“Pers selalu berada di depan untuk menyuarakan hak asasi manusia, termasuk kesetaraan gender, sehingga secara secara internal di perusahaan pers juga harus bisa menerapkannya.”
Jakarta (ANTARA News) – “Setiap peringatan 17 Agustus ada perasaan malu bagi saya. Banyak sahabat, kerabat dan orang Indonesia saat itu berjuang bertaruh nyawa, sedangkan saya hanya menerjemahkan teks proklamasi ke bahasa Inggris dan Belanda untuk disiarkan teman-teman pers asing.”
Ucapan bernada lembut dan senyum selalu tampak di bibirnya itu dikemukakan Siti Latifah Herawati Diah di sela-sela Pameran Foto “MERDEKA MERDEKA” di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Jakarta, Sabtu (22/8/2009).
Ia wafat Jumat ini di Rumah Sakit Medistra Jakarta, dan dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata usai Shalat Jumat.
Ibu Diah, demikian berbagai kalangan biasa menyebut dirinya, termasuk salah seorang pekerja di jawatan radio Jepang (Hoso Kyoku) di bawah penguasaan militer penjajahan Negeri Sakura itu. Ia bertugas di program berbahasa Inggris untuk keperluan propagandanya penguasa Jepang (Dai Nippon). Hoso Kyoku menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia (RRI) pada 11 September 1945.
Ia mengemukakan, “Saya sebetulnya dipaksa bekerja di sana. Sepulang belajar jurnalistik di Amerika, rasanya nama saya termasuk yang diamati tentara pendudukan Jepang.”
“Namun, ada hikmahnya karena saya punya banyak akses informasi internasional dan internal Jepang yang bisa dibagikan untuk teman-teman pergerakan menuju kemerdekaan Republik Indonesia,” kata perempuan yang lahir di Tanjung Pandan, Belitung, pada 3 April 1917 itu.
Hera, itulah nama panggilannya di kalangan keluarga, menceritakan bahwa sang ibunda sangat berpengaruh dalam menentukan pendidikan di keluarga.
Ia terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Ibunya Siti Alimah binti Djojodikromo, dan ayahnya Raden Latip adalah lulusan sekolah dokter Stovia tahun 1908. Dokter Latip membuka praktik di Pulau Belitung sebagai ahli medis di perusahaan tambang timah Belanda.
Siti Halimah, yang lahir dan dibesarkan dari lingkungan bangsawan (priyayi), menekankan pendidikan agama Islam dan tradisi Indonesia, serta mendorong anak-anaknya untuk merangkul gaya hidup Barat yang bertujuan mengimbangi intelektual kaum penjajah Belanda.
Hera pun selulus dari Europeesche Lagere School (ELS) di Salemba, Jakarta, dikirim ke American High School di Tokyo, Jepang. Berlanjut ke Amerika Serikat (AS), dan pada 1941 dia menjadi wanita pertama Indonesia yang berhasil meraih gelar sarjana dari luar negeri. Ia menjalani studi di Barnard College, Universitas Columbia, New York. Pada musim panas ia belajar jurnalistik di Universitas Berkeley, California.
“Wawasan saya menjadi sangat terbuka dan berada di tengah budaya perdebatan egaliter maupun gender yang setara, lelaki dan perempuan di tingkat yang sama. Lima tahun selesai studi, kembali ke Indonesia. Jepang menyerbu ke selatan dan menggulingkan semua pemerintahan jajahan Eropa di Asia Tenggara. Nasib saya pun terbawa sejarah dunia ini,” ujar aktivis di jurnal pers Universitas Berkeley pada akhir 1930-an itu.
Ia pun menjumpai kebenaran dari keteguhan hati ibundanya, yakni memutuskan Herawati harus menuntut ilmu ke AS sebagai negara yang tidak punya jajahan, sangat berbeda dengan sejumlah negara Eropa, seperti Belanda, Jerman maupun Inggris yang notabene adalah penjajah.
“Saya sangat kaget sekaligus malu saat kembali pulang ke Jakarta, ternyata foto saya turun di tangga pesawat di airport Kemayoran sempat menjadi liputan wartawan, termasuk teman dari UPI, yang saat itu kebetulan meminta saya menjadi korespondennya” kata Hera, merujuk liputan kantor berita United Press International (UPI) dari AS.
Jurnalisme dan latar pendidikan Amerika tersebut langsung membawa Hera ke berbagai peristiwa bersejarah jelang kemerdekaan Indonesia. Melalui sejumlah lobi dan berbagai sarana telekomunikasi saat itu memantapkannya menjalani tugas-tugas jurnalisme.
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada medio Agustus 1945, dan Soekarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan RI, Hera sempat menjadi sekretaris pribadi menteri luar negeri pertama RI, Mr. Achmad Soebardjo, yang juga pamannya.
Berkaitan dengan teks Proklamasi Kemerdekaan RI, Hera mendapatkan naskahnya langsung dari Burhanuddin Muhammad Diah (1917–1996), yang tak lain dan tak bukan adalah sesama rekan kerja di Hoso Kyoku, kemudian menjadi wartawan Asia Raya dan menikahinya pada 18 Agustus 1942. BM Diah mendapatkan naskah rancangan proklamasi tulisan tangan Soekarno (Bung Karno).
Ia menuturkan, “Naskah draft itu sempat diremas dan dibuang Bung Karno setelah Bung Sajuti Melik mengetik naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Suami saya mengambil naskah draft itu, dirapikan dan diselipkan ke buku catatan yang dibawanya.”
“Keesokan hari saya mendapati naskah itu, dan was was saat menerjemahkan sambil menyampaikan ke teman-teman wartawan asing, setelah Bung Karno membacakan teks bersejarah berdirinya Republik Indonesia,” kata Hera.
Saat menyebarkan terjemahan teks Proklamasi Kemerdekaan RI, ia mengemukakan banyak mendapatkan bantuan dari sang suami dan teman sejawat pers, terutama Adam Malik (1917–1984) yang ikut mendirikan dan memimpin Kantor Berita Antara.
Adam Malik, yang kemudian menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sekaligus Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 1977–1978 dan Wakil Presiden RI periode 1978 — 1983, adalah sahabat pasangan Burhanuddin-Herawati Diah, apalagi mereka bertiga sama-sama lahir tahun 1917.
Pada 1 Oktober 1945 Herawati membantu suaminya menerbitkan koran pro-Indonesia Merdeka sehingga dinamakan Merdeka.
Mereka sepakat menyuarakan Republik Indonesia sebagai negara baru dalam arena politik internasional yang belum teruji, sehingga membutuhkan media komunikasi untuk melawan Belanda dan Sekutu yang ingin memulihkan rezim Hindia Belanda.
Perjalanan jurnalisme Hera kian kuat pada Oktober 1954 memimpin harian Indonesian Observer sebagai kampanye aspirasi kemerdekaan RI dan negara-negara masih terjajah melalui Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Bandung, Jawa Barat. Indonesian Observer menjadi media mitra penyelenggara sekaligus referensi peserta KAA 1955.
“Saat Konferensi Asia Afrika 1955 dan Dasa Sila Bandung memperlihatkan bahwa Indonesia sudah tidak sendirian memperjuangkan hak asasi manusia menuju kemerdekaan satu bangsa dan negara. Kita sudah memimpin aspirasi bangsa Asia dan Afrika,” kata Hera.
Ucapannya itu dikemukakan sambil mencermati sejumlah foto bersejarah Indonesia Press Photo Service (IPPHOS) dan Kantor Berita Antara koleksi Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) Pasar Baru, Jakarta, Minggu (8/12/2013).
Herawati tetap berjurnalisme mendampingi suaminya saat diangkat sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh di Cekoslowakia, kemudian Inggris dan terakhir Thailand periode 1959–1968 maupun istri Menteri Penerangan RI kabinet akhir Soekarno (1968) melalui laporannya untuk koran Merdeka, terutama Indonesian Observer.
Koran Merdeka banyak menciptakan kader wartawan, termasuk Rosihan Anwar (1922–2011) dan Harmoko, yang menjadi Menteri Penerangan RI periode 1983–1997 kemudian Ketua MPR/DPR periode 1997–1999.
Hingga akhir hayatnya, Hera tetap rajin menulis dan membaca media massa berbahasa Indonesia maupun asing, serta bermain bridge. “Biar tidak cepat pikun,” kata penerima Bintang Mahaputra pada 1978 itu.
Ia menulis buku perjalanan jurnalisme An Endless Journey, dan juga tetap aktif menjadi inspirator jurnalisme nasional, termasuk bagi perempuan jurnalis Indonesia.
“Saya ikut bangga semakin banyak wartawati di perusahaan pers, bahkan menduduki posisi pemimpin redaksi. Pers selalu berada di depan untuk menyuarakan hak asasi manusia, termasuk kesetaraan gender, sehingga secara secara internal di perusahaan pers juga harus bisa menerapkannya,” kata penerima Press Card Number One (PCNO) dari Komunitas Hari Pers Nasional (HPN) di Jakarta 2009 itu.
Herawati juga tidak lupa terhadap salah satu institusi yang turut disokongnya bersama BM Diah, kemudian Harmoko, Jakob Oetama dan DH Assegaf (1932–2013) dan Tribuana Said (pimpinan Harian Waspada Medan, dan menantunya) di Dewan Pers pada 23 Juli 1988, yakni Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di bawah naungan Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA).
Saat menerima informasi kegiatan di LPDS, ia sempat berujar: “Semua harus semangat mendidik dan melatih wartawan, agar berwawasan aktual dan tetap menjaga kesantunan. Jangan lupa, wartawan harus sejahtera untuk membela kepentingan publik yang juga harus disejahterakan.”
Editor: AA Ariwibowo
Published in