Di Balik Adipura Balikpapan

Laporan Christopel Paino, Mongabay Indonesia, Gorontalo, 30 Sep 2016

Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Christopel mendapat tugas ke Balikpapan, Kalimantan Timur, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23 – 31 Agustus 2016

Balikpapan, ClimateReporter – Angkutan kota biru kuning itu berjalan pelan menembus rutinitas Kota Balikpapan. Penumpangnya seorang lelaki dan perempuan paruhbaya. Di depan mereka, kotak putih kecil tertempel. Ini bukan hiasan. Sampah plastik dan sedotan jadi penghuninya. Kotak itu terbuat dari jerigen bekas berukuran kecil yang dipotong bagian atasnya.

“Tempat sampah ini sudah lama, Mas,” kata Syarifudin.

Syarifudin adalah lelaki di belakang kemudi angkot nomor 05 itu. Dua puluh tahun sudah ia menjadi sopir angkot di Kota Minyak ini di Kalimantan Timur. Meninggalkan Makassar, tanah leluhurnya. Selama menjadi sopir baru kali ini ia merasa angkot sangat bersih. Orang-orang tak membuang sampah ke jalan. Kota menjadi nyaman, ditumbuhi pepohonan, apalagi didukung orang-orang yang ramah.

“Kalau tidak ada tempat sampah, bisa kena denda saat razia,” ujarnya.

Razia dilakukan tim yustisi pemerintah kota. Mereka terdiri atas Satpol PP dan juga polisi. Jika kena tangkap, maka besaran denda berkisar Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Aturan ini sesuai dengan Peraturan Daerah nomor 13 tahun 2015 tentang sampah rumah tangga dan sampah lainnya. Sebelumnya, ada Peraturan Daerah nomor 10 tahun 2004 tentang pengelolaan persampahan.

“Jadi kami harus menghadapi razia dari polisi soal lalu lintas dan juga razia kebersihan. Tapi masih banyak juga angkot yang nakal dan tidak mematuhi peraturan,” kata Syarifudin.

Adipura

Pada 22 Juli 2016 Kota Balikpapan mendapatkan piala Adipura Paripurna. Ini penghargaan tertinggi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kota atau ibukota yang mampu melakukan pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Balikpapan berhasil menyisihkan 500 kota atau kabupaten di Indonesia.

Beberapa syarat penilaian mendapatkan puncak tertinggi Adipura ini antara lain berinovasi di bidang pengelolaan sampah dan Ruang Terbuka Hijau (RTH), pengendalian dampak perubahan iklim, pemanfaatan energi terbarukan, serta penurunan ketimpangan ekonomi dan sosial berbasis pengelolaan lingkungan hidup.

Bahkan untuk penghargaan Adipura tingkat negara-negara di Asia Tenggara, Balikpapan berhasil menyabet tiga penghargaan sekaligus. Pada ajang yang diberi tajuk Invitation to the 3rd ASEAN Environmentally Sustainable Cities (ESC) Award yang berlangsung di Loa Plaza Hotel, Laos, 2015 silam, Balikpapan menyabet tiga kategori clean land, clean water dan clean air.

Sukur Efendy, Kepala Bidang Info Penegakan Hukum, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Balikpapan, menjelaskan salah satu poin penting yang membuat Kota Beruang Madu ini mendapatkan penghargaan Adipura Paripurna adalah penerapan Clean, Green, and Healthy (CGH). Ini merupakan program di bidang lingkungan yang menitikberatkan pada pengelolaan sampah dan diharapkan dapat membantu Kota Balikpapan dalam strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Di lapangan, BLH bekerja sama dengan Dinas Kebersihan Pertamanan dan Pemakaman (DKPP) melakukan monitoring rutin ke setiap kelurahan. Hingga memantau warga yang membuang sampah sembarangan. Jika kedapatan, sanksinya Rp50.000 seperti angkot yang tidak membuat tempat sampah.

Selain itu, menurut Sukur, mereka tetap melibatkan masyarakat untuk membangun kesadaran pentingnya kebersihan kota. Di Balikpapan banyak sekali pendatang dengan latar belakang pengetahuan yang berbeda. Inilah menyebabkan masih banyak warga yang membuang sampah sembarangan dan di beberapa tempat ada lokasi yang kotor.

Bagaimana dengan program kampung iklim? Menjawab pertanyaan ini, Sukur Efendy mengaku bahwa Kota Balikpapan baru sebatas membuat kampung rintisan. Itu pun dinamai dengan nama kampung organik dan masih menitikberatkan pada pengelolaan sampah saja. Kampung proklim sendiri mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 19 tahun 2012.

“Kami baru punya kampung organik di Kelurahan Sepinggan, Kecamatan Balikpapan Selatan. Kampung ini juga menjadi rintisan sebagai program kampung iklim,” ungkap Sukur.

Berdasarkan Permen Nomor 19 tahun 2012 itu, dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, program kampung iklim harus meliputi pengendalian kekeringan, banjir, dan longsor. Peningkatan ketahanan pangan, pengendalian penyakit terkait iklim; penanganan atau antisipasi kenaikan muka laut, rob, intrusi air laut, abrasi, erosi akibat angin, gelombang tinggi.

Pengelolaan sampah, limbah padat dan cair; pengolahan dan pemanfaatan air limbah; penggunaan energi baru terbarukan, konservasi dan penghematan energi; budidaya pertanian, peningkatan tutupan vegetasi, dan pencegahan serta penanggulangan kebakaran hutan dan lahan.

Jufriansyah, Direktur Stabil (Sentra Program Pemberdayaan dan Kemitraan Lingkungan), salah satu LSM di Kota Balikpapan, mengatakan jika berbicara soal Adipura, harus juga bicara tentang tata ruang Kota Balikpapan. Namun sayangnya, secara tata ruang Kota Balikpapan menurutnya sangat tidak layak, belum lagi terjadi pelepasan kawasan untuk industri. Hal ini mengakibatkan Teluk Balikapan menjadi tumbal dari proyek glamor pemerintah Kota Balikpapan.

Sementara konsep CGH yang dijelaskan oleh BLH dan DKPP Balikpapan, katanya, hanya berorientasi mengejar hadiah atau bonus yang digelar di tiap kelurahan. Sebagai contoh, pada tahun 2008 setiap Rukun Tetangga (RT) yang menang lomba CGH mendapatkan bonus Rp100 juta. Uang tersebut biasa dalam bentuk pembangunan sarana prasarana. Namun jumlah tersebut menurun saat ini yang berkisar Rp10 juta untuk pemenang. Karena orientasinya hanya pada kompetisi, maka perubahan secara menyeluruh yang menyasar pada kesadaran masyarakatnya masih lemah. Dalih dari BLH selama ini, menurut Jufri, karena dana yang terbatas.

“Memang kota Balikpapan tampaknya bersih. Tapi kalau bicara pengelolaan lingkungan, nanti dulu. Terjadi pelepasan kawasan untuk industri besar. Dan titik lemah itu ada pada BLH.”

Sayangnya, Kepala BLH Kota Balikpapan, Suryanto, yang dimintai klarifikasinya atas pernyataan dari Jufriansyah tersebut, tidak memberikan tanggapannya. Ketika dihubungi lewat pesan singkat ke nomor kontak pribadinya, Suryanto tidak memberikan respon.

Namun apa yang dijelaskan oleh Jufriansyah tersebut diaminkan Husain, Koordinator Forum Peduli Teluk Balikpapan (FPTB). Menurut Husain, penghargaan Adipura Paripurna masih perlu dipertanyakan. Bahkan justru sebaliknya Kota Balikpapan, menurutnya, gagal dalam pengelolaan lingkungan.

Husain memberikan bukti kegagalan itu dengan mengatakan bahwa dalam rencana tata ruang dan wilayah kota yang ditujukan untuk kawasan hutan mangrove yang memiliki kandungan karbon tinggi, justru dialih fungsi untuk kegiatan perindustrian.

Husain yang berjuang untuk penyelamatan Teluk Balikpapan menjelaskan, pengelolaan buruk itu adalah perluasan industri Kawasan Industri Kariangau (KIK) ke beberapa hulu sungai di mana hutan alami dengan biodiversitas yang tinggi masih beregenerasi. Proses ini pun lagi, dipicu oleh murahnya spekulasi lahan atau hutan, yang areanya sangat tidak cocok untuk pengembangan lahan industri.

“Lahannya bergunung dan rawa, tidak mungkin untuk mengembangkan industri tanpa dilakukannya tindakan yang sangat kontroversial, yaitu mereklamasi lahan dengan mengupas gunung dan menimbun hutan mangrove dengan tanah.”

Tidak hanya itu, kata Husain, Teluk Balikpapan adalah area perairan yang tertutup dengan sistem pengairan yang terbatas, yang pertukarannya hanya didapat dari Selat Makassar. Semua erosi sedimentasi karena pengupasan lahan, dan limbah industri, akan terakumulasi di muara teluk.

“Dengan perkembangan industri ekosistem, bawah laut ini akan mengubah Teluk Balikpapan menjadi teluk racun dan menjadi tempat yang tak bisa lagi dihuni,” ungkap Husain.

Pentingnya Teluk Balikpapan

Kamis siang, 25 Agustus 2016. Awan mendung menutupi matahari ketika kapal-kapal besar berdiam diri di Teluk Balikpapan. Perahu kecil berkecepatan tinggi lalu-lalang melewati salah satu kapal tongkang. Sementara perahu klotok bermuatan orang dan kendaraan roda dua seolah menanggung beban. Hanya butuh waktu sekira 20 menit bagi klotok menyeberang ke pelabuhan di Penajam Utara.

Saya menumpangi perahu klotok bercat biru dengan penumpang belasan orang itu. Tiba di pelabuhan Penajam Utara, ojek motor menawarkan jasa mereka. Saya memilih tukang ojek bernama Jafar dengan motor berukuran besar. Jafar, lelaki asal Maros, Sulawesi Selatan itu, mengantarkan saya ke salah satu hulu Teluk Balikpapan. Tepatnya di lokasi Hutan Tanaman Industri (HTI) milik PT ITCI (International Timber Corporation Indonesia) Kartika Utama. Perusahaan ini pesahamnya adalah Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subianto, Ketua Dewan Pembina Gerindra. Lewat wahana partai politiknya tersebut, Prabowo melawan Joko Widodo dalam pemilihan presiden RI 2014.

Untuk menuju salah satu lokasi PT ITCI Kartika Utama, dibutuhkan waktu sekira 3 jam atau lebih, dengan kondisi jalan yang sebagian besar rusak. Di kiri dan kanan, hutan gundul dan tanaman sawit menjadi pemandangan biasa. Setibanya di lokasi PT ITCI Kartika Utama, saya disambut dua petugas keamanan tak berseragam dan portal besi yang di sudutnya tertulis “no entry”. Kedua petugas itu hanya mengenakan kaos oblong. Seorang bercelana jins panjang, dan seorang lagi berjins pendek.

“Maaf Pak, dilarang masuk tanpa seizin perusahaan. Anda siapa?” kata petugas keamanan perusahaan. Saya memperkenalkan diri. Dan petugas keamanan itu bernama Misran. Ia belum setahun bertugas sebagai security. Misran mengaku sebagai warga asli Kalimantan dan berasal dari suku Paser.

“Saya izin memotret model rehabilitasi hutan di perusahaan ini karena mengembangkan tumpang sari dengan aren sebagai pohon induknya,” jawab saya kepada Misran.

“Coba telepon Pak Agung dulu,” teriak security lainnya dari dalam pos keamanan kepada Misran. Ia lebih senior. Wajahnya tak bersahabat.

Pak Agung yang dimaksud adalah atasan mereka. Misran lalu menelpon, dan tidak lama kemudian, Pak Agung muncul dengan motornya. Ia mengenakan seragam biru dongker, bersepatu lars, dan berkumis tebal. Tanpa senyum Agung meminta saya ikut dengannya ke kantor PT ITCI. Sesampainya di sana, dua orang security berkaos loreng sudah menunggu. Saya masuk ke dalam kantor. Tiba-tiba seorang berpenampilan necis dengan rambut klimis berpakaian sedikit krem, menanyakan identitas saya. Di baju yang ia pakai pada bagian dada kanannya tertulis “Budi Gunawan”.

“Saya koordinator keamanan di sini,” jawab Budi Gunawan.

Kepada Budi Gunawan, saya menjelaskan liputan mengenai rehab hutan yang didorong oleh perusahaan mereka dengan mengedepankan tumpang sari dan aren sebagai pohon induknya.

“Maaf, Mas. Kalau tidak ada izin tidak bisa masuk ke wilayah perusahaan,” katanya lagi.

Saya pun gagal mendapatkan informasi mengenai cara PT ITCI yang berupaya merehabilitasi hutan. Padahal perusahaan mengklaim mampu menambah stok karbon dan membantu upaya mitigsi karena pohon tidak ditebang. Serta mendorong penghasilan bahan bakar karbon rendah dari olahan aren.

Menurut Jufriansyah dari Stabil, wilayah konsesi PT ITCI merupakan salah satu daerah hulu yang berpengaruh terhadap pendangkalan Teluk Balikpapan. Salah satu alasannya adalah nilai konservasi tinggi kawasan hutan yang didorong lebih banyak pada perkebunan. Sungai yang menghubungkan konsesi perusahaan tersebut dengan Teluk Balikpapan adalah sungai Maridan.

“Perusahaan ini diakhir tahun 90-an sempat berkonflik dengan masyarakat adat Paser. PT ITCI juga dikenal karena birokrasi yang panjang, dan ada istilah kalau ITCI itu anak yang tidak diketahui,” ungkap Jufriansyah.

Sayangnya, Direktur Utama PT ITCI Kartika Utama, Odang Kariana, ketika diminta konfirmasi lewat surat elektronik tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai tudingan Jufriansyah tersebut. Hingga Rabu, 28 September 2016, Odang tidak memberikan jawaban atas pernyataan Jufriansyah.

Data yang diungkapkan oleh Forum Peduli Teluk Balikpapan lain lagi. Di area yang lebih hulu, yang masuk dalam wilayah kabupaten Penajam Paser Utara, selama satu dekade terakhir telah mengalami kecacatan yang sangat buruk dengan berkembangnya industri dan penanaman kelapa sawit. Menurut forum tersebut, beberapa perusahaan sawit telah terbukti bersalah dan dianggap telah membawa kerusakan terberat, walaupun perusahaan itu adalah anggota RSPO. Roundtable Sustainable Palm Oil adalah organisasi berpusat di Malaysia yang menetapkan standar kelapa sawit yang terukur dan ramah lingkungan.

Menurut FPTB, kelapa sawit telah ditanam di sepanjang pesisir teluk dan sungai yang dianggap tidak sesuai. Tidak hanya itu, konversi area konservasi bernilai tinggi dan memiliki fungsi ekologi vital menjadi perkebunan adalah sangat melanggar kriteria RSPO itu sendiri.

“Herbisida yang digunakan untuk memberantas rumput secara terus menerus telah menyebabkan polusi yang serius, mengancam ekosistem vital rumput laut. Selain penanaman, industri proses minyak kelapa sawit telah menjamur di sepanjang Teluk Balikpapan hingga menyebabkan kerusakan hutan, fragmentasi populasi Bekantan, sedimentasi, dan polusi.”

Menurut Husain, Teluk Balikpapan sangat penting bagi masyarakat yang berada di sekitarnya. Di sepanjang pesisir ada banyak desa nelayan tradisional. Seperti Gersik, Jenebor, Pantai Lango, Maridan, dan Mentawir. Pendapatan ribuan nelayan tradisional tersebut masih bergantung pada pelestarian sumber kekayaan alam Teluk Balikpapan. Di saat ekosistem mengalami degradasi, para nelayan tidak bisa memperoleh pendapatan alternatif.

“Sering terjadi pemikiran yang pendek, yaitu menjual tanah dan lahan mereka kepada pengembang usaha yang kemudian diubah menjadi penebangan liar atau mengakibatkan tindakan kriminalitas lainnya,” ungkap Husain.

“Namun warga juga bangkrut setelah mencoba bisnis alternatif yang kemudian ternyata gagal. Seperti membuka tambak atau perkebunan. Ini berakibat meningkatnya tingkat kemiskinan di wilayah tersebut.”

Dari sudut pandang konservasi, Teluk Balikpapan memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Di dalamnya terdapat hutan hujan tropis primer, regenerasi hutan hujan tropis sekunder, hutan mangrove rawa-rawa, lahan bebatuan, terumbu karang, paparan rumput laut, dan laut dangkal.

Hutan sekunder yang masih tengah berlanjut regenerasinya menghubungkan sekat hutan ini dengan wilayah hutan penting lainnya, yaitu area konservasi hutan Bukit Suharto ke arah timur laut dan Gunung Meratus ke arah barat daya. Sedangkan ekosistem perairannya menghubungkan Selat Makassar ke arah timur.

Husain menambahkan Teluk Balikpapan merupakan wilayah habitat bekantan (Nasalis Larvatus) yang penting. Ini adalah satwa endemik Kalimantan. Teluk Balikpapan menyokong habitat populasi bekantan terbesar di dunia, yaitu mencapai 1.400 ekor, yang mewakili lima persen dari estimasi total keseluruhan jumlah bekantan yang ada. Sementara secara keseluruhan populasi bekantan diperkirakan mencapai 20.000-25.000 ekor, walaupun beberapa populasi yang masih penting lainnya masih belum diketahui atau masih belum diperhatikan.

Menurut data yang ada, bekantan di Teluk Balikpapan hidup bersama lebih dari 100 jenis mamalia lainnya termasuk orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), gibon kalimantan (Hylobates muelleri), lumba-lumba air tawar (Orcaella Brevirostris), dugong (Dugong Dugon), macan dahan (Neofelis diardi), kucing merah (Pardofelis badia), kucing hutan (Prionailurus planiceps), beruang madu (Helarctos malayanus), dan Trenggiling (Manis Javanica), serta masih banyak lagi.

Selain itu terdapat lebih dari 300 jenis burung yang diantaranya burung tokhtor kalimantan (Carpococcyx radiceus), merak mini kalimantan (Polyplectron schleiermacheri), bangau tong-tong (Leptoptilos javanicus), dan bangau putih (Ciconia stormi). Teluk Balikpapan juga sering didatangi penyu hijau (Chelonia Mydas) dan terdapat pula populasi residen buaya muara (Crocodylus porosus).

Sementara dalam perspektif yang lebih luas, Teluk Balikpapan dianggap mampu memberikan nilai ekosistem yang sangat besar tidak hanya bagi Kota Balikpapan, namun juga bagi Kabupaten Penajam. Karena beberapa sistem sungai berperan besar sumber air bersih yang sangat vital, yaitu sungai Wain. Sungai ini merupakan sumber air bersih utama bagi perusahaan minyak, industri vital yang ada di Kota Balikpapan. Selain itu, ada sungai Semoi, sungai Lawe-lawe, sungai Riko, dan sungai Tempadung, yang merupakan sumber air dimasa mendatang dan sumber air bawah tanah.

Hutan di sepanjang Teluk Balikpapan juga berperan penting dalam mengendalikan banjir, yang jika tidak dijaga akan membawa dampak yang besar bagi masyarakat di wilayah pesisir dan perkotaan. Persoalan yang terjadi akibat berkurangnya hutan di Teluk Balikpapan adalah sedimentasi yang menumpuk di dalam air. Padahal hutan berperan penting dalam pengendalian iklim setempat. Karena saat ini iklim cenderung menjadi panas dan kering setelah konversi vegetasi alam menjadi lahan terbuka atau pun dijadikan bangunan gedung.

Menurut Husain, potensi penggunaan sumber daya alam Teluk Balikpapan untuk peningkatan ekonomi yang berkesinambungan sangat besar namun belum dikembangkan. Ada kesempatan besar untuk mengembangkan ekowisata yang berkesinambungan di Teluk Balikpapan.

“Dari sisi ekowisata, carbon trade akan menguntungkan dari segi ekonomi juga memberikan dampak positif bagi ekosistem Teluk Balikpapan. Apalagi hutan mangrove diketahui sebagai salah satu penyerap karbon yang paling efisien,” kata Husain.

Namun sayangnya dalam RTRW Kota Balikpapan, katanya, hutan mangrove telah dialih-fungsi menjadi kawasan industri. Pada beberapa titik, juga ada reklamasi sepanjang 200 meter dari bibir pantai yang hanya memegang izin prinsip. Sementara kesibukan lalu lintas di Teluk Balikpapan membuat perairannya tercemar, yang dibuktikan dengan ditemukannya 6 mamalia yang terdampar, seperti lumba-lumba, pesut, dan juga dua ekor penyu hijau.

“Jadi penghargaan Adipura untuk Kota Balikpapan itu tidak layak jika pengelolaan lingkungannya sangat buruk dan justru mengancam masa depan kota ini,” kata Husain.

Editor Warief Djajanto Basorie

1. Tong sampah plastik dalam angkot Balikpapan

2. Teluk Balikpapan dilalui kapal-kapal angkut barang

 

3. Papan “no entry”  di gerbang berbatang besi melintang PT ITCI

Published in ClimateReporter