Laporan Natalis Stefanus Arie Bagus Poernomo, Harian Pagi Tabura Pos, Manokwari, Papua Barat, 2 Oktober 2016
Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Arie Bagus mendapat tugas ke Desa Sungai Beras, Jambi, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23 – 31 Agustus 2016
Puluhan pohon berakar besar, nampak berdiri kokoh tanpa sedikitpun coreng menodainya di Desa Sungai Beras, Jambi. Dedaunan yang telah mengering tersengat mentari-pun menghujani hutan desa yang masih hijau dan lestari. Foto Arie
Desa Sungai Beras, Jambi, ClimateReporter – Hebat. Desa ini mampu mempertahankan hutannya dari amukan Si Jago Merah.
“Alhamdulillah, di area Hutan Desa Sungai Beras tahun lalu (2015), tidak ditemukan satupun titik api,” kata Bimo, Fasilitator Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang ditemui di kantornya, Jl. Inu Kertapati No. 12, Kelurahan Pematang Sulur, Telanaipura, Kota Jambi.
Disadur dari berbagai sumber, pada tahun 2015 lalu kebakaran hutan dan gambut terjadi di Sumatera dan Kalimantan.Di Provinsi Jambi sendiri ada beberapa kabupaten yang menjadi titik rawan kebakaran saat itu.
Kabupaten Muaro Jambi salah satunya. Di kabupaten tersebut ditemukan 15 titik api yang telah membumihanguskan lebih dari seratus hektar hutan dan lahan gambut. Kebakaran tersebut di Desa Kumpeh Jaya, Kecamatan Kumpeh.
Desa Sungai Beras, Kacamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur-pun terkena dampak asap dari kebakaran hutan di desa kabupaten tetangganya itu. Meski begitu, tak banyak warga yang mengalami gangguan kesehatan akibat dari asap yang dikirimkan dari desa tetangga tersebut. Ini karena petugas kesehatan dari kabupaten dan provinsi bekerja sama dengan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sudah lebih awal dikerahkan ke desa tersebut.
Bimo telah bertugas dua tahun di Desa Sungai Beras. Ia mengungkapkan KKI Warsi datang ke desa tersebut dengan tujuan membantu warga setempat untuk mempertahankan desa dari bencana kebakaran hutan yang terjadi dari tahun ke tahun di Jambi.
“Untuk menjaga desa dari kebakaran hutan yang belakangan ini sering terjadi kami dari Warsi telah melakukan sosialisasi kepada seluruh warga di Desa Sungai Beras. Selain sosialisasi kami juga memberikan pelatihan kepada warga dalam hal bertani dan bercocok tanam,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga mengatakan, untuk mengantisipasi kebakaran hutan di desa tersebut, KKI Warsi dan seluruh warga setempat telah membuat sekat kanal di area hutan dan lahan gambut. Kanal berfungsi sebagai drainase gambut yang sarat air. Bila sudah kering, gambut mudah dibakar. Lahan gambut itu lalu dialihgunakan menjadi kebun kelapa sawit atau pohon akasia.
Kanal sekarang disekat agar permukaan air naik. Lahan gambut yang semula kering itu dapat menyerap air kanal itu sehingga lahan gambut itu basah kembali.
Kanal ini cukup efektif menjaga ketersediaan air. Ketersediaan air tersebut membuat hutan dan lahan gambut tetap basah dan tidak mudah terbakar walaupun kemarau panjang sedang berlangsung.
Karena gambut itu bersifat seperti spons, maka air yang tersedia di kanal yang telah di resapi oleh tanah itu-pun ikut diresapi oleh gambut sehingga gambut itu tetap terjaga kelembaban dan kebasahannya.
Bimo-pun juga mengisahkan pada tahun 2015, saat kebakaran hutan sedang marak terjadi di desa-desa sekitar dan tak juga ada hujan yang turun, warga Desa Sungai Beras pernah melakukan salat minta hujan.
“Mayoritas warga di sana Muslim. Saya pernah sekali ikut salat minta hujan di sana karena waktu itu memang udah lama sekali nggak turun hujan, ditambah bencana kebakaran hutan lagi banyak terjadi di mana-mana.
“Jadi warga di sana waktu itu berinisiatif melakukan salat minta hujan tapi ya, hujan nggak turun juga. Biar begitu yang penting tidak ada kebakaran aja kami udah bersyukur sekali,” kisahnya.
Sistem Tani Cerdas
Lepas dari itu semua, Bimo menambahkan untuk merestorasi hutan gambut di Desa Sungai Beras, ia mengaku KKI Warsi telah menjalin kerja sama dengan beberapa instansi pemerintah yang menangani hal tersebut.
“Kami juga sudah melakukan kerja sama dengan pihak pemerintahan seperti Dinas Kehutanan untuk merestorasi hutan dengan menamam jenis tumbuhan yang asli habitatnya di lahan gambut. Sampai saat ini, kita sudah nanam Jelutung Rawa, kurang lebih sudah hampir tiga ratusan hektar” ungkapnya.
Jelutung Rawa adalah tumbuhan sejenis karet yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Tumbuhan ini hanya dapat ditemui di wilayah Indonesia bagian barat saja. Tumbuhan ini dapat dimanfaatkan warga sebagai mata pencaharian dengan cara mengambil getahnya. “Seperti karet yang diambil getahnya” kata, Bimo.
Climate Smart Agriculture, sistem pertanian cerdas yang ramah iklim, tengah dilaksanakan Warsi di desa tersebut. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.
Tumpang sari adalah salah satu sistem pertanian yang ramah iklim dan sedang diaplikasikan di Desa Sungai Beras. Tumpang sari adalah salah satu program pertanian yang mencampur proses penanaman ragam tumbuhan (polyculture) dalam lahan yang sama dan waktu yang sama pula. Hal ini dilakukan untuk mencapai produksi yang tinggi karena dengan tumpang sari tanaman pokok bisa tumbuh selayaknya pertumbuhan dan tidak terganggu oleh tanaman tumpang sarinya.
Salah satu tanaman yang tengah dilakukan dengan cara tumpang sari untuk meningkatkan kesejahteraan warga di Desa Sungai Beras adalah lada.
“Jelutung itu baru bisa diambil getahnya kurang lebih 7-10 tahun. Karena itu lama, kita coba mencari komoditi yang cepat dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Maka saat ini, kami sedang menjalankan program CSA. Jadi di situ, kami juga menanam cabai dan lada,” tambahnya.
Dengan tegas Bimo-pun mengatakan bahwa tidak ada penebangan pohon di desa tersebut. “Kita tidak menebang pohon, tapi kita melestarikan bahkan kita lebih ke penghijauan kembali,” tegasnya.
Ia pun mengaku, bahwa saat ini KKI Warsi juga sudah berkomunikasi dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk merestorasi lahan gambut di desa tersebut.
“Kalau dari BRG ya, sebenarnya sudah lancar berkomunikasi dengan mereka. Kawan-kawan BRG juga pernah ke Sungai Beras untuk melihat kondisi hutan disana dan tanggapannya cukup memuaskan dari kawan-kawan BRG dan sudah diposting di media sosialnya BRG, yang turun waktu itu dari medianya dari Kominfonya dan melihat kegiatan kita disana” akunya.
Salah satu program BRG untuk menanggulangi gambut terbakar adalah membuat sumur bor.
“Untuk sumur bor itu belum ada di Sungai Beras, tapi nggak tahu ke depannya nanti. Kami sih berharap agar BRG mau membuatkan sumur bor itu buat warga di sana untuk mengantisipasi kebakaran,” ungkapnya.
Ia pun bercerita Desa Sungai Beras termasuk daerah yang cukup terisolir. Menurutnya, di desa tempat tugasnya itu, sampai saat ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) belum memberikan pelayanannya.
Selain itu, katanya, sinyal telepon seluler di sana juga belum baik sehingga ia dan warga setempat agak kesusahan soal komunikasi. Akses jalan di sanapun juga cukup sulit, menurutnya, apalagi di waktu musim hujan.
“Secara akses itu kita sulit juga, yang selanjutnya kalau musim hujan, karena itu lokasinya lahan gambut dan berlumpur agak kesulitan kita untuk mengaksesnya. Jadi kalau ada ditemukan titik kebakaran atau apa di sekitar itu kesulitannya itu, membawa alat atau mencapai lokasi itu karena akses jalannya memang belum layaklah untuk dilalui kendaraan,” kisahnya lagi.
Semua kendala yang dikatakan Bimo itu terbukti benar adanya, ketika saya turun langsung ke desa tersebut akhir Agusutus lalu.
Desa ini dapat ditempuh menggunakan beberapa alat transportasi. Salah satunya dengan menumpangi mobil travel dari Kota Jambi. Sekiranya 2 jam perjalanan kita sudah sampai di Simpang Kiri. Dan menumpangi perahu ketek, sekitar 25 menit dengan ongkos Rp40.000 dari Simpang Kiri yang menjadi tempat berlabuhnya perahu-perahu tersebut.
Dilansir dari situs berita lingkungan Mongabay.co.id, hutan di Desa Sungai Beras telah resmi menjadi hutan desa atas keputusan Menteri Kehutanan yang tertera dalam SK Menteri/Menhut-II 2014 dengan luasan 2.200 hektar.
Arti hutan desa menurut SK itu adalah, hutan desa tersebut dapat dikelola oleh masyarakat dan pemerintah desa sebagai pengawasnya.
Prestasi Membanggakan
Kala desa-desa tetangga sedang bertempur untuk mempertahankan hutannya dari amukan si jago merah, hal yang berbeda terjadi di Sungai Beras. Warga desa ini mampu mencegah serangan tersebut. Hal ini menjadi sebuah prestasi yang membanggakan bagi seluruh warga desa tersebut.
“Segala hal kami lakukan untuk menjaga desa kami dari bencana kebakaran hutan,” tutur Kepala Desa Sungai Beras, Nelvy Usvita, yang ditemui di kediamannya.
Menurutnya di desa trersebut setiap malamnya dilaksanakan ronda keliling oleh warga untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran,
Hasil dari semua yang diupayakan pemerintah dan warga Desa Sungai Beras pada akhirnya berbuah manis. Nelvy mengatakan prestasi ini juga tak lepas dari kesadaran warganya yang bertekad kuat untuk menjaga hutan desa.
Pemerintah Desa Sungai Beras-pun punya sanksi jika ada warga yang kedapatan membuka lahan dengan cara membakar.
“Kami melarang keras aktivitas bakar membakar di sekitar hutan. Jika ada yang membuka lahan dengan cara membakar, maka pelakunya sebelum berhadapan dengan hukum, pelaku itu-pun akan dikenakan sanksi oleh kami” tegas ibu dua anak ini.
Saat ditanyai sanksi apa yang akan diberikan kepada pelaku pembakaran, Nelvy enggan mengatakannya. “Soal sanksi itu pokoknya adalah, tidak bisa saya sebutkan” katanya.
Menurutnya, juga untuk saat ini belum ada warganya yang kena sanksi tersebut karena kesadaran warga untuk menjaga hutan desa cukup tinggi.
Ia juga mengatakan di sekitar hutan gambut milik Desa Sungai Beras telah dibangun sekat bakar yang sederhana. Ini sudah ada semenjak masa kepemimpinan suaminya sebagai Kepala Desa Sungai Beras beberapa tahun lalu sebelum bencana kebakaran hutan melanda desa-desa sekitar pada pertengahan hingga akhir 2015 lalu.
“Sekat-sekat bakar yang kami buat ini cukup sederhana dan tak memakan banyak biaya. Untuk satu sekat bakar modalnya hanya dua ratus ribu (rupiah). Itu-pun sudah termasuk dengan ongkos makan dan rokok untuk yang mengerjakannya,” tambahnya usai membaca ID card Wartawan milik saya.
Sekat bakar buatan warga desa tersebut memang tampak cukup sederhana. Sekat hanya memakai terpal dan bahan-bahan alami yang bisa didapatkan di hutan desa tersebut. Walaupun sederhana, sekat-sekat bakar ini berfungsi cukup baik untuk membasahi gambut dan menangkal kebakaran hutan.
Sekat bakar ( kanal ) sederhana di pinggiran Hutan Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi. Sekat dari terpal dibuat warga untuk mencegah kebakaran hutan. (Foto : Arie )
Sekat bakar ( kanal ) ini memang cukup sederhana karena hanya menggunakan terpal dan beberapa bahan alami yang mudah ditemukan di sekitar hutan tersebut. (Foto : Arie)
Beberapa sekat bakar itu berada di pinggiran hutan dan yang lainnya ada di dalam hutan yang cukup jauh jaraknya dari pinggiran hutan tersebut. Sekat kanal ini berfungsi menjaga ketersediaan air untuk melembabkan dan membasahi gambut di lokasi hutan tersebut.
“Meskipun sekat bakar yang kami buat ini sederhana namun fungsinya cukup baik untuk menjaga kelembaban gambut yang ada di hutan desa kita. Sampai saat ini sudah delapan sekat bakar yang telah kami buat disini” timpal Nelvy lagi.
Ia juga menambahkan desa ini-pun pernah dikunjungi oleh peneliti dari Jerman dan Singapura. Selain itu, beberapa dosen dari Institut Pertanian Bogor (IPB)-pun pernah datang melakukan survei ke desa tersebut. Mereka juga memberikan saran serta masukan tentang apa saja yang perlu diperbaiki di Desa Sungai Beras dalam segi pertanian dan pengolahannya.
Capaian Desa Sungai Beras dalam mempertahankan hutannya dari bencana kebakaran hutan ini, tak lepas dari campur tangan KKI Warsi. Hal itu disampaikan oleh Perencana Lapangan Kelompok Tani, Desa Sungai Beras, Waha, pada saat menyusul saya yang tengah berjalan kaki sekira satu setengah kilometer menuju hutan desa tersebut.
“Soal pembuatan sekat kanal yang sederhana dari bahan terpal ini teman-teman dari Warsi yang mengajarkan kami.
“Ya, memang tidak banyak air yang dapat ditampung dari sekat kanal yang Warsi ajarkan ini, tapi bisalah kami gunakan untuk mengantisipasi bencana kebakaran hutan” tutur Waha sembari mengayunkan aritnya secara perlahan untuk membersihkan belukar yang telah sedikit menutupi kanal tersebut.
Sekat kanal yang dibuat KKI Warsi dan warga desa tersebut tidaklah besar. Lebarnya hanya berkisar satu setengah hingga dua meter saja dengan terpal yang menutupi salah satu sisinya untuk menahan air di kali-kali kecil yang sengaja dibuat untuk itu.
Menurut Waha, program pembuatan sumur bor yang menjadi salah satu program dari Badan Restorasi Gambut (BRG) itu akan sangat membantu desa dalam mengantisipasi kebakaran hutan di desa tersebut.
“Kalau tidak salah bulan Januari lalu, ada dua orang yang mengaku dari BRG datang kemari survei lokasi hutan desa tapi. Habis itu sudah tidak datang pernah datang lagi,” kata Waha yang tengah mengendarai sepeda motor, Yamaha, Jupiter MX miliknya memboncengi saya kala kami menuju sekat kanal berikutnya.
”Soal program sumur bor yang mau dibuat BRG itu bagus, karena disini ada beberapa titik yang benar-benar rawan dan tidak bisa kami buatkan kanal air,” ungkap Waha.
Apakah ada bantuan dari pemerintah kabupaten dan provinsi untuk mencegah kebakaran dan merestorasi hutan gambut di desa tersebut?
“Kalau soal bantuan dari pemerintah saya tidak tahu. Yang saya tahu bantuan itu lebih sering dari teman-teman Warsi saja mulai dari membuat kanal hingga memberikan kami bibit-bibit tanaman itu dari Warsi. Kalau dari pemerintah saya tidak tahu,” aku Waha.
Ia juga menambahkan di Desa Sungai Beras setiap bulannya menarik uang 10.000 rupiah, dari setiap kepala keluarga. Uang swadaya ini, menurutnya, digunakan untuk membeli perlengkapan untuk membuat sekat kanal seperti terpal dan juga untuk membeli bibit tanaman yang akan dibagikan untuk warga yang mayoritas penduduknya adalah petani.
“Uang itu kalau ada sisanya, uang sisa itu kita pakai beli kopi untuk warga yang melakukan ronda malam di hutan dan sekitar desa” pungkasnya.
Masyarakat Sadar
Sementara itu, H. Kamsun, Ketua Kelompok Pengelola Hutan Desa (KPHD), mengatakan hutan desa Sungai Beras merupakan hutan milik pemerintah.
“Kita di sini sadar untuk menjaga hutan, karena Pemkab dan Pemprov sudah memberikan kebebasan untuk kami bercocok tanam di hutan pemerintah. Makanya itu, kami-pun sadar untuk menjaganya dengan tidak melakukan pembakaran. Pemerintah Provinsi Jambi telah melarang membuka lahan dengan cara membakar,” kata Kamsun yang secara kebetulan dijumpai saat sedang memeriksa salah satu sekat kanal di hutan desa tersebut.
Kamsun mengatakan berkat sosialisasi dan bimbingan dari KKI Warsi, pada akhirnya warga desa tersebut tahu apa fungsi sekat kanal.
“Kami di sini juga sebenarnya tidak tahu apa itu sekat bakar (kanal). Hal itu baru kita ketahui sejak KKI Warsi masuk ke desa kami dan memberikan bimbingan kepada kami beberapa tahun belakangan ini. ”ungkapnya.
Senada dengan Waha, H. Kamsun juga mendukung program BRG soal pembuatan sumur bor untuk mengantisipasi kebakaran hutan.
“Kalau pembuatan sumur bor itu kami dukung, karena hal itu tidak merugikan kami tapi justru mempermudah kami untuk berjaga-jaga kalau ada kebakaran hutan. Apalagi di sini ada tempat yang tidak bisa kita buatkan sekat bakar karena agak susah mengaliri air ke tempat-tempat itu,” ungkap Kamsun.
“Tapi sampai sekarang ini BRG belum datang lagi ke sini untuk membuat sumur bor. Terakhir mereka datang itu, Januari lalu kalau tidak salah, itu sebelum diresmikan menjadi lembaga negara yang khusus menangani hutan gambut” kata Kamsun.
Ia juga menambahkan bahwa di desa tersebut tidak pernah terjadi illegal logging (penebangan liar), karena warga di desa tersebut masih sadar untuk menjaga hutan.
“Ilegal loging? Di sini tidak ada mas, karena kami di sini sadar kalau kami menumpang di hutan milik negara yang kami takutkan adalah orang-orang jahil dari luar yang datang dan melakukan itu. Makanya di sini hampir setiap malam kami bergilir meronda kedalam hutan dan sekitar desa” tuturnya.
Menurut Kamsun, memang sudah ada beberapa perkebunan sawit dan akasia namun itu tidak besar karena kedua jenis perkebunan itu milik warga desa tersebut. Pemerintah dan warga desa tersebut memang tak memberikan ijin untuk perusahaan sawit dan kayu untuk masuk ke desa tersebut.
“Hutan saat ini bukanlah hutan yang akan kita wariskan kepada anak cucu kita melainkan hutan ini sedang kita pinjam dari mereka,” pungkasnya.
Desa Peduli Gambut
Deputi III Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG, Myrna Safitri, saat dihubungi melalui telepon selulernya, mengatakan, untuk tahun 2016 ini BRG masih fokus di tiga provinsi lain yaitu, Provinsi Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.
Untuk Provinsi Jambi dan yang lainnya, programnya baru akan dilaksanakan pada tahun 2017 nanti. Myrna-pun mengatakan belum ada petugas dari lembaga tersebut yang turun ke Desa Sungai Beras pada tahun 2016 ini.
“BRG tahun ini fokus di Riau, Sumsel dan Kalteng. Kami belum ada program di Jambi. Baru Oktober akan ada jambore tetapi masih persiapan, ” singkatnya membalas.
Pernyataan Myrna soal belum adanya petugas dari BRG yang datang ke Desa Sungai Beras bertolakbelakang dari keterangan yang diberikan Bimo, Waha dan H. Kamsun.
Saya mengirim e-mail ke Kantor Pusat BRG di Jakarta untuk menanyakan benar tidaknya ada dua petugas BRG yang datang ke Desa Sungai Beras menurut tiga warga desa tadi .
Dalam e-mail balasan tersebut, spesialis komunikasi Musfarayani (Fay) mengatakan memang, Jambi menjadi prioritas BRG, namun pada tahun berikutnya baru akan melakukan programnya disana.
Ia juga mengatakan secara resmi BRG belum melakukan sosialisasi di Jambi. Tetapi BRG pernah melakukan pertemuan informal dengan KKI Warsi dan perkumpulan masyarakat peduli gambut Jambi di Kantor KKI Warsi.
“Waktu itu yang datang Mbak Myrna dan saya. Saya lupa kapan tepatnya. Tujuannya bersilahturahmi dan mengumpulkan informasi serta sharing (berbagi) terkait perkembangan pemberdayaan masyarakat gambut, ” Fay berkata dalam e-mail.
Menurutnya juga pada waktu itu mereka diajak oleh Warsi untuk melihat langsung upaya-upaya restorasi yang telah dilakukan di desa tersebut. “Kebetulan mereka (KKI Warsi) pada esoknya akan melakukan sosialisasi program mereka ke masyarakat setempat.
“Jadilah kami, melalui saya – ikut melihat inisiasi masyarakat Sungai Beras, bersama Bimo dan beberapa staf Warsi. Salah satunya Mas Kurniawan yang saya cc-kan juga pada email ini”kata Fay.
“Cerita yang saya lihat di Sungai Beras kemudian saya upload ke sosmed BRG. Inspiratif dan sesuai dengan yang tengah didorong BRG. Karena upaya yang dilakukan di Sungai Beras itu yang kelak akan BRG dorong dalam desa peduli gambut,” terangnya.
Menurutnya, Desa Sungai Beras dapat dijadikan sebagai contoh dalam menjaga gambut dan mencari alternatif tanaman yang bernilai ekonomi dan ramah gambut.
Published in