Jakarta (Berita Dewan Pers) – Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, menyatakan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) yang sebentar lagi akan diberlakukan perlu diketahui agar penyelenggara informasi maupun pengguna informasi dapat menggunakan sebaik-baiknya.
Menurutnya, keterbukaan informasi dibutuhkan dalam rangka menciptakan transparansi. Dalam sistem demokrasi, transparansi membutuhkan tanggung jawab dan disiplin. “Apapun hak tanpa disertai tanggung jawab dan disiplin, penggunaannya akan disertai anarki. Dan itu tidak kita kehendaki,” kata Bagir Manan saat menyampaikan sambutan dalam acara Diskusi “Penerapan UU KIP: Masalah dan Solusinya” yang digelar Dewan Pers di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (12/4/2010).
Bagir menegaskan, dari sudut tanggung jawab dan disiplin, kewajiban untuk memelihara keterbukaan informasi bukan hanya dari penyelenggara informasi tapi juga pemakai informasi. Pemakai informasi turut bertanggung jawaba agar keterbukaan informasi tidak menimbulkan persoalan. “Itulah sebabnya UU ini mengatur banyak hal mengenai tata cara ketika meminta informasi dan sebagainya,” lanjut mantan Ketua Mahkamah Agung tersebut.
Diskusi yang dipandu Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, ini juga menghadirkan pembicara Mas Achmad Santosa (Anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum), Wina Armada Sukardi (Anggota Dewan Pers), dan Ahmad Alamsyah Saragih (Ketua Komisi Informasi).
Pidana
Penerapan UU KIP, menurut Wina Armada, berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan bagi pers, terutama karena keberadaan Pasal 51 UU KIP. Pasal tersebut mengancam orang, termasuk wartawan, dengan pidana penjara satu tahun dan atau denda sampai Rp5 juta apabila menggunakan informasi publik secara melawan hukum. Pengertian “secara melawan hukum” hingga kini belum jelas.
Dewan Pers dan Komisi Informasi kemungkinan juga akan menghadapi sengketa apabila terjadi perbedaan penilaian tentang pentingnya informasi publik dan boleh tidaknya informasi tersebut disiarkan oleh pers. Karena itu, ia mendorong adanya kesepakatan antara Dewan Pers dan Komisi Informasi.
Mas Achmad Santosa mengemukakan tiga persoalan utama yang perlu segera diatasi dalam implementasi UU KIP. Pertama, ada aturan yang kurang jelas di dalam UU KIP yang berpotensi menimbulkan silang penafsiran. Kedua, masih terdapat hal-hal yang membutuhkan pengaturan pelaksana. Ketiga, adanya norma yang berpotensi menghambat, seperti keharusan menyebutkan alasan permintaan informasi.
“Permintaan informasi masih lemah. Perlu ada penguatan di tingkat civil society,” lanjut Santosa yang biasa disapa Ota.
Terkait mafia hukum di sistem peradilan, Ota mengungkapkan, penyebabnya karena ada monopoli kekuasaan dan diskresi yang luas tanpa akuntabilitas yang memadai.
Ahmad Alamsyah Saragih mengemukakan, hingga sekarang baru tujuh badan publik yang sudah mulai mempersiapkan diri untuk menerapkan UU KIP yaitu Polri, Departemen Kesehatan, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Pemerintah Daerah Jawa Tengah, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Selebihnya banyak yang masih berkutat mewacanakan di tingkat pejabatnya dan mulai berpikir mengimplementasikan anggaran di tahun 2011.
Komisi Informasi, lanjut Alamsyah, sudah menyelesaikan Peraturan tentang Standar Pelayanan Informasi. Sedang peraturan tentang prosedur penyelesaian sengketa masih dalam proses pembuatan.
Rencananya Komisi Informasi akan memberi waktu tiga bulan kepada badan publik untuk menyiapkan standar operasional prosedur di lembaga masing-masing berdasar petunjuk teknis yang disiapkan Komisi Informasi. Kemudian ada waktu transisi enam bulan untuk menyiapkan kapasitas SDM dan pendukungnya.
“Yang lebih penting, bagaimana badan publik menentukan struktur pejabat pengelola informasi dan dokumentasi,” kata Alamsyah.
Sumber: www.dewanpers.org
Published in