabar agar memberikan tempat bagi koreksi atau klarifikasi atas kelalaian penerbitan berita yang telah merugikan Djadja Suparman itu. Dewan Pers merekomendasikan agar Djadja Suparman menggunakan hak jawab untuk mengklarifikasi persoalan yang muncul akibat pemberitaan tersebut.

Djadja Suparman membatalkan rencananya yang semula hendak memproses pengaduan tentang pemberitaan itu melalui jalur hukum. Ia memutuskan untuk meminta jasa Dewan Pers sebagai mediator guna menyelesaikan konflik akibat pemberitaan ini dengan keenam surat kabar.

Hak jawab sampai jalur hukum
Penggunaan hak jawab, dengan langsung memberikan keterangan tertulis atau lisan kepada Redaksi media pers, atau pemanfaatan mediasi oleh Dewan Pers antara subjek berita dan media pers termasuk di antara empat cara penyelesaian konflik akibat pemberitaan. Keempat jalur ini dapat menjadi pilihan sejak awal, bukan seperti dikatakan oleh Sinansari Ecip bahwa “… pengaduan ke polisi atau pengadilan tidak dilarang asal setelah diadukan ke Dewan Pers.”

Akan tetapi, bila kasus itu sudah berada di jalur hukum, Dewan Pers tidak akan dapat diminta sebagai mediator, kecuali jika pihak pengadu menarik kembali pengaduan itu dari lembaga penegak hukum. Paling-paling, Dewan Pers hanya dapat mengirimkan saksi ahli ke Pengadilan, jika diminta oleh pihak mana pun. Majelis Hakim, ketika mulai menyidangkan delik pers, kadang-kadang masih menawarkan kepada penggugat untuk berdamai dengan tergugat melalui penggunaan hak jawab atau mediasi oleh Dewan Pers.

Di manakah hak jawab dapat disajikan pada media pers cetak atau media massa lainnya? Sinansari Ecip menyindir pemuatan hak jawab yang pendek dalam Rubrik Surat Pembaca: “Sering media pers hanya memuat sedikit isi hak jawab. Itu pun ditempatkan di rubrik ‘Surat Pembaca.’ Maka, tidak terjadi perimbangan yang adil, terjadi pelaksanaan hak jawab yang tidak memadai.”

Sebenarnya, hak jawab tidak selamanya dimuat di Rubrik Surat Pembaca. Ada kalanya klarifikasi subjek berita, yang serupa dengan hak jawab, disajikan sebagai berita baru dengan huruf-huruf judul dan kolom yang lebih mencolok daripada berita awal yang ditanggapi. Redaksi, memang, memiliki kewenangan untuk memilih cara penyajian dan juga melakukan penyuntingan bagi seluruh isi medianya, termasuk hak jawab. Ini sepenuhnya merupakan kompetensi Redaksi, sejalan dengan prinsip independensi pers yang kebijakannya tidak dapat dicampurtangani oleh kalangan luar—termasuk pemilik perusahaan pers itu sendiri.

Lagi pula, para pembaca tidak selamanya memprioritaskan informasi yang ditampilkan dengan huruf-huruf judul berukuran besar dan kolom-kolom yang lebar. Mereka biasanya memprioritaskan informasi yang menarik perhatian atau menjadi kepentingannya, sekalipun disajikan dalam satu kolom yang pendek atau di Rubrik Surat Pembaca. Saya pernah menulis surat kepada Dewan Pers untuk mengkritik satu putusan yang tidak membolehkan suatu hak jawab dari seorang pengadu dimuat di Rubrik Surat Pembaca. Saya mengatakan hanya akan mendukung putusan itu apabila Dewan Pers dapat membuktikan melalui riset bahwa tidak ada pembaca yang membaca Rubrik Surat Pembaca.

Kesepakatan Dewan Pers dan DPR
Empat jalur-tempuh yang dapat dilalui oleh khalayak ketika bersengketa dengan media pers telah disepakati oleh Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Dewan Pers pada 6 Juni 2000. Tetapi, penggunaan hak jawab tetap ditempatkan pada urutan jalur yang pertama.

Komisi I DPR sependapat dengan saran Dewan Pers independen, yang waktu itu baru terbentuk kurang dari dua bulan sebelumnya, agar ditempuh jalur yang lazim berlaku di negara-negara lain, dan juga di Indonesia selama ini, jika terjadi konflik antara publik dan media pers:

Pertama: penyelesaian melalui penggunaan hak jawab. Upaya ini memberikan kesempatan kepada perseorangan atau kelompok masyarakat yang menjadi narasumber atau objek pemberitaan untuk mengemukakan versinya yang berbeda atau bertentangan dengan isi berita yang sudah dipublikasikan atau disiarkan. Ini adalah jalur-tempuh yang paling singkat, paling praktis, dan paling tidak menelan baik energi maupun biaya.

Kedua: penyelesaian melalui Dewan Pers sebagai mediator. Apabila antara kedua pihak tidak dapat dicapai penyelesaian, mereka dapat meminta bantuan Dewan Pers sebagai mediator. Penyelesaian melalui Dewan Pers biasanya memerlukan waktu lebih lama, mungkin selama beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan—bergantung pada sederhana atau peliknya persoalan yang dihadapi.

Ketiga: penyelesaian melalui jalur hukum. Cara penyelesaian terakhir—jika salah satu atau kedua pihak merasa tidak puas dengan rekomendasi dan putusan Dewan Pers, atau salah satu pihak atau keduanya tidak berniat meminta bantuan Dewan Pers—dapat ditempuh jalur hukum melalui Pengadilan. Seperti dikatakan oleh Komisi I DPR, ini adalah “jalan paling panjang” yang dapat ditempuh oleh pihak-pihak yang bersengketa. Selain waktu-tempuh bisa selama berbulan-bulan, malahan bertahun-tahun, ini adalah upaya yang paling menelan energi dan biaya.

Alternatif keempat: boikot media pers. Selain menyepakati ketiga jalur penyelesaian itu, Komisi I DPR juga menyarankan alternatif keempat dalam upaya memecahkan sengketa publik dengan media pers. Yaitu, masyarakat juga mempunyai dan bisa menggunakan “social punishment” (“hukuman masyarakat”) dengan memboikot atau tidak menggubris media pers yang oleh Komisi I DPR disebut “tidak jujur.” Dengan kata lain, anggota atau kelompok masyarakat dapat melakukan tindakan: tidak membeli media pers cetak seperti surat kabar, tabloid, dan majalah; tidak mendengarkan siaran radio; atau tidak menonton siaran televisi yang “tidak jujur” atau disengketakan.

ATMAKUSUMAH
Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS);
mantan Ketua Dewan Pers (2000—2003)

Versi lebih singkat dimuat di harian Kompas, 30 Mei 2014, halaman 7.

Published in Kajian Media