Laporan Ferry Susanto Arsyad, inilampung.com, Bandarlampung,
29 Sep 2016
Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Ferry mendapat tugas ke Kota Tomohon, Sulawesi Utara, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia, 23 – 31 Agustus 2016
Tomohon, ClimateReporter – Hari beranjak siang. Kawasan hutan Gunung Lokon mendadak ramai. Beberapa pria tiba-tiba muncul dari pekatnya rimba belantara. Ada yang berjalan kaki, gerobak dorong, bermotor, bahkan dengan gerobak sapi.
Satu persatu jerigen berisi nira ukuran 25 liter yang mereka bawa diturunkan. Selanjutnya dikumpulkan di gubuk beratap seng. Di dalamnya terdapat sebuah tong besar dari stainless steel.
Jerigen nira masih terasa panas. Bergantian mereka saling membantu mengusung nira ke dalam gubuk. Wajah sumringah dan canda tawa mereka pecah di kesunyian hutan aren kaki Gunung Lokon.
Gunung Lokon berada di wilayah Kota Tomohon. Berjarak lebih kurang 23 km atau sekitar 30 menit menggunakan kendaraan motor dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara. Tinggi gunung berapi aktif ini 1.580 meter dari permukaan laut.
Dengan berada di pegunungan, Tomohon sangat sejuk. Selain Gunung Lokon, Tomohon juga dikelilingi Gunung Mahawu dan Gunung Masarang. Sayangnya, kondisi hutan di kaki gunung-gunung itu sudah rusak akibat kebakaran dan perambahan hutan.
Dari data Dinas Kehutanan Sulawesi Utara yang dikutip dari kompas.com, angka kerusakan hutan di Sulut pada tahun 2014 mencapai 298. 571 hektare. Kerusakan seluas 274.786 ha kategori lahan kritis dan 23.785 ha masuk kategori sangat kritis. Maka jika dibandingkan luas hutan Sulut 764.739 ha, 38,8 persen lahan bermasalah di Sulut. Sebagian diantaranya ada di hutan Tomohon.
Pada kebakaran hutan September 2015 lalu saja, kurang lebih 100 hektar hutan di Tomohon musnah. Kerusakan hutan tersebut sangat terasa berdampak pada perubahan suhu dan iklim di Tomohon. Kota bunga itu sudah tak sesejuk dulu.
Petani di bawah kaki gunung yang dulu tidak pernah kekurangan air, kini mulai mengalami kekeringan. Pertanian mereka pun terancam hanya bisa tanam sekali saja dalam setahun. Bahkan kini jika hujan deras turun, warga di kaki gunung pun mulai was-was. Pasalnya, air bah sewaktu-waktu bisa datang menyapu bersih pemukiman mereka.
Dampak lain kebakaran hutan adalah lepasnya karbon dioksida dan gas rumah kaca. Emisi karbon ini meningkatkan suhu global dengan menjebak energi matahari di atmosfer. Hal ini juga mengubah pasokan air dan pola cuaca, perubahan musim tanam untuk tanaman pangan dan menyebabkan naiknya permukaan laut yang mengancam masyarakat pesisir.
Karena kesadaran pentingnya menjaga hutan itulah, Yayasan Masarang, sebuah yayasan kemasyarakatan yang bergerak dalam pelestarian lingkungan di Tomohon, melakukan penanaman hutan kembali (reboasasi). Hutan yang dulu gundul kini berangsur hijau kembali berkat penanaman pohon aren dan cempaka.
Menurut Yopi Watulangko, pengawas internal dan penanggungjawab pembibitan aren Yayasan Masarang, koservasi hutan yang sudah berhasil mereka lakukan lebih kurang 400 hektar tersebar di beberapa lokasi diantaranya di Gunung Masarang dan Gunung Lokon.
“Luas tersebut belum masuk penanaman yang dilakukan masyarakat dari bibit yang kami sumbangkan, maupun pemda setempat. Jika digabungkan jumlahnya mungkin sudah mencapai ribuan hektar yang berhasil ditanami kembali,” kata Yopi Watulangko.
Menurut Yopi, reboasasi oleh Yayasan Masarang pada awal berdiri justru dengan pohon cempaka, baru menyusul aren. Namun karena aren atau nama latinnya Arenga pinnata diketahui memiliki kelebihan dan manfaat ekonomis lebih dibandingkan pohon lain, maka penanaman aren menjadi pilihan utama hingga sekarang.
Pohon aren, menurutnya, mulai akar, batang, daun, lidi, ijuk, hingga niranya dapat dimanfaatkan. Terutama niranya dapat diolah menjadi gula dengan kualitas ekspor.
“Sekarang lambat laun hutan yang dulu gundul karena terbakar sudah mulai pulih lagi. Masyarakat yang tadinya sulit tanam karena mata air yang kering, kini mulai bisa bertanam lagi,” kata dia.
Salah satu titik konservasi adalah di lokasi pengumpulan nira berjarak sekitar 1,5 km dari Kelurahan Tara-Tara, Kecamatan Tomohon Barat. Untuk mencapai lokasi, kita harus berjalan kaki sekitar 20 menit atau bisa juga menggunakan motor, dengan kontur jalan menanjak dan berbatu.
Nira bernilai niaga
Cairan nira bernilai ekonomis disadap dari aren. Nira tersebut diperiksa tingkat keasaman (PH) maupun tingkat kadar gulanya. Alat yang digunakan untuk memeriksa tingkat keasaman dinamakan PH meter, sedangkan untuk memeriksa kadar gula atau tingkat kemanisan dinamai Brix Refractometer.
PH meter dicelupkan ke dalam nira di dalam jerigen. Dengan dicelupkan, maka akan segera diketahui berapa tingkat keasamannya. Nira yang baik tingkat PH nya berada di level 7. Sedangkan dengan alat Brix Refractometer bisa diketahui nira bagus memiliki kadar gula 14 persen.
Dengan dilakukan pengecekan, disitulah harga nira ditentukan. Nira yang PHnya tidak sesuai standar akan ditolak karena tidak bisa diolah jadi gula semut. Begitupun dengan tingkat kadar gulanya, semakin tinggi kadarnya maka akan semakin mahal harganya.
“Nira yang sesuai dengan standar akan kami beli seharga Rp2.000 perliter. Bila kadar gula nira di atas 14 persen, maka setiap kenaikan 1 persen akan kami tambah Rp143 per liternya. Begitu juga sebaliknya kurang dari 14 persen maka akan kami kurangi harganya Rp143 per liter,” kata Dany Rawu, koordinator petani dari Pabrik Gula Aren Masarang.
Pabrik gula Masarang milik Yayasan Masarang di Tomohon mengklaim sebagai pabrik gula aren modern pertama di dunia. Pabrik gula ini diresmikan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono 14 Januari 2007.
“Ada sekitar 16 orang yang tergabung dalam kelompok petani nira di bawah koordinasi saya. Mereka inilah yang setiap hari menyadap nira untuk disetorkan ke kami,” tuturnya.
Selanjutnya, setelah nira selesai diperiksa dan dicatat tingkat PH dan kadar gulanya, maka akan ditumpahkan ke dalam tong. Penyaringan dilakukan agar nira bersih dari kotoran yang dapat menyumbat aliran pipa.
Kemudian nira dialirkan melalui pipa sepanjang 1 km hingga mencapai kaki gunung. Di sana sebuah mobil tangki sudah menanti guna memuat nira yang dihasilkan para petani untuk secepatnya dibawa ke pabrik gula Masarang di wilayah Kelurahan Matani III, Kecamatan Tomohon Tengah.
“Setelah semua selesai dicatat, kami akan membayar nira yang kemarin. Sementara nira hari ini akan dibayarkan besok setelah dicatat dan dilaporkan ke administrasi pabrik. Jadi transaksinya langsung di atas gunung. Uang langsung bisa dibawa pulang para petani,” terangnya.
Dijelaskannya, sebelum disetor ke pihaknya, penyadap diharuskan memasak nira terlebih dulu hingga mendidih. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi fermentasi yang menyebabkan aren tidak dapat diolah menjadi gula semut dengan kualitas ekspor.
Gula semut merupakan gula merah versi bubuk dan sering pula disebut orang sebagai gula kristal. Dinamakan gula semut karena bentuk gula ini mirip rumah semut yang bersarang di tanah. Kelebihannya gula ini memiliki kadar kalori rendah sehingga cocok dikonsumsi untuk diet.
“Makanya sampai ke penampungan ini, nira mereka masih panas karena baru saja dimasak. Nira ini selanjutnya dibawa ke pabrik untuk langsung diolah jadi gula. Jadi waktunya tidak bisa lama, paling lama dua jam. Jika tidak segera diolah maka nira akan rusak dan asam akibat fermentasi,” bebernya.
Sementara itu, raut gembira tergurat di wajah Ronald Pusung (39). Pasalnya, hasil kerjanya dari pagi tadi berbuah manis, sebanyak 175 liter nira berhasil dikumpulkan dari kebun aren miliknya.
“Hari ini saya dapat Rp319.600, rata-rata sih sekarang dapat segitu, kalau dulu lebih banyak lagi, bisa sampai Rp800.000 hingga Rp1 juta per hari,” ucap warga Kelurahan Kayawu itu.
Penyebab menurunnya pendapatannya karena beberapa faktor. Satu diantaranya pohon aren yang dimiliki saat ini sudah kurang produktif sebab sudah cukup lama disadap. Saat ini dirinya tengah proses mempersiapkan beberapa batang aren baru untuk disadap, menggantikan batang pohon aren yang sudah tua.
Menjadi petani penyadap nira diakuinya sudah menjadi pekerjaan utamanya bersama ratusan rekannya. Sedangkan aktivitas menyadap nira untuk disetorkan ke pabrik gula milik Yayasan Masarang baru berjalan sekitar empat tahun belakangan.
Dulu dirinya harus berjibaku mengolah sendiri nira yang didapat menjadi gula batu. Belum lagi waktunya terbuang untuk memasarkan gula produksinya ke pasar-pasar tradisional. Tak jarang, hasil yang didapat tidak imbang dengan tenaga yang sudah dikeluarkan. Penyebabnya, banyaknya pesaing menyebabkan harga gula di pasaran kadang anjlok.
Selain itu, waktu mereka harus tersita habis sehingga tidak bisa melakukan aktivitas sosial lainnya. Bahkan untuk melakukan kegiatan beribadahpun mereka tidak memiliki cukup waktu. Karena untuk mengolah nira menjadi gula paling tidak dibutuhkan waktu tujuh sampai delapan jam perhari. Belum lagi waktu tersita hanya sekedar untuk mencari kayu sebagai bahan bakar memasak gula.
“Kalau dulu kerjanya full seharian. Dari menyadap langsung mengolah gula di lokasi jadi tidak sempat melakukan aktivitas lain. Tak jarang kadang harus menginap di lokasi. Selain itu karena waktu mengolahnya lama, banyak membutuhkan kayu bakar. Kalau yang sekarang, kayu yang dipakai untuk memasak nira sedikit sekali. Jadi tidak perlu menebang pohon dan merusak hutan,” tutur pria beranak dua ini.
Peran pabrik
Kehadiran Pabrik Gula Masarang diakuinya sangat membantu meningkatkan kesejahteraan para petani. Dirinya berharap Pabrik Gula Masarang tetap berproduksi, bahkan bisa berkembang lebih besar lagi.
“Kami berkomitmen akan tetap menjaga dan melestarikan pohon aren ini, karena inilah pohon kehidupan kami. Tempat kami mencari nafkah untuk menghidupi keluarga,” Ronald menegaskan.
Nada sama diungkapkan Sirilius Turambe (58). Di usianya yang mulai senja, penghasilan Sirilius rata-rata Rp300.000 setiap hari, lebih dari cukup untuk menghidupi keluarganya. Warga Kelurahan Tara-Tara itu bersyukur, berkat pembinaan dan bantuan Yayasan Masarang kini keluarganya bisa keluar dari belenggu kemiskinan.
“Ya sangat membantu sekali. Dulu saya cuma bisa buat minuman cap tikus (minuman tradisional beralkohol). Sejak ada pabrik gula ini, saya berhenti membuat cap tikus. Selain beresiko disita aparat, membuat minuman tersebut banyak sekali memakai kayu, sehingga merusak hutan,” ungkapnya.
Kini dirinya akan selalu menjaga dengan baik setiap batang pohon aren miliknya yang tak terhitung jumlahnya. Jika ada aren yang sudah tidak bisa disadap lagi, maka dirinya akan menanam aren baru di lokasi tersebut. Regenerasi aren-aren tersebut kelak akan menjadi tambang emas baru yang akan menghasilkan pundi-pundi uang untuk keluarga mereka.
Mirisnya, di antara puluhan pria dewasa itu, terselip seorang bocah 13 tahun bernama Refly. Warga Kayawu ini memilih menjadi petani nira ketimbang harus bersekolah. Refly mengaku berhenti bersekolah ketika duduk di bangku kelas 1 SMP sekitar Mei 2016.
Pengakuannya, dirinya lebih memilih menjadi petani aren ketimbang sekolah karena desakan ekonomi keluarga. Anak ketiga dari lima saudara itu mengaku tidak ada pilihan karena permintaan kakak kandungnya. Sementara kedua orang tuanya hanya petani yang bermukim di tempat lain, sedangkan dirinya kini harus ikut kakaknya yang juga bekerja sebagai penyadap nira.
Membantu iklim
Ketua Yayasan Masarang Willie Smits menjelaskan kehadiran Pabrik Gula Masarang memiliki misi sosial kemasyarakatan. Salah satunya adalah membantu ekonomi masyarakat dan konservasi lingkungan hidup untuk membantu iklim dunia.
“Sebab dengan membantu masyarakat, berarti juga membantu iklim dunia,” kata pria WNI keturunan Belanda itu saat wawancara di kediamannya di Kelurahan Kaskasen, Tomohon Utara.
Kenapa demikian? Pria kelahiran Weurt, Gelderland, Belanda, 22 Februari 1957 itu menjelaskan pekerjaan petani tradisional penyadap aren sangatlah berat. Selain harus menyadap sejak pagi dan mengumpulkan nira yang dihasilkannya, mereka juga harus mencari kayu setiap hari untuk memasak gula.
Setidaknya dibutuhkan waktu dua jam setiap hari untuk mencari dan mengumpulkan kayu bakar. Jika hal tersebut dilakukan secara kontinyu, maka kayu di kebun mereka akan habis. Mau tak mau mereka akan semakin naik ke hutan, untuk mengambil dan menebang kayu bakar.
“Hal itu tentu akan menyebabkan kerusakan hutan, erosi, banjir dan bencana lainnya,” jelasnya.
Di sinilah peran Yayasan Masarang. Mereka mengembangkan sistim logistik melalui pipanisasi. Air nira dari para petani diturunkan dari gunung melalui pipa sehingga tidak perlu diangkut secara manual, ataupun harus dimasak hingga menjadi gula.
“Mereka sekarang hanya perlu memanasi niranya sampai steril di kebun masing-masing, agar tidak berfermentasi lagi. Lalu dialirkan melalui pipa hingga ke kaki gunung. Kita tinggal membuka keran untuk dimasukkan ke mobil tangki dan segera membawanya ke pabrik.
“Selanjutnya, hanya dalam durasi tidak lebih dari dua jam, nira tersebut langsung diolah menjadi gula semut untuk ekspor menggunakan panas bumi yang didapat secara gratis dari Pertamina,” urainya.
Willie juga terus mengembangkan berbagai inovasi untuk petani meminimalisasi penggunaan kayu bakar. Salah satunya dengan menciptakan alat memasak bernama rocket stove dan pelechef.
Rocket Stove dan pelechef adalah sejenis alat memasak nira menggunakan kayu bakar sangat sedikit, tanpa menghasilkan asap sama sekali. Selain sehat karena tanpa asap, panas yang dihasilkan maksimal, dapat diserap sempurna ke dalam pancinya. Dengan demikian, nira cepat mendidih.
“Memang belum banyak di Indonesia yang mengenal alat ini. Nah, alat ini sekarang sedang kami kembangkan. Sekarang kayu yang diperlukan untuk memasak nira hanya sedikit. Selain itu petani tidak perlu memasak sampai menguap seluruh airnya. Cukup memanasi sedikit niranya, untuk menaikkan kandungan gulanya. Baru diangkut menggunakan sistim yang kami gunakan,” bebernya Willie lagi.
Untuk mewujudkan hal tersebut, sambungnya, memang dibutuhkan banyak investasi. Namun cara itulah yang paling efektif, menurutnya, untuk mengurangi dan mencegah kerusakan hutan serta menjaga kesehatan para petani sendiri akibat menghirup asap kayu.
“Dengan begitu jam kerja petani aren lebih singkat, namun dengan hasil yang maksimal. Tidak seperti dulu yang harus kerja berjam-jam duduk menunggui api dan harus terpapar asap. Mereka bisa bekerja lain, tidak perlu lagi berjam-jam mencari kayu dan naik ke atas gunung untuk menebang pohon, sehingga menyebabkan bencana lingkungan”.
Artinya, dengan membantu petani tersebut, sambungnya, maka biomasa hutannya akan mulai naik. Dan hutan mulai menyerap karbon di udara yang kemudian akan disimpan dalam akar yang berada di dalam tanah. Maka dengan membantu masyarakat, itu sama artinya dengan membantu iklim dunia.
“Dengan tidak ada lagi penebangan pohon di hutan, maka dengan sendirinya risiko kebakaran otomatis menurun. Inilah salah satu efek positif yang dihasilkan dari penanaman pohon aren,” ungkapnya.
Pemda dan LSM
Freddy Kaligis, Kepala Dinas Kehutanan Kota Tomohon, menyatakan ia mendukung penuh program konservasi hutan menggunakan pohon aren. Bahkan, untuk menjaga kelestarian hutan dari para perambah, pihaknya mensiagakan petugas dari Polisi Kehutanan, berkerjasama dengan masyarakat setempat.
“Kami sangat mendukung konservasi hutan dengan aren ini. Memang tidak melalui kelompok atau perusahaan, tapi langsung ke masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar hutan,” kata Freddy Kaligis, saat dihubungi via telepon.
Melalui sosialisasi yang terus menerus dilakukan, pihaknya berharap muncul kesadaran masyarakat pentingnya menjaga hutan agar tetap lestari. Sebab dirinya memiliki prinsip mencegah lebih baik dari mengobati.
Dinas Kehutanan, ujarnya, juga menyediakan sebanyak 25.000 bibit gratis bagi masyarakat yang hendak menanam aren di lahannya masing-masing. Mereka cukup membuat surat permohonan ke dinas dan akan diberikan dengan catatan mengambil sendiri bibitnya.
“Silakan jika ada yang mau, tidak hanya kelompok. Perorangan juga bisa, namun mereka harus mencantumkan di daerah mana bibit di tanam. Sebab dikhawatirkan jika tidak terawasi, bibit bisa saja ditanam di daerah lain, bukan di Tomohon,” sebutnya.
Masih kata Freddy, peraturan daerah, perda, pengelolaan hutan saat ini belum mendesak dibutuhkan di Kota Tomohon. Sebab, saat ini sudah ada UU lingkungan hidup yang mengatur tentang hal tersebut. Menurutnya, yang diperlukan hanya aturan tata batas kawasan hutan.
“Kami menghimbau masyarakat yang hendak membeli tanah agar memeriksa dan melaporkan dulu ke dinas terkait guna mengetahui apakah lokasi tersebut masuk batas hutan atau tidak. Jika masuk batas hutan, maka tidak akan dikeluarkan izin jual belinya,” ujar dia.
Berbeda dengan Freddy, Koordinator Environment Sulutwatch Judi Turambi menegaskan pengelolaan hutan dan konservasi di Tomohon harus ditunjang dengan regulasi jelas berupa Peraturan Daerah (Perda).
“Perda pengelolaan dan batas hutan konservasi milik masyarakat maupun hutan lindung belum ada. Ini harus segera diupayakan sebagai implementasi di daerah sebagai turunan dari UU. Saat ini aturannya kan hanya berpayung kepada UU lingkungan hidup saja,” kata Judi Turambi.
Dengan aturan berupa perda tersebut, maka nantinya akan mengatur batasan-batasan hutan, apa yang boleh atau tidak dilakukan terkait pemanfaatan hutan. Jika tidak maka, masyarakat atau pihak-pihak tertentu akan tetap berani melakukan perambahan hutan.
Untuk menggoalkan perda dimaksud, pihaknya sudah berkali-kali menyuarakan kepada DPRD dan pemerintah setempat. Namun penjelasan betapa pentingnya perda tersebut tidak mendapat tanggapan.
“Para politisi yang ada saat ini mayoritas tidak memiliki basic lingkungan. Kalaupun ada yang vokal bicara tentang lingkungan itu hanya sekedar formalitas saja untuk pencitraan,” sindirnya.
Kehadiran Yayasan Masarang dalam membantu konservasi hutan aren, menurutnya, patut diapresiasi. Namun harus ada sinergi antara pihak yayasan dengan pemerintah setempat agar bisa saling bekerjasama dengan baik.
“Pemerintah tidak boleh lepas tangan. Mereka juga harus melibatkan masyarakat dalam menjaga hutan. Jika tidak maka upaya konservasi yang dilakukan tidak akan maksimal,” tukas pria 54 tahun itu.
Direktur Walhi Sulawesi Utara Theo Runtuwene menyatakan ke depan pihaknya akan berupaya menjalin kerjasama dengan Yayasan Masarang dan pemerintah daerah setempat dalam mensosialisasikan pentingnya konservasi hutan dengan pohon aren.
“Konservasi yang dilakukan Masarang sangat kami dukung. Ke depan kerjasama akan coba kami lakukan dalam upaya penyadaran masyarakat terkait pentingnya menjaga dan melestarikan hutan,” kata Theo.
Menurut dia, dalam konteks perubahan iklim, pohon aren merupakan pohon yang paling tepat untuk ditanam di area hutan rusak. Pasalnya, aren memiliki kelebihan dibandingkan pohon-pohon jenis lain.
“Masyarakat tidak hanya sekedar menanam pohon. Kelak dari pohon yang ditanam tersebut akan menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi,” jelasnya.
Selain aren, lanjutnya, pohon sagu sebenarnya juga bisa menjadi alternatif untuk ditanam. Namun untuk memanfaatkan kandungan sagu yang ada di pohonnya untuk diolah jadi makanan, pohon harus ditebang dahulu sehingga tidak cocok untuk konservasi. Sementara konservasi hutan pada prinsipnya menghindari adanya penebangan pohon.
Kebun bukan hutan
Pengamat lingkungan dan akademisi Universitas Sam Ratulangi, Martina Langi, mengatakan sebutan hutan aren di Tomohon tidak tepat. Sebab sebuah wilayah dapat disebut hutan jika berstatus hutan negara.
“Nah kalau di Tomohon itu tepatnya kebun aren bukan hutan aren, karena lahannya milik warga. Untuk dapat dikatakan hutan, maka paling tidak harus ada SK dari Menteri Kehutanan,” kata Martina Langi saat ditemui di Rektorat Universitas Sam Ratulangi.
Karena statusnya bukan hutan negara, maka tidak ada jaminan jika kebun aren akan tetap terpelihara. Menurutnya, wilayah kebun aren sebagian besar memang dikuasai warga, bahkan banyak yang sudah bersertifikat.
Kendati demikian, jika kemudian masyarakat setuju lahan milik mereka dijadikan hutan untuk kepentingan bersama, maka bisa disebut hutan rakyat atau hutan kemasyarakatan. Hal itu tentunya menjadi salah satu upaya pendekatan berwawasan lingkungan.
“Setiap upaya untuk melakukan perbaikan lingkungan, haruslah berdimensi banyak. Kalau hanya soal lingkungan saja, untuk negara yang berkembang seperti Indonesia maka tidak akan menarik bagi masyarakat. Segala sesuatunya akan dinilai secara ekonomi, apakah menguntungkan atau tidak. Jika menguntungkan, barulah masyarakat tertarik ikut menanam,” terangnya.
Untuk itu, upaya-upaya pelestarian lingkungan juga harus dibuat menarik secara ekonomi agar bisa melibatkan masyarakat. Dengan demikian ke depan diharapkan sistem yang dibuat dapat merangkul semua pihak.
“Untuk pelestarian lingkungan dengan pohon aren yang dilakukan di Tomohon, kami sebagai akademisi melihatnya positif. Inisiasi dari pihak pemrakarsa, kebijakan pemerintah setempat, serta dukungan masyarakat memungkinkan terbentuknya kawasan lahan yang multifungsi,” ujarnya.
Pohon aren, menurut doktor lulusan Universitas Queensland, Brisbane, Australia tersebut, dari segi lingkungan sangat baik bagi lingkungan. Berfungsi untuk mengikat air dan tanah, sehingga bisa mencegah banjir dan longsor. Selain itu bisa memelihara sumber air yang ada.
“Dari segi lingkungan, pohon aren ini bagus sekali. Sedangkan dari segi produksi sudah berjalan diproduksi menjadi gula aren maupun minuman tradisional. Dari segi ekonomi sangat signifikan untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Hal seperti inilah yang sangat diperlukan di Indonesia,” paparnya.
Upaya konservasi dan pemanfaatan aren yang dilakukan Yayasan Masarang di Tomohon, menurut alumna Institut Pertanian Bogor itu, bisa menjadi proyek percontohan daerah lain.
“Di sana antara konservasi dan pemanfaatan ekonomi berjalan beriringan. Sistem seperti inilah yang biasanya akan langgeng. Semoga terus meningkat mulai dari tingkat regional, nasional, hingga internasional. Nah di situlah kemudian kita baru berbicara bahwa bumi itu adalah sesuatu yang global, saling berkaitan yang harus dilestarikan untuk mencegah global warming,” Dr. Langi menutup.
Editor Warief Djajanto Basorie
Gbr Tomohon 2 Willie rocket stove 29Sep16
Gbr Tomohon 3 masak nira 29Sep16
Gbr Tomohon 4 Sirilius sadap nira 29Sep16
Gbr Tomohon 5 Dany Rawu cek PH dan kadar gula nira
Published in