“Cyberjournalism” dan Media Siaran

Oleh Pius Pope

“Journalism on radio and television shares with print journalism the basic techniques of news gathering and story telling….”(1)

Cyberjournalism—juga lazim dikenal dengan nama online journalism—dan berbagai ragam jurnalisme “masa kini” meramaikan pasar media massa abad ini. Pesatnya perkembangan teknologi, terutama teknologi komunikasi elektronik, membuka peluang jejaring komunikasi yang semakin asyik dan semakin personal, dengan piranti yang semakin ringkas dan bermobilitas tinggi. Jurnalisme ini mengandalkan teknologi Internet sebagai sarana sebarannya. Itulah sisi teknologi.

Akan tetapi, betapapun canggihnya sarana teknologi pendukung, sisi lain yang sangat penting adalah isi (content) pesan yang disebarkan dan bagaimana mengemasnya untuk mejamin efektivitas dan efisiensi pesan. Dalam hal content dan kiat-kiat pengemasannya, cyber journalism juga berlandaskan cara kerja dan teknik serta etika yang pada dasarnya berasal dari jurnalisme cetak dan jurnalisme pendahulunya, seperti radio dan televisi atau jurnalisme media siaran (jurnalisme siaran). Dalam kaitan ini, kita akan lebih membahas hubungan keterjalinan kinerja jurnalistiknya sebagaimana yang digeluti oleh para jurnalis lainnya.

Jurnalistik radio dan televisi dewasa ini lebih dikenal dengan nama yang mengglobal: broadcast journalism (jurnalisme siaran), yakni laras jurnalisme yang digunakan dalam dunia siaran radio dan televisi yang bahkan mencakup jurnalisme online atau disebut juga cyberjournalism.

Meskipun terdapat sejumlah perbedaan dengan media pers cetak, jurnalisme siaran masih merujuk pada landas jurnalisme yang sama, yaitu teknik dasar news gathering dan story telling yang sama. Tetap menggunakan asas objektif, imparsial, dan berimbang (Tony Harcup: 2004, p. 59) atau accuracy + balance + clarity = credibility (Paul De Maesener: Here The News… p. 35). Tidak kalah pentingnya adalah landas kode etik dan kode perilaku yang sama.

Variasi barulah muncul ketika jurnalis mengaplikasikan atau menuangkan karya jurnalistiknya ke masing-masing media yang mempunyai karakteristik yang berbeda: cetak, audio dan audio-visual. Perbedaan tersebut menuntut kekhasan dalam menulis, menyuarakan, dan menunjukkan gerak gerik atau “gerak laku” (gesture) atau mengonstruksi peristiwa berita.

Namun, betapapun perbedaan karakteristik tersebut, kini datang arus konvergensi dalam jurnalisme. Berbagai lembaga dan bisnis media massa cetak dan elektronik cenderung bersinergi untuk mengelola media cetak, audio dan audiovisual serta media cyber. Kini media pers cetak juga mengelola jurnalisme online atau cyberjournalism. Sebaliknya, media audio dan audiovisual mengelola jurnalisme online, yang merupakan kombinasi dinamis antara media pers cetak dan media elektronik. Kecenderungan ini merupakan asimilasi laras jurnalisme cetak dengan jurnalisme siaran.

Maka tren jurnalisme yang memfusi tersebut membuka peluang sinergi dengan munculnya para jurnalis multifungsi berbasis teknologi: technojournalist (Mark Casey, quoted in ENG Television News 1996: 19), yakni mereka yang selain mahir menulis, mengonstruksi berita, juga punya keterampilan praktis mengoperasikan kamera video, software audiovisual, menggarap sound, vision, time and space (Tony Harcup 2004: p 143).

Di kala kata-kata dan gambar semakin memfusi-menyatu, para jurnalis masa kini perlu dibekali secara memadai dengan kombinasi peran dan keterampilan dasar “lintas batas” masing-masing media. Jurnalisme masa kini menuntut hadirnya para reporter yang mempunyai “new mindset and a new mission”. Karena, mengutip pakar Universitas Yale di Amerika Serikat, William Zinser, bisnis media massa kini tidak lagi sekadar berada dalam bisnis berita atau informasi, melainkan juga dalam bisnis makna, “in the meaning business.”(2)

Para jurnalis era audiovisual masa kini perlu menguasai visual reporting, yang mengawinkan words, images, and designs to convey information (kata-kata, citra, dan desain untuk menyalurkan informasi) karena misi jurnalis visual adalah menyampaikan makna informasi bagi khalayak. Bahkan jurnalis masa kini juga dituntut memahami asas visual motion, yang memberi makna, seperti pengetahuan dasar mengenai kombinasi sudut kamera dan lensa yang menghasilkan struktur shot, framing, dan komposisi. Jurnalis yang memahami fungsi close up (CU), medium shot (MS), long shot (LS), nose room atau lead room dan berbagai variasinya akan lebih efektif menyampaikan makna pesan komunikasi audiovisual melalui televisi.

Bahasa Siaran

Hasil karya seorang jurnalis adalah news atau berita. Dalam broadcast journalism, wartawan menghasilkan news to be spoken (audio-radio) and to be seen (visual-audio visual, televisi):

Spoken language

Bahasa lisan merujuk kepada ragam bahasa pecakapan, sebagaimana yang dituturkan oleh anchor, reporter, dan penyuara (voicer) lainnya, seperti dalam berita paket. Ini adalahj bahasa yang didengar oleh khalayak—pendengar dan pemirsa.

Maka bahasa berita siaran merujuk kepada kaidah bahasa tutur, conversational style, tanpa terjebak dalam bahasa prokem, bahasa gaul, atau bahasa pasaran. Di sini selain struktur dan tata bahasa tutur, unsur bunyi, lafal-artikulasi, emphasis, stressing, dan intonasi sangat menentukan makna.

Conversational style

a. Para pakar menekankan pentingnya conversational writing untuk berita siaran. “Writing, when properly managed is but another name for conversation,” kata Laurence Sterne. Ia menganjurkan, “Write the way you talk” … it is imperative for broadcast writing”.(3) Yang perlu dicamkan di sini adalah “style” atau “‘the way’ people are talking.” Sebab, petunjuk tersebut tidak atau bukan dimaksudkan untuk sepenuhnya menggunakan kosakata dan kalimat-kalimat tutur yang tidak lengkap atau kosakata tutur yang bernada kasar dan tidak santun. Yang dimaksudkan di sini adalah “conversational style is simple and informal.”
b. Televisi memborong kriteria karakteristik berita untuk telinga dan mata. Selain semua unsur news for the ear berlaku untuk televisi, maka news for the eyes menjadi rujukan utama jurnalisme televisi. Artinya, gambar visual (yang hidup dan bergerak) harus menjadi prasyarat media yang visual ini. Dominasi gambar harus muncul dari setiap berita atau karya jurnalistik televisi, bukan sebaliknya, yaitu kata-kata dengan intonasi “taman kanak-kanak” yang “menutupi, membenamkan, bahkan mengganggu gambar visual berita yang sedang disimak.”
c. Tata krama menulis dan menyajikan berita televisi mempunyai pemeo yang berbunyi “let the picture tells the story or breath.” Ini merupakan tuntutan tayangan berita televisi, yaitu “biarkan gambar-video bercerita tentang peristiwa berita.” Mengapa? Karena sangat sering terjadi bahwa suara pe-voice over mendominasi, menutupi, dan mengganggu gambar video peristiwa berita. Bahkan gambar video peristiwa berita sama sekali tidak diberi kesempatan bernapas—muncul dan “tampak” tanpa hambatan suara dari penutur berita.
d. Karena itu, standar prosedur menulis berita televisi menuntut jurnalis agar sebelum menulis berita lebih dahulu harus melihat dan mempelajari serta menyimak gambar (video) hasil liputan dari lokasi peristiwa. Gambar (video) itulah yang harus menentukan cue, atau kalimat intro, lead, dan sekaligus menuntun body dan ending berita yang ditulis. Dalam hal ini adalah gambar (video) yang eye catching, dramatik, serta menjamin kontinuitas. Sudah tentu gambar video yang akan dipakai adalah yang memenuhi kriteria tuntutan komposisi serta standar kualitas yang diharapkan.

Maka kunci kiat yang harus diingat adalah: Anda sedang bertutur dengan seorang teman atau orang lain yang dianggap akrab. Beritahukan kepadanya, ada apa atau apa yang baru saja terjadi. Katakan apa yang baru Anda dengar atau lihat. Bayangkan bahwa Anda bertemu dengan seseorang yang akrab dan mengatakan (dalam tuturan sehari-hari) seperti berikut:

“Hai tau ‘enggak?! Ada kecelakaan di Jalan Thamrin. Motor Honda Bebek tabrak sedan Toyota. Bagasi mobilnya penyok, roda depan motornya ringsek. Pengemudi motornya, babak belur, luka parah … sudah dilarikan ke RSCM.”

Lalu, biasanya teman Anda menimpali: “Jalanan macet, dong?”
“Ya, jelas macet, dong! Apa lagi jam sibuk begini!” tambah Anda.

Nah, itulah suasana atau skenario sehari-hari. Dan, itulah yang diharapkan Anda bayangkan ketika akan menyusun tulisan atau tuturan untuk berita siaran. Skenario ini harus dijadikan patokan asas dalam menulis berita siaran setelah Anda pangkas istilah yang prokem, kasar, dan tidak santun.

Biasanya dari peristiwa atau kejadian semacam itu kita cenderung menulis berita dengan gaya bahasa tulisan atau cetak—yang tidak lazim dalam bahasa lisan. Biasanya kita dengar di radio atau TV berita semacam ini:

Telah terjadi sebuah kecelakaan antara sepeda motor dan sedan Toyota di Jalan Thamrin tadi pagi. Mobil sedan dengan nomor polisi B-4832-XY mengalami penyok di bagian bagasi, sedangkan sepeda motor Honda bebek dengan nomor polisi B-8821- XZ mengalami ringsek pada bagian roda depan. Pengendara sepeda motor mengalami luka parah dan kondisinya dalam keadaan babak belur, sudah dilarikan ke R-S-C-M. Situasi lalu-lintas Jalan Thamrin dari arah Bundaran Hotel Indonesia menuju Bundaran Air Mancur mengalami kemacetan. (74 kata)

Berita tersebut sama sekali bukan berita siaran yang pas. Lalu, bagaimana Anda menulis berita siarannya? Kurang lebih seperti berikut:

Ada kecelakaan di Jalan Thamrin. Baru saja (sebuah) sepeda motor Honda bebek menabrak sedan Toyota. Bagasi mobilnya penyok, roda depan sepeda motornya ringsek. Pengendara motor, babak belur, luka parah, dan sudah dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Jalan Thamrin dari Bundaran Hotel Indonesia ke Air Mancur kini macet. Rincian tabrakan segera menyusul. (Hanya 52 kata)

Konsekuensi siaran berita semacam ini adalah bahwa Anda harus segera mengusahakan rincian peristiwanya yang lebih lengkap berupa follow-up dengan beberapa fakta pendukung atau perkembangan baru. Minimal menjawab asas 5W dan H. Susulkan segera identitas korban, pengendara sepeda motor: Siapa dia, apa pekerjaannya, statusnya, keluarganya, relasi keluarganya, dan sebagainya. Jangan lupa kelengkapan keterangan dari polisi serta saksi mata dan narasumber lainnya yang melihat tabrakan itu. Bagaimana dengan pemilik sedan, reaksinya, apakah bersedia membantu atau sama sekali merasa tidak bersalah dan tidak mau tahu nasib si “penabrak.” Tambahkan juga kelengkapan lainnya, seperti keterangan saksis mata (kalau ada) dan polisi atau petugas jalan raya lainnya.

Selalu gunakan kalimat sederhana dan singkat, yang ditulis dengan kata kerja transitif dan dalam kalimat aktif. Harus diingat bahwa berita adalah peristiwa yang muncul dari suatu action—kegiatan, aktivitas. Dalam pembicaraan atau tuturan lisan sehari-hari orang jarang menggunakan kalimat pasif karena cenderung lebih “kagok”. Sebaliknya, juga “kagok” dan “aneh” bila seorang pembantu rumah tangga mengatakan, “Nyonya, makanan semua sudah dimasak oleh saya, Nya!” Dalam tuturan sehari-hari, pembantu itu cenderung mengatakan, “Nya, makanan sudah matang, Nya.”

Dalam bahasa Inggris suasana conversational sering terungkap oleh “contractions”. Seperti “won’t”, “it’s”, dan lain-lain. Bukannya “do not”, atau “would not”. Kecuali memang ingin dengan sengaja menekankan suatu makna tertentu. Dalam bahasa Inggris ada bahasa tutur-lisan yang lazim menggunakan kata “make” (“making”) dan sebagainya, seperti “making a visit”, “making mistakes”, “take action” dan lain lain.

Kita cenderung menerjemahkannya menjadi “melakukan kunjungan, melakukan kekeliruan atau kesalahan, melakukan aksi” dan lain lain. Padahal, bahasa kita mengenal kata-kata yang lebih sederhana dan aktif, seperti “mengunjungi” atau “berkunjung”, “keliru” atau “salah” (“He’s making mistakes”–“dia keliru, dia salah.” Tidak perlu bertele-tele dengan “dia melakukan kekeliruan atau kesalahan”). “Take action” tidak perlu kita terjemahkan dengan “melakukan aksi”. Carilah dulu maknanya dalam kalimat atau konteksnya, barulah kita artikan dengan kata-kata yang lebih sederhana dan tepat, bukan menerjemahkannya “mentah-mentah”.

Dr. Pallesten merujuk pada empat alasan terjemahan yang “asal-asalan” semacam itu karena:(4)
a. Kurang perhatian pada pesan (message).
b. Gagal memperhatikan khalayak khusus sehingga lupa menggunakan “target language” (bahasa lokal).
c. Terlalu mendewakan source language (bahasa narasumber) dan meremehkan target language (bahasa pendengar dan penonton). Akibatnya, terjemahan tersebut kedengaran aneh, kaku. dan “berbau asing.
d. Kurang percaya diri. Walhasil, “terdengarlah” terjemahan kata-kata padanan belaka, bukannya “meaning” atau makna yang tersirat dalam kata-kata tersebut. Makna akan terungkap dari susunan dan rangkaian kata-kata bila penulis berita dan penerjemah juga “menguasai” adat istiadat, kebiasaan, dan tradisi berbahasa target language.

Perlu diperhatikan bahwa menulis dalam “conversational style does not mean that you may use slang or colloquialism or that you should write ungramatically. Nor use vulgar or off-color expression. Remember that your audience is composed of people of all ages and sensitivities. The broadcast media have been given credit for raising the level of properly spoken English. Make your contribution.”(5)

Jadi, sebenarnya menulis untuk siaran adalah: Menulis untuk diucapkan atau dituturkan kembali. Itulah kata kunci dalam berita siaran. Karena, betapapun, berita yang ditulis itu akan dituturkan atau diceritakan kembali oleh penyiar atau reporter secara pribadi (personally) kepada khalayak—person to person.

Conversational style dan person-to-person merujuk pada gaya tulis dan tutur. Penyiar berita dituntut menyuarakannya dengan broadcast voice, suara layak siar, dan intonasi layaknya sedang bicara antara pribadi dalam jarak dekat. Tidak perlu berteriak dengan nada tinggi yang mengesankan jarak jauh.

Meskipun ragam bahasa tutur Inggris cenderung “wordy”, Anda harus menulisnya dalam “conversational style” tanpa “wordy”. Harus singkat dan padat. Singkirkan kata sifat dan kata tambahan yang tidak perlu. Kurangi kalimat pasif. Gunakan kata kerja aktif yang kuat “menggigit” (strong active verbs). Usahakan agar setiap kata benar-benar bermakna. Singkat juga berarti Anda harus bisa menyeleksi dan membuang ihwal yang tidak kuat sangkutannya dengan berita yang Anda tulis. Sarikan inti yang perlu-perlu saja. Yang dalam sekilas, pendengar dapat mengerti dan mendapat gambaran lengkap secara garis besar atas peristiwa dan berita itu. Ingat, media siaran adalah media yang “transit”.

Berikut adalah contoh copy atau naskah berita VO (voice over, narasi yang menyertai gambar) tentang Badrul Kamal dalam siaran stasiun televisi SCTV:

(Anchor On Cam/In Vision) (Lead VO):
Usai Berunjuk Rasa di Departemen Dalam Negeri/ Masa Pendukung Calon Wali Kota Depok Badrul Kamal Sore Tadi Menggelar Konvoi di Sejumlah Jalan Utama Kota Depok..

(Roll VO)
Dalam Aksi Jalan Kaki Ini Masa Pendukung Badrul Kamal Memprotes Mahkamah Agung yang Mereka Anggap Memihak Kubu Calon Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail// Selain Berkonvoi dengan Kendaraan Roda Dua dan Roda Empat/ Mereka Juga Membakar Ban Bekas di Tengah Jalan// Tindakan Itu Membuat Laju Kendaraan Para Pengguna Jalan Terganggu// Rekan Budi Melaporkan Massa Badrul Kamal Mengaku Akan Terus Melancarkan Aksi Serupa/ Jika Mahkamah Agung Tidak Mencabut Keputusannya Memenangkan Nurmahmudi Ismail Sebagai Wali Kota Depok Terpilih// ((End))
*Cetak tebal oleh penulis

Analisis

a. (Intro berita – Lead). Mengawali lead in dengan kalimat inversi “Usai Berunjuk Rasa di Departemen Dalam Negeri,” mengisyaratkan transisi dari berita buletin sebelumnya (atau entah berita apa tadi pagi) di Departemen Dalam Negeri. Manakala berita tersebut berdiri sendiri, kalimat itu tidak diperlukan alias mubazir. Malah semakin membingungkan khalayak, terlebih bila di dalam tubuh berita butir “unjuk rasa di Departemen Dalam Negeri” sama sekali tidak disinggung atau diperjelas. Karena, ada ketentuan utama bahwa lead berita harus merupakan intisari yang akan diperluas dan dirinci dalam tubuh berita.
b. Kebiasaan serupa, yaitu menganggap pemirsa atau khalayak sudah mengetahui informasi “Unjuk Rasa di Departemen Dalam Negeri Tadi Pagi” sehingga tidak perlu dijelaskan lagi, dikritik sangat tajam oleh Mervin Block dalam bukunya Writing Broadcast News, Shorter, Sharper, Stronger – a Professional Handbook, dalam apa yang disebut sebagai “Dozen Deadly Sins”, yakni asas “Don’t starting a story with a participal phrase or a dependent clause.”(6)
c. Struktur tertulis kalimat tersebut membuka peluang bagi makna ganda yang menyesatkan, yakni “Badrul Kamal Sore Tadi Menggelar Konvoi di Sejumlah Jalan Utama Kota Depok.”
d. Deviasi makna tersebut diperkuat oleh intonasi anchor yang memberi jeda putus, yaitu menarik napas sesudah mengucapkan kata-kata “Calon Wali Kota Depok,” sehingga mengesankan frase tersebut sudah selesai. Barulah setelah jeda anchor melanjutkan dengan frase berikutnya, yaitu “Badrul Kamal Sore Tadi Menggelar Konvoi Di Sejumlah Jalan Utama Kota Depok.” Meskipun sesudah mengucapkan nama Badrul Kamal terdapat sedikit pacing atau jarak, flow atau aliran napas dan intonasi kedengaran menyambung dengan kata-kata “Sore Tadi Menggelar Konvoi …” dan seterusnya sehingga kedengaran seolah-olah Badrul Kamal (itulah yang) menggelar konvoi.
e. Karena itu, dalam struktur kalimat berita siaran dianjurkan agar sangat memperhatikan unsur subjek, predikat, dan objek (leterangan) -S-P-O. Dalam contoh tadi: newsmakers adalah “Masa Pendukung Calon Wali Kota Depok dan Badrul Kamal”. Action dalam berita tersebut tertuang dalam kata kerja atau verb (predikat) “Menggelar (Konvoi).” Bila yang “Menggelar (Konvoi)” adalah “Masa Pendukung”, maka strukturnya haruslah total diubah untuk mencegah makna ganda seolah-olah “Calon Wali Kota Depok” atau “Badrul Kamal” itulah yang menjadi aktornya yang “Menggelar Konvoi Di Sejumlah Jalan Utama Kota Depok.” Dan, demi kejelasan serta ketepatan makna, intro tersebut harus diubah menjadi: “Sejumlah Jalan Utama Kota Depok Dibanjiri Konvoi Pendukung Calon Wali Kota Depok Badrul Kamal// Mereka Sore Tadi Unjuk Rasa Karena Tidak Puas Atas Keputusan Mahkamah Agung //”

Tubuh berita: “Mereka Juga Membakar Ban Bekas di Tengah Jalan//”
f. Kalimat “Mereka Juga Membakar Ban Bekas di Tengah Jalan” tidak perlu karena video sudah menjelaskannya. Let the picture tells the story.

Berikut adalah contoh perbaikan berita VO (berdasarkan gambar yang ada). (VO):

(Lead)
Sejumlah Jalan Utama Kota Depok Dibanjiri Konvoi Pendukung Calon Wali Kota Depok Badrul Kamal// Mereka Sore Tadi Unjuk Rasa Karena Tidak Puas Atas Keputusan Mahkamah Agung//

(Roll V0)
Inilah Konvoi Pendukung Badrul Kamal// Mereka Memprotes Karena Menganggap Mahkamah Agung Memihak Calon Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail//
(Pause titik…titik… / Sesuaikan dengan gambar)
Aksi Ini … Mengganggu … Menghambat … dan Menyebabkan Beberapa Ruas Jalan Kota Depok Macet Sore Tadi //
Menurut Reporter Budi/ Para Pendemo Mengaku Akan Terus Memprotes Jika Mahkamah Agung Tidak Mencabut Keputusan (yang) Memenangkan Nurmahmudi Ismail Sebagai Wali Kota Terpilih Untuk Depok// ((End))

Intonasi

Urusan berita dalam siaran radio dan televisi lalu menjadi urusan easy to be spoken bagi newscaster dan reporter serta easy listening, enak dilafal, dituturkan dengan alunan suara–intonasi, tinggi nada, pitch serta tekanan, stressing (emphasis) yang tepat dan mendukung makna (communicating the meaning, not just reading the words) oleh anchor serta enak didengar oleh khalayak.

Namun, dalam kenyataan, naskah berita siaran kita didominasi oleh gaya naskah cetak. Para penyiar kita pun mayoritas masih terjebak dalam intonasi, nada suara dan tekanan yang “kental dengan gaya membaca”. Seperti “menghentak” pada kata-kata di akhir kalimat yang dikenal dengan istilah punching the last word. Suatu intonasi dan stressing yang lazim diajarkan dan diterapkan oleh para murid taman kanak-kanak:

“Ini Ibu Tuty.” – Nama Tuty dihentak dalam nada tinggi.

“Tuty pergi ke seKolah” – Kata Kolah dihentak dalam nada tinggi.

Sama seperti intonasi seorang reporter pada akhir liputan:

“Demikian saya melaporkan dari Bogor” – Menghentak pada Bogor.

Masih begitu banyak lagi contoh salah kaprah dalam intonasi dan penyajian meaning yang dapat kita dengar di hampir semua siaran radio dan televisi setiap hari.*

Pius Pope adalah pengajar LPDS

Catatan kaki:
(1) Tony Harcup, Journalism, Principles and Practice, hlm.142, Sage Publications, 2004.
(2) Dikutip dari Christopher R. Harris dan Paul Martin Lester, Visual Journalism – A Guide for New Media Profesionals; 2002: hlm. 3.
(3) Laurence Sterne, seperti dikutip dalam buku Andrew Boyd, Broadcast Journalism, 2002, hlm. 56.
(4) Dikutip dari HERE’S the NEWS – A Radio News Manual , compiled and edited by Paul de Maeseneer; UNESCO, 1982, hlm. 161.
(5) News Reporting and Writing; hlm. 422.
(6) Mervin Block, Writing Broadcast News, Shorter, Sharper, Stronger – a Professional Handbook, hlm. 4; (c) 1987, Bonus Book, Inc. Chicago.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Published in Kajian Media